jpnn.com - JAKARTA - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi Lukman mengatakan, naik turunnya harga BBM dan gas elpiji 12 kilogram, mengaku cukup membingungkan pengusaha.
Pasalnya pengusaha perlu memperhitungkan harga pembelian bahan baku dan harga jual untuk jangka panjang. "Prinsipnya kita tidak suka naik-turun, membingungkan," ujarnya, kemarin.
BACA JUGA: Pemerintah Larang BUMD Gandeng Swasta untuk Kelola Blok Migas
Dia menerangkan, harus dibedakan antara pengaruh harga BBM terhadap aspek produksi dan distribusi.
Kalau di tingkat produksi, pengusaha makanan dan minuman sudah terbiasa dengan gejolak harga BBM. Namun, menurutnya, yang perlu diwaspadai justru aspek distribusi.
BACA JUGA: Payah! Harga Elpiji 12 Kg dan Pertamax Ikut Naik
"Dari sisi distribusi kami tidak terbiasa dengan harga BBM yang naik-turun karena harus menghitung ulang tarif jasa pihak ketiga," katanya.
Saat harga BBM turun pihak produsen mendesak perusahaan distribusi menurunkan tarifnya, sedangkan saat harga BBM naik pihak distributor mendesak pabrik untuk menaikkan pembayaran. Hal ini cukup membingungkan karena harga BBM berpotenai berubah setiap dua minggu sekali.
BACA JUGA: Mana yang Lebih Pintar, Mafia Beras atau Jokowi-JK?
"Repot sekali kami harus mengurusi hal-hal begitu setiap beberapa minggu. Mendingan ditetapkan saja harganya di angka tertentu untuk jangka setengah tahun," tandasnya.
Sebagai solusi untuk mengatasi kerepotan ini, dia mengusulkan kepada pihak-pihak terkait, untuk membuat kesepakatan biaya angkutan darat, laut maupun udara. Dengan begitu tidak terjadi kesalahpahaman antara pihak produsen dengan distributor.
"Misal harga BBM naik Rp 500 maka tarif transportasinya akan dinaikan berapa persen, begitu juga sebaliknya kalau harga BBM turun pengaruhnya berapa," ungkapnya.
Adhi berpandangan, pemerintah berperan sangat penting dalam merumuskan kesepakatan penyesuaian tarif angkutan karena bisa menjadi fasilitator. Apalagi sebagian pihak terkait distribusi dipegang oleh BUMN.
"Misalnya tarif pelabuhan. Kemudian beberapa jaringan pelabuhan dipegang oleh pemerintah melalui BUMN. Pemerintah harus memberikan contoh yang baik agar iklim usaha kondusif," katanya.
Demikian juga terkait dengan naik turunnnya harga gas elpiji 12 kilogram (non subsidi), Adhi menilai cukup merepotkan bagi industri makanan dan minuman. Meskipun beberapa waktu lalu sempat turun, namun saat ini kembali dinaikkan.
"Yang harus diwaspadai justru disparitas harga dengan harga elpiji 3 kilogram, semakin tinggi harga gas 12 kilogram maka semakin tinggi potensi terjadi pengoplosan," sebutnya.
Tuminah (32), pedagang warteg di Tanah Abang mengaku turunnya harga BBM beberapa waktu lalu tidak bedampak signifikan terhadap masyarakat. Pasalnya, harga-harga bahan pokok tetap tinggi dan bahkan naik, seperti beras, telur san cabe. Demikian juga tarif transportasi seperti angkot juga tidak turun.
"Kalau sekarang harga elpiji 12 kilogram juga naik pasti beban kita tambah. Jadi kondisi sekarang sama saja sebelum harga BBM turun," jelasnya. (wir)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Transaksi Batu Mulia Secara Online Melonjak
Redaktur : Tim Redaksi