Harga Gula Dunia Rendah, Saatnya Fokus Diversifikasi Usaha Non-gula

Kamis, 25 September 2014 – 09:31 WIB
Ketua Umum Ikatan Ahli Gula Indonesia (Ikagi) Subiyono saat mengunjungi pabrik gula Kremboong, Sidoarjo. FOTO: ist

jpnn.com - JAKARTA - Terhitung sejak tahun lalu, harga gula dunia terus turun mencapai USD 489,80 per ton. Itu adalah harga terendah sejak 4 tahun terakhir. Tahun ini harga gula masih belum juga beranjak dan masih berkutat di harga USD 470 per ton. Meski harga gula di dunia rendah, biaya produksi gula terus meningkat. Nah, ditengah rendahnya harga gula dunia dan semakin mahalnya ongkos produksi, maka revitalisasi industri gula harus diarahkan pada diversifikasi usaha nongula yang bisa menopang keberlangsungan industri padat karya ini.

Ketua Umum Ikatan Ahli Gula Indonesia (Ikagi) Subiyono mengatakan, revitalisasi industri gula perlu dimaknai sebagai paradigma baru dalam memandang masa depan industri gula. Menurutnya, revitalisasi industri gula ke depan tidak boleh hanya berorientasi pada peningkatan produktivitas gula semata, melainkan harus bersandar pada konsep keberlanjutan (sustainability). Keberlanjutan yang dimaksud adalah pada upaya mengoptimalkan semua potensi tebu yang berujung pada peningkatan daya saing (competitiveness). 

BACA JUGA: Pertamina Dukung Pencabutan Subsidi BBM

“Keberlanjutan harus diwujudkan dengan menggarap diversifikasi usaha nongula secara series, seperti listrik dari ampas tebu maupun bioetanol dari tetes tebu,” jelas Subiyono saat dihubungi.

Subiyono memaparkan, konsep keberlanjutan dengan fokus ke diversifikasi usaha nongula sangat relevan karena harga gula terlalu berfluktuatif. “Dan jujur saja, perkembangan harga gula tidak bisa menghasilkan keuntungan untuk menopang ekspansi industri guna menambah mesin atau melakukan perluasan lahan. Dalam konteks inilah, produk nongula bisa menjadi penopang, bahkan penggerak utama industri berbasis tebu,” ujar Subiyono yang juga direktur utama PT Perkebunan Nusantara X (Persero) alias PTPN X.

BACA JUGA: SKK Migas Keluhkan Target Lifting

Dia lantas menjelaskan, selama lima tahun terakhir mulai 2009-2013, biaya pokok produksi (BPP) gula petani terus meningkat 58 persen dari sekitar Rp 5.100 per kilogram menjadi Rp 8.070 per kilogram. Namun, harga lelang gula dari 2009 ke 2013 cuma naik 22,88 persen dari Rp 7.056 per kilogram menjadi Rp 8.671 per kilogram. Bahkan, tahun ini lebih rendah lagi ke level di bawah Rp 8.500 per kilogram.

”Masalahnya memang kompleks, mulai dari tata niaga sampai penyimpangan (moral hazard), tapi intinya kita tahu bahwa gula tak bisa lagi jadi sandaran utama keberlangsungan pabrik-pabrik yang ada,” ujarnya.

BACA JUGA: Bauran Batu Bara Maksimal 68 Persen

Subiyono mengatakan, tidak hanya di Indonesia, di berbagai negara, biaya produksi gula terus meningkat. Di Brasil, misalnya, pada 2013, harga raw sugar USD 19 cent/pound atau USD 418,87 per ton baru menutup biaya operasional, belum termasuk bunga kredit perbankan dan perpajakan. 

Di tengah kenaikan biaya produksi itu, harga gula dunia relatif stagnan, bahkan mengalami penurunan. Harga gula dunia 2013 tercatat sebagai yang terendah dalam empat tahun terakhir, yaitu USD 489,80 per ton. Tahun 2014 harga gula dunia juga belum beranjak naik, masih berkisar USD 470 per ton.

Bagi negara-negara importer murni (tidak memproduksi gula sama sekali), rendahnya harga gula dunia tentu sangat menguntungkan. Demikian pula untuk negara produsen namun juga melakukan impor skala kecil, harga gula dunia yang rendah cukup menguntungkan.

”Namun, bagi negara produsen dan sekaligus importer gula besar seperti Indonesia, turunnya harga gula dunia sangat meresahkan, karena gula impor yang masuk dengan harga rendah sangat memukul industri gula dalam negeri yang digerakkan oleh para petani tebu rakyat,” papar Subiyono.

Yang membedakan Indonesia dan negara produsen lain adalah kesiapan melakukan diversifikasi usaha. Saat harga gula rendah, industri gula di Brasil, Thailand, atau India bisa tetap stabil dan terus tumbuh karena mengandalkan pendapatan dari diversifikasi usaha non-gula, mulai dari listrik sampai bioetanol.

Di Brasil, PG-PG yang ada sudah bisa menghasilkan lebih dari 3.000 MW listrik dari produk samping tebu dengan sistem cogeneration. Sekitar 20 persen kebutuhan energi Brasil juga ditopang oleh energi terbarukan berbasis tebu.

Di India, kapasitas cogeneration-nya 2.200 MW, dengan daya yang dikomersialkan 1.400 MW. Hampir semua PG di Thailand sudah menghasilkan listrik yang dikomersialkan. Di dunia terdapat lebih dari 1.500 industri koproduk tebu yang menghasilkan 50 macam produk, mulai dari alkohol, pakan ternak, enzim amilase, particle board, hingga bioetanol.

Di Indonesia, hanya ada satu pabrik bioetanol berbasis tebu yang terintegrasi dengan pabrik gula milik BUMN, yaitu di PG Gempolkrep, Mojokerto. Padahal, Indonesia punya 51 pabrik gula milik BUMN. ”Inilah saatnya memulai tapak penting industrialisasi produk turunan tebu non-gula. Dalam paradigma diversifikasi inilah, seharusnya revitalisasi digerakkan. Kita harus melakukan percepatan,” tegasnya. (eri/mas)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tiongkok Inves Rp 3 T di Kawasan Bitung


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler