Harga Karet Anjlok, Kini Mengais Rupiah dengan Memecah Bongkahan Batu

Jumat, 27 November 2015 – 07:03 WIB
B.Hutabarat dan istri. Foto: Marihot Simamora/New Tapanuli/Metro Siantar/JPG

jpnn.com - PROYEK-proyek fisik pemerintah dikebut di setiap akhir tahun. Proses pembangunan itu membutuhkan material, salah satunya batu belah. Kesempatan itu yang ditunggu para penambang di lereng bukit di tepi Jalinsum Tarutung-Sibolga Km 35, Desa Sibalanga, Kecamatan Andiankoting, Tapanuli Utara.

---------

BACA JUGA: Keliling 17 Negara Menjadi Tukang Cerita

MARIHOT SIMAMORA-TAPUT

---------

BACA JUGA: Zhang Xiao Jia, Guru Musiknya Pengusaha Papan Atas Surabaya

SIANG itu, Selasa (24/11), tubuh B Hutabarat sudah berpeluh keringat. Baju yang dipakainya bekerja begitu lusuh. Lapisan kulit arinya tampak menghitam akibat panggangan teriknya sinar matahari. Kerutan di wajahnya seakan menggambarkan bagaimana getir kehidupannya. Kalau sekilas diperhatikan, kondisi fisik ayah 3 anak itu tampak lebih tua dari usianya yang sudah menginjak kepala 5.

Telapak tangannya kelihatan sudah mengeras. Sarung tangan kain tak berguna lagi melapisi saat memegang gagang palu. Otot-otot lengannya terbentuk dari tiap ayunan palu saat memecahkan bongkahan-bongkahan batu seukuran buah kelapa itu.

BACA JUGA: Pulau Ndana, Bagian Terluar Indonesia, Dulu Tentara Australia Sering Singgah, Kini Dijaga Marinir

Entah berapa kali pukulan dalam sehari, tak pernah dihitungnya. Yang dia inginkan hanya tumpukan dari pecahan batu padas itu cepatlah menganak gunung. Agar segera bisa ditolak ke pengepul yang akan datang membeli dan mengangkutnya.

Sementara istri tercinta, Br Sitompul, setia menemani Hutabarat di sampingnya. Wajah perempuan itu tampak lebih muda dari suaminya itu. Meski tanpa riasan di wajah, minimal seperti tabir surya, Br Sitompul juga ikut memegang palu. Lengan kanannya tampak cekatan mengayunkan palu itu ke tiap permukaan bongkahan batu yang ada di depan tempatnya duduk.

Pasangan suami istri ini sudah menjadi penambang batu padas di bukit milik seorang warga desa setempat bermarga Panggabean itu sejak mereka menikah belasan tahun lalu. Pekerjaan itu dilakoni mereka demi menyambung hidup. Memenuhi semua kebutuhan anak-anak mereka, sesanggupnya. Dan utamanya agar dapur bisa mengepul.

Siang itu, keduanya menambang dan memecah untuk memenuhi pesanan batu belah ukuran 5/7 dan 3/5. Ukuran seperti itu biasanya untuk kebutuhan proyek pembangunan jalan setapak di desa-desa.

"Yang ini ukuran 5/7 harganya Rp110 ribu semeter kubik. Yang itu 3/5 Rp120 ribu sekubik. Ada lagi yang lebih halus ukuran 2/3 seharga Rp130 ribu per kubik," kata Hutabarat sambil menunjuk ke arah tumpukan batu yang dimaksudnya, saat disambangi awak koran ini di areal penambangan secara manual itu.

Padahal, dalam sehari, sejak pagi hingga petang, keduanya tidak mampu memproduksi 1 meter kubik. Apalagi untuk yang ukuran 3/5 dan 2/3. Sementara jika batunya laku, mereka harus menyetorkan uang hasil penjualan sebesar Rp20 ribu untuk setiap 3 meter kubiknya, kepada pemilik lahan tersebut.

Ada beberapa kelompok warga penambang di areal itu. Pola kerja dan peralatannya serupa. Dengan palu kecil dan sebatang besi menyerupai pahat batu. Secara manual mereka menaiki lereng untuk membongkar bongkahan batu padas yang ada di lereng perbukitan itu.

Bongkahan yang berhasil dibongkar kemudian diturunkan ke bawah. Di dasar bukit itulah mereka kemudian memecahkannya sesuai ukuran yang diinginkan.

"Tanah ini bukan punya kami. Ada marga Panggabean yang punya. Kami harus setor kepadanya setiap kali batu laku," tukas Br Sitompul.

Untuk mengirit pengeluaran, mereka selalu membawa bontot (persediaan makanan dan minuman) dari rumah. Bila posisi matahari tepat di atas kepala, mereka beristirahat sambil makan siang di bawah tenda plastik darurat yang didirikan di dekat tumpukan bebatuan. Walau dengan nasi lauk seadanya, mereka tetap bisa tersenyum menikmatinya.

Perempuan itu kembali menceritakan, Tuhan mengarunia tiga orang anak dari buah pernikahan mereka. Dua di antaranya kini masih bersekolah di tingkat SD. Sedangkan anak sulungnya laki-laki kini menduduki kelas 3 di salah satu sekolah kejuruan setingkat SMA di Kota Sibolga. Tuntutan biaya pendidikan anak-anaknya itu diakui akan semakin besar kelak. Mereka mengaku tidak akan sanggup bila harus menguliahkan anak sulung itu nanti.

"Biarlah semua hanya sampai tamat SMA sederajat. Sebenarnya dia (anak sulungnya) meminta untuk melanjutkan kuliah setelah tamat SMK nanti. Tapi karena kondisi ekonomi keluarga kami seperti ini, saya hanya bisa bilang "dang tolap gogo nami amang" (kami tidak sanggup nak)," ujar Br Sitompul.

Sementara itu, Hutabarat mengaku, himpitan ekonomi semakin terasa di tengah anjloknya harga getah karet sadapan saat ini. Itulah sebabnya mereka mesti berjuang demi menyambung hidup dengan menambang batu ataupun menjadi kuli tani.

"Sebenarnya kami ada tanam karet. Tapi sekarang harganya turun, hanya Rp4 ribuan sekilo dan cuaca sedang musim hujan. Mana sanggup kalau mengandalkan getah itu. Tapi yang namanya berjuang di kehidupan ini, harus semua dikerjakan, asalkan itu bukan kejahatan atau hasil dari mencuri," pungkasnya. (*)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Cerita Guru dari Pedalaman Maluku, Ambil Gaji Harus Jalan Kaki 25 Km


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler