Mahasiswa Indonesia yang baru tiba di ibu kota Australia, Canberra, mengeluh langka dan mahalnya harga sewa rumah di sana. Sebagian memutuskan untuk mencari kerja, karena uang beasiswanya saja tidak mencukupi. 

Rudi Prihandoko, mahasiswa PhD di Australian National University (ANU) mengaku sudah mencari-cari rumah sewa di Canberra sejak masih berada di Indonesia.

BACA JUGA: Ada Usulan Agar Sekolah di Sydney Diperpanjang untuk Menyesuaikan Kebutuhan Orang Tua

Namun, upaya yang dilakukannya tak membuahkan hasil.

Penerima beasiswa LPDP ini berharap situasinya akan lebih baik setibanya di ibu kota Australia.

BACA JUGA: Data COVID Denmark Hadirkan Optimisme, tetapi Pakar Masih Pesimistis

"Begitu tiba saya langsung kontak beberapa landlord (pemilik rumah) yang direkomendasikan oleh teman-teman, termasuk orang Indonesia yang biasanya menyewakan propertinya," ujar Rudi kepada wartawan ABC Indonesia Farid Ibrahim.

ABC News sebelumnya melaporkan, pasar rental properti di Canberra kini mencapai rekor baru, ditandai dengan panjangnya antrean inspeksi rumah.

BACA JUGA: Dua Tahun Pandemi, Mengapa Ada Bisnis yang Bertahan tetapi Banyak yang Kesulitan?

"Harga sewa rata-rata terus meningkat untuk rumah dan apartemen. Sekarang Canberra menjadi kota termahal di Australia untuk menyewa rumah," ujar Hannah Gill dari Real Estate Institute.

Data dari CoreLogic, lembaga penyedia data dan informasi properti, menunjukkan harga rata-rata sewa rumah meningkat jadi A$714 (sekitar Rp7,2j juta) per minggu sedangkan untuk unit apartemen menjadi A$541 (sekitar Rp5,5 juta) per minggu.

Hannah mengatakan, desakan atas ketersediaan dan pasokan rumah sudah berlangsung dalam dua tahun terakhir.

Rudi juga mengatakan kerap mengalami antrean panjang saat melakukan inspeksi calon rumah yang akan disewanya.

Sejak menjejakkan kaki untuk pertama kalinya bulan Desember lalu, ia mengaku hampir setiap hari berburu rumah sewa. Tak jarang ia mendatangi lebih dari satu alamat.

"Dalam setiap inspeksi rumah di satu lokasi, mungkin ada 50-an orang yang datang," kata Rudi yang telah mendatangi lebih dari 30 rumah di berbagai lokasi di Canberra.

Karena memiliki istri dan dua orang anak yang akan menemaninya kuliah di Canberra, Rudi mencari tipe rumah dengan minimal dua kamar tidur.

Rudi mengatakan, anggaran yang ia siapkan pun terus naik, mulai dari A$420 per minggu, karena pertimbangan keterbatasan uang beasiswa.

"Tapi ternyata tidak dapat. Jadi saya naikkan [budgetnya] jadi 450 dolar, tetap tidak dapat, sampai akhirnya yang sewanya 550 dolar seminggu pun saya datangi," tambahnya.

Rudi sudah hampir putus asa pada akhir Januari lalu, saat dia menginspeksi dua rumah, masing-masing dengan harga sewa 510 dolar dan 530 dolar.

"Sehari kemudian saya ditelepon oleh agen properti, [dan dikabari] saya dapat rumah yang sewanya 510 dolar seminggu," kata Rudi yang mendapat diberi tahu ia berhasil 'mengalahkan' 47 saingan lainnya. Khawatir studi terganggu karena belum punya tempat tinggal

Mahasiswa asal Indonesia lainnya, Andri, tidaklah seberuntung Rudi.

Penerima beasiswa Australian Awards yang sedang kuliah PhD bidang Public Administration pada University of Canberra di tahun kedua ini sampai sekarang belum berhasil menemukan rumah.

Andri sebenarnya sudah tiba di Australia sejak tahun 2020. 

"Jadi tahun 2020 saya datang sendiri terlebih dahulu sesuai ketentuan beasiswa. Untuk nyiapin semuanya buat keluarga yang akan bergabung," ujar Andri.

Tetapi semua rencana berubah setelah Australia menutup perbatasan pada Maret 2020. Satu tahun lamanya Andri bertahan sebelum ia memutuskan pulang ke Indonesia pada Januari 2021.

Setelah perbatasan dibuka di 2022, kini ia bermaksud memboyong anak dan istrinya ke Canberra.

Sama seperti Rudi, Andri juga sudah mencari-cari rumah sewa sejak ia masih di Indonesia, tetapi gagal.

Setibanya di Canberra, Andri dan keluarga akhirnya tinggal di  AirBnB  dan menumpang di rumah mahasiswa Indonesia lainnya.

"Untungnya ada teman yang saat ini masih berada di Indonesia, dan dia bersedia rumahnya saya tempatin untuk sementara. Tapi hanya sampai tanggal 10-an Februari ini," kata Andri.

Andri mengatakan, dia mengalokasikan maksimal dua per tiga dari beasiswanya.

Aparat sipil negara asal Jakarta ini mengaku akan terus berusaha mencari rumah tinggal, termasuk meminta bantuan pada pihak Atase Pendidikan di KBRI.

"Ada kekhawatiran juga kalau saya sampai terpental dari studi saya di Canberra ini," ujarnya. 'Bukan hanya mahal, tapi juga langka'

Pasangan suami-istri Imam Malik dan Dina Yulia, sejak beberapa tahun lalu telah menjadi penduduk tetap di Canberra.

Menurut mereka, kondisi sewa rumah di ibu kota Australia saat ini memang sedang mahal-mahalnya. Harga di pusat kota lebih mahal, tapi di pinggiran pun tidak jauh berbeda.

"Kalau mahasiswa hanya bergantung dari beasiswa, pasti sangat berat untuk bisa hidup di Canberra," kata Imam.

Dari pengalamannya, mahasiswa penerima beasiswa yang menyewa rumah dua kamar dengan kondisi normal, rata-rata menghabiskan 500 hingga 600 dolar per minggu. 

"Kalau kondisi rumah yang agak 'dipaksa-paksakan' mungkin masih dapat yang harga sewanya pada kisaran 400 dolar per minggu," ujar Imam.

"Berarti, dalam sebulan keluarga ini harus mengeluarkan lebih dari 2000 dolar untuk sewa rumah. Jadi kalau dari beasiswa saja pasti enggak cukup," tambahnya.

Dina menambahkan, sebagian besar mahasiswa asal Indonesia yang datang bersama keluarga, pasangannya biasanya akan bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup.

Alternatif lainnya adalah dengan berbagi tempat tinggal untuk menyiasati biaya sewa yang tinggi.

Imam dan Dina pindah ke Canberra di tahun 2011. Saat itu harga sewa apartemen dua kamar, sudah mencapai 480 dolar seminggu.

Setelah memiliki apartemen sendiri beberapa tahun kemudian, pasangan ini belakangan menyewakan apartemen mereka.

"Begitu diiklankan, paling lambat dua minggu sudah tersewa," ujar Dina.

"Setahu saya, sekarang ini bukan hanya mahal tapi rumah yang akan disewa itu tidak ada," tambah Imam.

"Kami juga tidak menyangka ternyata pasar sewa-menyewa rumah di Canberra seperti sekarang ini kondisinya," tambahnya. Tunjangan beasiswa habis terserap sewa rumah

Biaya sewa rumah yang tinggi menjadi perhatian Rudi Prihandoko saat ini.

Rudi mengatakan, banyak penerima beasiswa seperti dirinya yang mengharapkan kenaikan tunjangan biaya hidup seperti yang diberikan ke penerima beasiswa LPDP di Sydney dan Melbourne.

"Kalau dihitung-hitung tunjangan hidup dari beasiswa saya ini langsung habis terserap ke sewa rumah yang mencapai 2.300 dolar sebulan," ujar Rudi.

Untuk mencukupi biaya hidup sehari-hari, Rudi sudah meminta kedua supervisornya untuk memberikan rekomendasi agar ia bisa menjadi tutor di kampusnya.

"[Ini karena] sebagai penerima beasiswa LPDP, kami dilarang untuk bekerja di luar bidang yang tidak terkait dengan akademik," katanya.

Meski tidak bisa menutupi seluruh biaya hidup, Rudi mengaku penghasilan dari pekerjaan sebagai tutor di kampus sudah sangat membantu secara finansial.

"Tanpa tambahan penghasilan ini, sepertinya kami tidak bisa bertahan dengan mengandalkan beasiswa saja," ucapnya.

Hannah Gill dari Real Estate Institute menjelaskan, sebelum pandemi, periode Desember ke Februari merupakan masa puncak pasar sewa properti karena banyak orang baru tiba di Canberra dari negara bagian lain.

"Saat ini kita belum kedatangan semua pendatang tapi situasi pasarnya sudah sulit," kata Hannah.

Ia memperkirakan situasinya akan semakin sulit apabila para mahasiswa internasional mulai kembali secara normal ke ibu kota Australia ini.

Simak artikel lainnya di ABC Indonesia.  

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pria Ini Berhasil Bebaskan Buaya Berkalung Ban di Palu, tetapi Banyak yang Meragukan

Berita Terkait