jpnn.com, JAKARTA - Pakar kesehatan kembali menggulirkan ide tentang kenaikan harga rokok. Sebab, harga rokok rata-rata Rp 20 ribu hingga Rp 25 ribu per bungkus saat ini masih sangat murah.
Mestinya, harganya dua kali lipat. Idealnya justru di atas Rp 50 ribu per bungkus.
BACA JUGA: Cukai Rokok Harus Tinggi demi Meminimalkan Pertambahan Perokok Pemula
Angka itu merupakan hasil kajian para akademisi di bidang kesehatan untuk menekan jumlah perokok pemula. Harga Rp 50 ribu dianggap efektif untuk membuat perokok pemula berpikir dua kali untuk membeli rokok.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Hasbullah Thabrany mengatakan, ide tentang harga rokok Rp 50 ribu per bungkus perlu digalakkan terus. Tujuannya untuk mengurangi jumlah perokok.
BACA JUGA: DPR Sebaiknya Segera Hentikan Pembahasan RUU Pertembakauan
"Saya kira kita memulai dengan Rp 50 ribu, itu aspirasi publik berdasarkan survei. Kami tanya, harga berapa sih orang akan berhenti merokok, jawabannya segitu," ujarnya seperti diberitakan JawaPos.Com.
Harga Rp 50 ribu pun tidak akan langsung berdampak positif untuk menekan angka perokok pemula. Sebab, efeknya baru akan terasa pada 20 tahun kemudian.
BACA JUGA: Pemerintah Diminta Tidak Naikkan Cukai Rokok Tahun Depan
“Rp 50 ribu memang orang akan mulai bergenti merokok namun efeknya masih akan 20 tahun lagi. Masyarakat akan mengurangi konsumsi rokoknya,” tegasnya.
Hasbullah menambahkan, saat ini yang dibutuhkan adalah ketegasan politik dari pemerintah. Namun, sambungnya, justru kini yang ramai adalah Rancangan Undang-undang (RUU) Pertembakauan.
Menurut Hasbullah, pemerintah sebenarnya punya peluang menaikkan harga rokok cukai rokok. Namun, hal itu tidak dilakukan.
Padahal, kata dia, potensi cukai rokok besar dan. “Cukai rokok bahkan lebih besar dari tax amnesty. Lebih besar dan negara lagi butuh duit," tukasnya.
Selain itu Hasballah mengatakan, jurus pemerintah mengampanyekan bahaya merokok dengan memasang gambar seram pada kemasannya ternyata tak efektif. Sebab, langkah itu tak mengurangi jumlah perokok.
"Gambar seram di bungkus rokok kurang. Rokok yang dijual di Nepal dengan volume lebih kecil ada 90 persen dengan bungkus rokok begitu. Kita cuma 40 persen, kenapa takut," jelasnya.
Dia juga menyesalkan banyaknya warung dan toko kelontong yang mengizinkan penjualan rokok dalam jumlah ketengan atau satuan. “Diketeng itu membuat anak semakin terjerumus bisa membeli dengan mudah dan murah,” tandasnya.(ika/JPC)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pansus RUU Pertembakauan Kantongi Manfaat Tembakau untuk Kesehatan
Redaktur : Tim Redaksi