jpnn.com, JAKARTA - Para pengusaha otobus pun berharap mendapat "bola muntah" dari mahalnya tiket pesawat pada musim arus mudik dan arus balik Hari Raya Idulfitri 1440 H ini.
"Mudah-mudahan ada bola (rezeki) muntah,” ungkap Presiden Komisaris PT Gajah Mungkur Sejahtera (GMS), Sumaryoto Padmodiningrat di Jakarta, Jumat (17/5/2018). PT GMS ini merupakaan perusahaan yang mengoperasikan bus-bus Gajah Mungkur.
BACA JUGA: Tiket Pesawat Mahal, Penjualan Paket Perjalanan Anjlok 40 Persen
BACA JUGA: Berita Duka, Santoso Meninggal Dunia
Dengan beralihnya calon penumpang yang semula akan menggunakan moda pesawat ke bus Sumaryoto berharap perusahaan bisa mengurangi angka kerugian selama sebelas bulan berjalan di luar Angkutan Lebaran 2019 ini. "Ibaratnya panas 11 bulan dihapuskan hujan sebulan,” cetus mantan anggota DPR RI ini.
BACA JUGA: Kemenhub Turunkan Tarif Batas Atas Penerbangan
Menurutnya, pada Angkutan Lebaran 2019 ini Gajah Mungkur menyedikan 35 armada, berdomisili usaha di Jakarta dengan plat B dan di Ngadirojo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, dengan plat AD. Armada bus ini melayani trayek reguler Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) menuju kota-kota di Jawa Tengah seperti Salatiga, Boyolali, Solo, Sukoharjo, dan Wonogiri, serta kota-kota di Jawa Timur seperti Magetan, Ponorogo dan Pacitan, dan sebaliknya. Ke-35 armada tersebut terbagi ke dalam lima kelas, yakni Big Top, Super, Executive, VIP dan Patas.
Sumaryoto yang juga Pimpinan Gajah Mungkur Group ini mengaku, sejak berlakunya kebijakan low cost carrier (LCC), perusahaan-perusahaan otobus mengalami pukulan telak.
BACA JUGA: 2 Cara Efektif Turunkan Harga Tiket Pesawat
"Jangan bicara untung, sekadar bisa bertahan atau tidak merugi saja kami sudah bersyukur," ujarnya.
LCC, kata Sumaryoto, masih ditambah dengan mahalnya harga bahan bakar minyak (BBM) dan harga spare partatau suku cadang kendaraan, sehingga menimbulkan multiplier effect atau efek domino yang tidak terkendali.
"Salah satu akibatnya, banyak kendaraan dari perusahaan-perusahaan yang terus merugi terpaksa jadi kanibal atau tambal sulam suku cadang. Maka faktor keamanan dan kenyamanan pun menjadi berkurang,” paparnya.
Khusus untuk bus yang berdomisili di Wonogiri, lanjut Sumaryoto, diperberat lagi dengan kebijakan bupati setempat yang "membebaskan" bus dari luar daerah leluasa masuk ke kota-kota kecamatan di Wonogiri.
“Semula perusahaan-perusahaan bus dari luar Wonogiri hanya diperbolehkan melayani trayek reguler dari dan ke Wonogiri di Terminal Induk Wonogiri di Krisak. Liberalisasi kebijakan Pemkab ini sangat memukul perusahaan lokal Wonogiri,” sesalnya.
Alhamdulillah, lanjut Sumaryoto, di tengah badai yang menerpa, yakni persaingan sengit antara perusahaan otobus dan maskapai penerbangan serta kereta api, perusahaannya masih sanggup bertahan dengan tetap mengutamakan keselamatan, keamanan dan kenyamanan penumpang. "Tapi kondisi ini tak bisa dibiarkan berlarut-larut. Pemerintah harus ambil terobosan kebijakan. Salah satunya dengan tidak menerbitkan izin bagi perusahaan-perusahaan baru pada trayek yang sudah padat," urainya.
Lebih jauh, Sumaryoto berharap, masa paceklik sejak LCC penerbangan diberlakukan akan ada rezeki muntahan dengan berlakunya TBA (Tarif Batas Atas) yang cukup tinggi. Sayangnya, Kementerian Perhubungan sejak 15 Mei 2019 menurunkan TBA sebesar 15 persen yang akan menjadikan antar-moda transportasi bus, kereta api dan pesawat udara kembali saling “membunuh”.
“Untungnya, 15 Mei 2019 merupakan awal Angkutan Lebaran 2019 yang dapat memberi ‘oksigen’ baru bagi pengusaha bus, sehingga dampak penurunan TBA angkutan udara bisa sedikit dieliminir. Setelah Angkutan Lebaran 2019, para pengusaha bus akan bersaing kembali dengan angkutan udara dan kereta api,” tandasnya.(fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sejumlah Fakta Miris Akibat Harga Tiket Pesawat Mahal
Redaktur & Reporter : Friederich