jpnn.com, JAKARTA - Ki Dalang Sujiwo Tejo menyuguhkan pertunjukan wayang kulit berjudul 'Sang Jarasandha dengan model Wayang Jagong', satu model interaktif dalang dengan penonton.
Pertunjukan itu menggunakan bahasa campuran Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, dan Indonesia.
BACA JUGA: BNI Culture Fest 2024: Transformasi Dalam Membangun Budaya Kerja & Kinerja
Ajang lakon tentang Raja Maghada atau dikenal dengan Sang Jarasandha yang bertubuh terbelah oleh warna biru dan merah tersebut untuk memperingati Hari Wayang sekaligus Merti Desa Sidorejo dan Harlah Pondok Pesantren Rumah Kebudayaan Ndalem Wongsorogo, Desa Sidorejo Kecamatan Brangsong pada 12-13 November.
"Cerita pewayangan itu menjadi simbol, sehingga bukan hanya berfungsi sebagai sebuah tontonan namun juga tuntunan. Adanya Jarasandha sebagai Juru Sandera itu, ya supaya masyarakat kita ini tidak ikut tersandera juga, sebagai mana tersanderanya pemerintah saat ini," terangnya.
BACA JUGA: Istimewa, PKB Menggelar Wayangan Lakon Pandawa Boyong Sebelum Muktamar
Sementara itu, pengasuh Pondok Pesantren dan Rumah Kebudayaan Wongsorogo, Kiai Paox Iben dalam orasinya mengatakan, judul Sang Jarasandha sengaja dipilih untuk menggambarkan realita sosial sekarang.
Keberadaan raja yang merah dan biru, tentang juru sandera serta cawe-cawe, menjadi sesuatu yang belakangan sangat akrab di masyarakat Kiai nyentrik berambut gimbal itu memaparkan bahwa kebudayaan merupakan jembatan antara pemerintah dan rakyatnya.
BACA JUGA: Bicara Sebelum Acara Wayang, Hasto Ungkit Pesan Moral dari Sosok Kumbokarno
Lewat kebudayaan, kebijakan pemerintah bisa sampai kepada masyarakat dengan cara yang lentur. Demikian juga sebaliknya.
"Forum seperti ini itu kan asyik. Suara kebudayaan itu asyik, ada kritik, tetapi juga ada lucu-lucunya, gitu kan. Termasuk kebijakan pemerintah yang bisa disampaikan dengan lentur, jadi ndak sepaneng. Sehingga respons masyarakat tidak mengarah kepada potensi kekerasan. Caranya ya lewat kebudayaan," papar Kiai Paox.
Dia menambahkan menghidupkan kembali simpul-simpul budaya merupakan hal realistis yang bisa diwujudkan oleh para pengampu kebijakan.
Pengasuh Ruang Tumbuh Merdeka, Labuapi, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat itu berpesan kepada para calon bupati Kendal bahwa merawat budaya itu tidak perlu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
"Merawat budaya itu tidak perlu APBD, kalau banyak pabrik pasti kan banyak CSR. Maka, mari kita sama-sama berjuang nguri-uri kabudayan. Sekarang peristiwa apa pun bisa mudah ditonton orang, maka berhati-hatilah. Namun baiknya, segala hal menjadi mudah," jelasnya.
Pergelaran budaya tersebut, dihadiri anggota Forum Koordinasi Pimpinan Kecamatan (Forkopimcam) Brangsong serta Ketua Bawaslu Kabupaten Kendal.
Dimeriahkan juga oleh tiga dalang cilik, yakni Muhammad Fadli siswa SD 1 Perompakan dengan Lakon Kikis Tunggorono, Hanif Iqbal Lathif siswa SMP 1 Boja dengan Lakon Bimo Ruci dan Rizki Maulana siswa SMP 1 Brangsong dengan lakon Cakraningrat.
Tiga dalang asal Kendal itu unjuk gigi pada Selasa (12/11) siang hingga malam. (esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Masyarakat Antusias Saksikan Wayangan Lakon Pandu Swargo di Sekolah PDIP
Redaktur : Dedi Sofian
Reporter : Mesyia Muhammad