jpnn.com - HARIO KECIK naik podium. Buah karyanya terpilih sebagai Film Terbaik Festival Film Asia Afrika (FFAA) III 1964. Soekarno pun menjulukinya Alfred Hitchock--satu di antara sutradara terbaik dan terpopuler sepanjang zaman.
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Marcella Zalianty Pengin Publik Gandrungi Film Lokal
Mien Brodjo tak ingat pasti tanggal, bulan dan tahunnnya. Yang dia ingat, hari itu Sunjoto Adibroto, seorang sutradara muda datang ke Jogja. Mencari pemain-pemain untuk film Tangan-Tangan Jangan Kotor.
"Aku dipanggil oleh Mas Kusno Soedjarwadi untuk berkenalan dengannya," kenang Mien--terkenal sebagai pemain drama kawakan--dalam buku Setelah Angin Kedua: Biografi Mien Brodjo yang disunting Sri Iswati dan Putri Takarini R.
BACA JUGA: Tan Malaka di Gedung DPR
Mien diberitahu, skenario film Tangan-Tangan Jang Kotor ditulis Kolonel Suharyo alias Hario Kecik, pimpinan perang Surabaya 1945 yang pada saat itu menjabat sebagai Panglima Kodam IX Mulawarman.
Diproduksi oleh Kodam IX Mulawarman bekerjasama dengan Perfini. Sunjoto Adibroto yang datang ke Jogja mencari para pemain film adalah sutradaranya.
BACA JUGA: Perempuan Berkebaya di Laman Google Kemarin Siapa Ya?
"Aku yang bermain sebagai gadis Dayak terpaksa harus syuting di pedalaman Kalimantan Timur bersama pemain dari Jogja dan Jakarta," kenang Mien.
Selain Mien, bintang film yang turut main di Tangan-Tangan Jang Kotor antara lain Kusno Soedjarwadi, Mansyur Syah, Sri Wahyuni dan Maruli Sitompul--yang kesohor bermain di film Si Buta Dari Gua Hantu.
Film Termahal
Tangan-Tangan Jang Kotor digadang-gadang sebagai film termahal pada masanya. Berapa biayanya?
"Biaya yang dikeluarkan kurang lebih dua puluh juta rupiah. Jumlah terbesar pada zaman itu untuk pembuatan sebuah film," tulis Hario Kecik, si empunya karya dalam buku Pemikiran Militer 1: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia.
Yang unik dalam pembuatan film ini, manajemen finansial keuangannya dijalankan terbuka.
"Semua kesatuan organisasi massa pengikut serta dapat mengadakan pengawasan terhadap pengaturan dan penggunaan keuangan yang diperlukan dalam pembuatan film Tangan-Tangan Kotor itu," ungkap Hario.
Film itu dapat dikatakan kolosal tanpa dibesar-besarkan, karena jumlah rakyat yang diikutsertakan main tidak kurang dari sepuluh ribu orang. Terdiri atas penduduk kota dan suku-suku Dayak di pedalaman.
Menurut Hario, pengerahan massa yang begitu besar dapat terjadi berkat kerjasama dalam organisasi Front Nasional yang didukung oleh seluruh persatuan buruh dan tani yang ada di Kalimantan Timur.
Pembikinan film kolosal pada 1962 di Kalimantan ini, mempertemukan empat suku besar dalam suatu festival besar suku-suku Dayak di pedalaman dan mempersatukan mereka dalam rangka politik Konfrontasi Malaysia.
Tujuan dari pembuatan film ini, tulis Hario Kecik, sebagai penerangan dan untuk memberi semangat kepada para transmigran sekaligus mempersatukan dan asimilisasi kebudayaan kaum pendatang dan rakyat asli di pedalaman.
"Bersamaan dengan itu politik konfrontasi terhadap tentara Inggris di Sarawak dapat dengan lebih mudah disosialisasikan karena dapat disimulasikan untuk penduduk di pedalaman yang masih hidup dalam taraf sederhana dan dapat digambarkan sambil main film."
Juara Dunia
Prisma volume 7 mengulas sedikit banyak kisah ini di bawah tajuk, hasil kerja sutradara golongan kiri Indonesia dalam periode 1957-1965.
Semenjak dirilis pada 1963, Tangan-Tangan Jang Kotor mendulang sekian penghargaan.
"Film ini sempat diputar di RRC. Menyertai pemutaran film ini, aku bersama Fifi Young dan Rendra Karno ditemani sutradara Basuki Effendi berkeliling ke berbagai kota di RRC," kenang Mien Brodjo, bintang film tersebut.
Jakarta, April 1964…
Menyusul Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung, diselenggarakanlah Asian African Film Festival atau Festival Film Asia Afrika (FFAA).
FFAA pertama dihelat di Tashkent, Uzbekistan 1958. Yang kedua di Kairo, Mesir 1960. Yang ketiga di Jakarta 1964, dan babak ini yang mau kita kisahkan.
"Festival Film Asia Afrika III yang dihadiri oleh 26 negeri yang berlangsung di Jakarta, ibukota Republik Indonesia, dari tanggal 19 s/d 30 April 1964," demikian termaktub dalam Komunike FFAA III, tertanggal 30 April 1964.
Film-film yang difestivalkan di FFAA III, "tidak boleh menyimpang dari semangat Dasasila Bandung," seru Ny. Utami Suryadarma, Ketua Delegasi Indonesia merangkap Ketua Umum Komnas FFAA.
Utami adalah istri Soeriadi Suryadarma, pejuang kemerdekaan Indonesia pendiri Angkatan Udara Republik Indonesia. Bapak AURI itu Kepala Staf Angkatan Udara pertama dan terlama (16 tahun).
Pada perhelatan film berkaliber dunia itu, Utami menyeru, "film-film yang isinya mempropagandakan politik imperialism-kolonialism lama dan baru, politik agresi, diskriminasi rasial, kebejatan moral, menghina Rakyat Asia Afrika ditolak tegas."
Sebab, "bertentangan dengan solidariteit Rakyat-Rakyat Asia Afrika," tandasnya.
Acara yang ditangani para pekerja seni itu semarak. Jakarta bersolek.
Hampir semua negara Asia-Afrika dan Amerika Latin ikut serta dan memamerkan filmnya masing-masing.
Surat kabar Mingguan Djaja nomor 117 menulis, film Indonesia yang jadi peserta dalam FFAA III "Tangan2 Jang Kotor" dan "Lembah Hidjau".
Dan…film Tangan-Tangan Jang Kotor memenangkan Bandung Award sebagai Film Terbaik FFAA III.
Tak hanya itu. Film hitam putih itu juga menyabet penghargaan Lumumba Award kategori skenario terbaik.
Kolonel Hario Kecik naik podium menerima anugerah itu. Soekarno pun menjulukinya Alfred Hitchock--satu di antara sutradara terbaik dan terpopuler sepanjang zaman. (wow/jpnn)
Baca juga: Kisah Satu Babak Perfilman Indonesia
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menyempurnakan Teknik Sun Tzu
Redaktur & Reporter : Wenri