jpnn.com - INI kisah kemunculan pertama Tan Malaka. Sosok yang mula-mula mengonsep Republik Indonesia.
Wenri Wanhar – Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Fadli Zon: Tak Ada Ahok, Tak Ada Gesekan
Angin berubah. Senin, 27 Maret 2017, DPR RI menggelar diskusi publik bertajuk “Pemikiran & Perjuangan Tan Malaka” di Operation Room, Gedung Nusantara—gedung yang serupa cangkang kura-kura--di DPR RI, Jl Gatot Subroto, Jakarta.
Ini peristiwa bersejarah. Mengingat kabarnya, sejak medio 1960-an, semenjak Orde Baru berkuasa, baru kali itu sosok perjuangan dan pemikiran Tan Malaka dibahas secara terbuka di gedung wakil rakyat.
BACA JUGA: Fadli Zon Heran Surat Presiden Sudah Beredar
Bekerjasama dengan Institute for Policy Studies (IPS), diskusi itu menghadirkan Harry A. Poeze, ilmuwan Belanda yang 40 tahun lebih mendidikasikan hari-harinya untuk meneliti Tan Malaka.
Di samping Poeze yang duduk di sudut kiri (lihat foto; dari kiri ke kanan), pembicara lainnya ada Hengky Novaron Arsil Dt Tan Malaka (keturunan ke-7 Raja Adat Kelarasan Bungo Setangkai), Fadli Zon (Wakil Ketua DPR RI), Muhammad Tri Andhika (Direktur IPS selaku moderator) dan Mohammad Iskandar (sejarawan).
BACA JUGA: Revisi UU ASN Mulai Dibahas April
Saking penuhnya, sejumlah orang yang tak kebagian kursi, mau tak mau harus berpuas diri menyimak diskusi di sudut-sudut. Acara yang digagas Fadli Zon ini cukup disambut antusias.
Atas nama lembaga pemerintahan, sejak Orde Baru, sebetulnya perhelatan di DPR tadi merupakan acara kedua yang merundingkan Tan Malaka.
Yang pertama diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI bersama Tan Malaka Institute (TMI) pada 18 September 2016 di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jl. Imam Bonjol, Jakarta Pusat.
Harry A Poeze, yang jadi pembicara di kedua acara itu mengaku terharu. Jika di DPR dia banyak berterima kasih kepada Fadli Zon, waktu usai acara di Museum Proklamasi matanya berkaca-kaca saat berbincang dengan Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid.
Pasalnya, sebelum itu berkali-kali diskusi Tan Malaka yang dihadirinya dibubarkan paksa. Tapi, kini angin telah berubah. Negara kembali mengenang Tan.
Di kedua diskusi itu, antara lain kembali diketengahkan bahwa Tan Malaka yang pernah menjabat ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah orang pertama yang menggagas Republik Indonesia sebelum Soekarno dan Hatta.
Pertama Muncul
Sejak dibuang oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada 1920-an awal, Tan Malaka buron. “Hilang” dan “muncul lagi” seminggu setelah proklamasi di Cikini, Jakarta Pusat. Sepelemparan batu dari Pegangsaan Timur, tempat proklamasi dibacakan Soekarno dan Hatta.
Berikut kisahnya...
Sabtu, 25 Agustus 1945. Tan Malaka keluar dari persembunyian. Dia bertandang ke rumah Ahmad Subardjo di Jalan Cikini Raya 82 Jakarta.
Kisah ini diceritakan Tan Malaka dalam buku Dari Penjara ke Penjara jilid 3. Soebardjo menceritakan hal yang sama dalam buku Kesadaran Nasional.
Pembantu rumah tangga meminta Tan Malaka menanti di depan. Sejurus kemudian, Subardjo muncul. Dia mendapati seseorang duduk di pojokan.
“Sepintas lalu, wajah tamu itu mirip Mr. Iskaq Tjokrohadisuryo, bekas anggota Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda,” kenang Sebardjo. Pria kelahiran Karawang Jawa Barat, 23 Maret 1896 ini merupakan perumus naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia dan Menteri Luar Negeri RI pertama.
Begitu bertatap muka, Soebardjo tidak mengenali tamunya.
“Anda lupa kepada saya?” tanya tamu itu.
Setelah mematut-mematut, Soebardjo terperanjat dan berkata, “O, Tan Malaka! Saya sangka sudah mati. Sebab saya baca di surat kabar bahwa kau disebut menjadi korban dalam kerusuhan di Birma. Ada lagi kabar bahwa kau berada di Yerusalem dan dikatakan mati dalam kerusuhan Israel.”
Tan Malaka tertawa dan menjawab dalam bahasa Belanda, “Onkruid vergaat toch niet.” Dalam bahasa Indonesia lebih kurang artinya, alang-alang tak dapat musnah kalau tak dicabut sampai ke akar-akarnya.
Tan Malaka mengaku kalau Soebardjo orang pertama yang memanggilnya Tan Malaka setelah dua puluh tahun. “Ganjil benar bunyi nama itu di telinga saya sendiri,” kenangnya.
Sejak jadi buruan Politieke Inlichtingen Dienst (PID), polisi rahasia pemerintah Hindia Belanda yang memata-matai kaum pergerakan, dia bergonti-ganti nama.
Sekira 23 nama samaran Tan Malaka antara lain Elias Fuentes, Estahislau Rivera, Alisio Rivera di Filipina; Hasan Gozali di Singapura, Ossorio di Shanghai, Ong Soong Lee di Hongkong, Tan Ming Sion di Burma, Cheung Kun Tat dan Howard Law di Tiongkok; Legas Hussein, Ramli Hussein, dan Ilyas Hussein di Indonesia.
“Tan Malaka dan Soebardjo kenalan di Belanda ketika sama-sama menimba ilmu. Mereka jumpa dan menghabiskan waktu berlama-lama pada 1919 dan 1922,” sebagaimana dicuplik dari buku Jejak Intel Jepang.
Menurut Soebardjo, postur tubuh Tan Malaka lebih tinggi dari padanya. Pundaknya lebar, kupingnya berdiri, dan sorot matanya tajam. Jika bicara suaranya sangat lembut.
Soebardjo menanyakan kabar dan rencana Tan Malaka.
“Sampai sekarang saya hidup incognito (tidak remi) di bawah tanah. Sekarang Indonesia sudah merdeka, saya ingin hidup dan bergerak di atas tanah secara resmi. Saya ingin menemui dan mengenal pemimpin-pemimpin Indonesia,” kata Tan.
“Tan Malaka tinggal di mana?” tanya Soebardjo.
Sambil mesem, Tan Malaka menjawab, “Bagaimana seorang zwerver (gelandangan) mempunyai tempat kediaman tertentu…”
“Kalau begitu, baiklah saudara tinggal buat sementara waktu di rumah paviliun saya saja. Saya ingin mendengar pengalaman saudara sesudah kita berpisah di Belanda.”
Malam Minggu di Cikini itu terasa hangat. Keduanya saling bertukar cerita. Masing-masing mengisahkan apa saja yang mereka lampaui setelah berpisah di Belanda. Di tengah suasana revolusioner pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, cerita-cerita mereka tentu tak lepas dari riuh rendah dunia perjuangan.
Saat JPNN.com bertandang ke sana tempo hari, paviliun itu masih ada. Kosong. Gelap tak berlampu. Sunyi. Sesunyi jalan yang ditempuh Tan Malaka. (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Fadli Zon Sebut Jokowi Ahistoris soal Agama dan Politik
Redaktur & Reporter : Wenri