Tak banyak peneliti yang menggeluti tokoh di negeri ini untuk dijadikan obyek penelitianNamun sejarawan Belanda, Harry A Poeze, menjadi segelintir ilmuwan yang terus berkutat meneliti tentang Tan Malaka
BACA JUGA: Ada Rumput Sintetis untuk Buang Kesan Mengerikan
Hampir empat dasa warsa Harry berupaya memecahkan berbagai misteri tentang Tan Malaka.======================
Ayatollah Antoni, Jakarta
======================
MILK coklat mengawali perbincangan Harry A Poeze dengan JPNN, beberapa waktu lalu
Namun pemilik nama lengkap Harry Albert Poeze yang dikenal rendah hati itu masih sempat meluangkan dua jam waktunya untuk meladeni pertanyaan-pertanyaan tentang ketekunannya meneliti Tan Malaka
BACA JUGA: Mengunjungi Gayus Tambunan di Rumah Tahanan Cipinang
Secara telaten, Harry pun menuturkan awal perkenalannya dengan Tan Malaka.Berawal dari kuliah di Universitas Amsterdam tahun 1970, Harry mendapat kurikulum sejarah Indonesia
BACA JUGA: Harry Lumantouw Lima Tahun Cuci Darah
"Ada tokoh-tokoh disebut dalam buku itu, termasuk Tan MalakaTapi soal Tan Malaka itu paling misterius," ucap Harry.Akhirnya, ia pun menulis skripsi tentang Tan Malaka hingga lulus tahun 1972Hanya berselang 4 tahun saja Harry sudah mengantongi gelar doktor dari Universitas Amsterdam juga karena meriset Tan Malaka.
Tentunya tak mudah bagi pria yang pada 20 Oktober lalu genap berusia 63 tahun itu untuk memecahkan misteri-misteri seputar Tan MalakaUntuk merekonstruksi riwayat hidup Tan Malaka saja, kata Harry, sangat sulitIa sampai harus meneliti latar belakang penulis-penulis tentang Tan Malaka yang jumlahnya tak banyak.
Soal kesulitan, Harry mencontohkan ketika ia harus dihadapkan pada informasi-informasi yang tidak sahih tentang Tan Malaka"Kesulitan meriset karena terutama sumber-sumber yang sangat tersebar dan jarangSumbernya juga banyak yang kontradiktif, terutama sumber-sumber yang banyak bohong dan fitnah," ucapnya.
Menurut Harry, pihak yang menyebarkan kabar bohong tentang Tan Malaka justru dari kalangan komunis di IndonesiaSebab, Tan Malaka dianggap pengkhianat karena tidak mendukung pemberontakan komunis pada 1927"Ada banyak orang yang dengan sadar membohongi sayaYang memfitnah (Tan Malaka) orang komunis sendiriDia tidak ikut Moskwa dan Stalin setelah pemberontakan komunis 1927Karena itu orang-orang seperti Muso dan Alimin (tokoh komunis) menganggap Malaka sebagai orang yang harus dilenyapkan," bebernya.
Selain itu, sumber dari kalangan militer yang menjadi eksekutor atas Tan Malaka juga memilih bungkam"Terutama dari eks-Brawijaya (Bataliyon di Jawa Timur) karena kekhawatiran akan adanya balas dendam dari pengikut Tan MalakaWaktu Tan Malaka dieksekusi di lereng Gunung Wilis pada 1948, masih banyak pengikutnya dari Partai Murba yang baru saja didirikan," papar Harry.
Belum lagi, sikap pemerintahan Orde Baru yang "mengharamkan" sosok Tan Malaka membuat Harry kesulitan saat melakukan riset lanjutanGelar pahlawan yang disandang Tan Malaka ternyata tak membuat pemerintahan Orde Baru menempatkan Tan Malaka sebagai sosok istimewa.
Harry memang tidak masuk dalam daftar cekal dan dilarang masuk IndonesiaNamun tetap saja halangan ditemuinya di lapangan ketika berusaha menemui sumber-sumber utama dalam meneliti Tan Malaka.
Misalnya, ketika Harry berkunjung ke kampung halaman Tan Malaka di Pandan Gadang, Sumatera Barat tahun 1976Waktu itu, tuturnya, akses transportasi ke Pandan Gadang begitu sulit karena jalanan yang burukBahkan Harry harus menyewa ojek untuk mengantarkannya ke rumah Tan Malaka.
Pandan Gadang seolah-olah memang diisolasi oleh pemerintah Orde Baru"Saya dan istri saya dicegat dua orang polisiMereka melarang kita masuk ke Pandan GadangSaya pura-pura tak bisa berbahasa Indonesia dan mengaku sekedar tourist yang ingin berwisataBeruntung karena membawa istri, akhirnya saya lolos ke Pandan Gadang untuk melakukan penelitian," kenangnya.
Karenanya pula Harry merasa tak heran ketika buku karangannya yang berjudul "Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik" dilarang pemerintah Orde BaruTapi larangan itu seolah justru mendongkrak nama Tan Malaka maupun Harry sebagai penulisnya.
"Ada paradoks, buku saya itu dilarang zaman Orde Baru, tapi jadi populer karena dilarangKarena pelarangan oleh pemrintah Indonesia, buku itu malah mendapat perhatian lebih besar dari publik," ulasnya.
Ketekunan Harry bertahun-tahun meriset Tan Malaka bukannya tanpa hasilNamun setiap misteri terpecahkan, muncul lagi sebuah misteri baru.
Sebagai contoh adalah tahun kelahiran Tan MalakaAwalnya, Harry meyakini Tan Malaka lahir tahun 1897Tapi kini ia meyakini bahwa tahun kelahiran Tan Malaka adalah 1894, dan bukan 1897Kepastian itu diperolehnya ketika mendapatkan sebuah dokumen tentang daftar murid baru Sekolah Guru di Bukittinggi"Dalam daftar itu adan murid bernama Ibrahim (nama kecil Tan Malaka) yang masuk sekolah itu pada 1907Saat masuk sekolah, Tan Malaka tertulis berusia 13 tahun," kata Harry.
Meski demikian tetap saja masih ada misteri yang ingin dipecahkannya"Saya masih belum mendapat kepastian tanggal dan bulan kelahiran Tan Malaka," ucapnya.
Hasil lain dari riset Harry, adalah bertemu dengan Zulfikar, kemenakan Tan Malaka yang kini tinggal di kawasan Cilandak, Jakarta SelatanKeberadaan Zulfikar menjadi penting karena menjadi pembanding bagi DNA dari kerangka dari sebuah mmakam di Selopanggung, Kediri, yang diyakini Harry sebagai Tan Malaka.
Meski begitu Harry merasa yakin bahwa kuburan di Desa Selopanggung, Semen, Kediri, adalah makam Tan MalakaBahkan untuk soal ini, Harry merasa terbantu dengan sebuah tulisan di Jawa Pos pada tahun 2007 yang masih disimpannya.
"Saya pernah terbantu dengan wartawan Jawa Pos yang ke Selopanggung dan meneruskan riset saya dengan tulisan untuk koranItu menjadi informasi baruItu salah satu yang membantu untuk memperkuat dugaan tentang lokasi kuburan Tan MalakaPenulisnya adalah wartawan yang akan saya puji dalam edisi buku Tan Malaka nantiSaya masih simpan korannya," sebutnya.
Lantas setelah 40 tahun meneliti Tan Malaka, apakah menjadikan Harry bersikap dan berideologi seperti tokoh yang ditelitinya? "Saya moderat, saya dulu aktif sebagai anggota Partai Sosial Demokrat di BelandaTapi sekarang sudah tidak ada waktu," ujar mantan anggota Dewan Kota Castricum, sekitar 20 kilometer dari Amsterdam"Saya 11 tahun di Dewan Kota, termasuk menjadi pembantu Walikota," kenang Harry tentang kiprahnya sebagai politisi dalam kurun waktu 1971 hingga 1982.
Harry juga memilih hidup berumah tangga dan menetap di Castricum, tidak seperti Tan Malaka yang memilih tidak menikah demi mendukung sikap revolusionernya untuk memerdekakan bangsaSoal alasan Tan Malaka tidak menikah, Harry menuturkan bahwa dalam kesehariannya tokoh sentral Partai Murba itu hanya memiliki dua stel pakaian, satu helm, dan satu buku catatan"Agar gampang kalau sewaktu-waktu melarikan diri," ujarnya.
Tapi berbeda dengan tokoh yang ditelitinya, Harry kini adalah ayah dari dua anak dan seorang cucu bernama BimoDari pernikahannya dengan wanita bernama Henny, Harry memiliki dua anak laki-lakiSalah satu anaknya menikahi perempuan asal Surabaya yang memiliki anak bernama Bimo"Sekarang tingal di Harleem, tak jauh dari dulu tempat Tan Malaka tinggal di Belanda," ujarnya dengan nada bangga.
Apakah Harry masih ingin berkutat dengan penelitian tentang Tan Malaka? "Ya," jawab mantan direktur penerbitan di lembaga penelitian kerajaan Belanda atau yang lebih tenar dengan nama Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde (KITLV) sembari menganggukKarena dari perburuannya tentang Tan Malaka itu, selalu ditemukan data baru.
Harry bahkan menemukan data baru tentang Tan Malaka di Rusia"Isi datanya adalah laporan ke pemerintah Moskwa tentang kiprah Tan Malaka," ucapnya"Saya pikir riset sudah hampir selesaiTapi dari sana-sini memang ada saja menemukan tulisan tentang Tan MalakaSaya memang ke pelosok dunia untuk memburu jejak-jejak Tan MalakaSejarah memang selalu ditulis orang yang menangSaya cuma ingin memberi tempat bagi tokoh yang dilupakan," ujarnya.(ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Universita Del Caffe, Kampus Para Mahasiswa yang Belajar tentang Kopi
Redaktur : Tim Redaksi