Harta Tak Dilaporkan Dianggap Penghasilan

Kamis, 21 September 2017 – 16:05 WIB
Warga melaporkan surat pemberitahuan (SPT) tahunan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Setelah program amnesti pajak berakhir, pemerintah menerbitkan beleid yang mengatur pengenaan pajak bagi harta yang tak dilaporkan dalam tax amnesty.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2017 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap sebagai Penghasilan tersebut telah ditetapkan pada 6 September 2017.

BACA JUGA: Realisasi Penerimaan Pajak Baru 52,23 Persen

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama menjelaskan, setiap wajib pajak (WP) berhak mendapatkan pengampunan pajak dengan menyampaikan surat pernyataan harta pada 1 Juli 2016 sampai 31 Maret 2017.

Namun, walaupun program amnesti pajak telah berakhir pada 31 Maret 2017, ada konsekuensi bagi WP dalam tiga kategori.

BACA JUGA: Yuk, Tertib Bayar Pajak untuk Bantu Rakyat Kecil

Yang pertama, peserta amnesti pajak dan ditemukan harta yang tidak diungkapkan dalam surat pernyataan harta (SPH).

”Maka, harta bersih yang ditemukan dianggap sebagai penghasilan dan dikenai PPh sesuai ketentuan dan sanksi sebesar 200 persen,’’ ujarnya kemarin (20/9).

BACA JUGA: Dampak Penurunan Pajak Terhadap Masa Depan UMKM

Kemudian, tutur Yoga, kategori kedua adalah peserta program amnesti pajak yang gagal melaksanakan komitmen repatriasi atau investasi dalam negeri.

Konsekuensinya, harta bersih tambahan yang diungkapkan dalam SPH dianggap sebagai penghasilan tahun pajak 2016 dan dikenai PPh serta sanksi sesuai aturan yang berlaku.

Yang terakhir, bukan peserta amnesti pajak dan ditemukan harta yang tidak diungkapkan dalam surat pemberitahuan (SPT) tahunan pajak penghasilan.

Maka, konsekuensinya, harta bersih yang ditemukan dianggap sebagai penghasilan saat ditemukan dan dikenai PPh serta sanksi sesuai aturan. 

Pemerintah juga mengatur tarif pajak penghasilan final dengan tarif lebih ringan, yakni 12,5 persen.

Tarif tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan tarif yang diberikan pada kelompok WP badan sebesar 25 persen dan WP orang pribadi yang pajaknya mencapai 30 persen.

Yang masuk kategori itu, WP yang memiliki penghasilan bruto dari usaha dan/atau pekerjaan bebas hingga Rp 4,8 miliar.

Kemudian, ada pula WP dengan penghasilan bruto selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas hingga Rp 632 juta dan penghasilan bruto dari usaha dan/atau pekerjaan bebas yang secara total jumlah penghasilan bruto dari keduanya paling banyak Rp 4,8 miliar.

’’Penyesuaian tarif ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa WP tersebut masih perlu dibina dan dikembangkan tanpa dibebani pajak yang tinggi,’’ katanya.  

Namun, jelas Yoga, PP itu tidak berlaku bagi masyarakat yang memiliki penghasilan di bawah penghasilan tidak kena pajak (PTKP).

Sebagai informasi, batasan PTKP adalah Rp 54 juta per tahun.

PP tersebut juga dikecualikan bagi WP yang memiliki penghasilan dari warisan atau hibah yang sudah dilaporkan dalam SPT pewaris atau pemberi hibah.

Yoga pun berharap, dengan terbitnya PP itu, masyarakat bersedia melaporkan harta dari penghasilan yang belum dibayarkan pajaknya dan harta yang belum dilaporkan dalam SPT tahunan.

Begitu juga WP yang belum mengikuti program amnesti pajak. Dia mengungkapkan, masyarakat sebaiknya segera melakukan pembentulam SPT sebelum nanti dilakukan pemeriksaan.

’’Maka, selama belum dilakukan pemeriksaan, WP masih dapat melakukan pembetulan SPT dengan melaporkan harta tersebut serta penghasilan dan pajak yang harus dibayar. Tapi, kalau sudah diperiksa, tidak bisa,’’ jelasnya. (ken/c20/sof)

BACA ARTIKEL LAINNYA... 2017 Kurang 4 Bulan, Realisasi Pajak Hanya 53 Persen


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler