jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif The Cyrus Network Hasan Nasbi mengomentari kritikan yang dilancarkan sejumlah kalangan terhadap baliho yang memuat gambar maupun pesan dari para tokoh politik di masa pandemi COVID-19.
Dia menilai kritikan tersebut pada akhirnya hanya akan menjadi nyinyir yang tak berujung.
BACA JUGA: Maarif Institute Soroti Gaya Muhammadiyah Bantu Pemerintah Tangani COVID-19
“Kalau diikuti akhirnya akan sampai pada 'nyinyir' tak berujung,” ujar Direktur Eksekutif The Cyrus Network Hasan Nasbi dalam keterangan pers diterima di Jakarta, Rabu (4/8)
Hasan Nasbi juga menyoroti kritik yang beredar luas di media sosial, soal dana pemasangan baliho tokoh publik yang lebih baik digunakan untuk membantu masyarakat terdampak pandemi.
BACA JUGA: Indonesia Dukung AS atau Tiongkok? Basarah Beri Usulan Begini
“Ini kan kata-kata yang seolah-olah punya pendirian moral tetapi pendirian moral ini sulit untuk dipertanggungjawabkan,” ucapnya.
Hasan lalu menganalogikan pemasangan baliho dengan kebutuhan seseorang terhadap pakaian baru yang memang ingin dibeli.
BACA JUGA: Selamat! Ribuan Prajurit TNI AL Dapat Tunjangan Kesejahteraan
“Terus kalau ada orang yang tiba-tiba nyinyir kenapa harus beli baju baru sih di antara banyak orang kelaparan, kenapa enggak uang untuk beli baju baru kamu disumbangkan kepada orang yang membutuhkan,” ucapnya.
Hasan mengatakan kehidupan di luar penanganan pandemi harus terus berjalan, termasuk kehidupan politik.
Oleh karena waktu pemasangan baliho politik saat pandemi tidak ada ukurannya untuk dikatakan tepat atau tidak tepat.
“Menurut saya karena teorinya waktu yang tepat untuk masang baliho, masang spanduk, bisa kemarin, bisa hari ini, bisa besok, bisa bulan depan," kata dia.
Jadi menurut dia waktu pemasangan baliho politik tergantung para tokoh-tokoh tersebut kapan mau memulainya.
"Kan bisa saja pasang media luar ruang saat lebaran, ucapkan selamat lebaran. Nanti dikritik lagi kok masa pandemi pasang spanduk ucapan selamat lebaran,” katanya.
Menurutnya, pemasangan baliho politik itu tidak ada hubungannya dengan empati saat pandemi.
Selain itu, bukan berarti pula orang yang memasang baliho saat pandemi tidak melakukan tindakan-tindakan bentuk kemasyarakatan.
"Dia pasang billboard, tetapi dia juga menyumbang ke masyarakat, dia juga buat kebijakan yang membantu masyarakat. Dua-duanya bisa berjalan sekaligus,” kata Hasan.
Menurut dia, yang perlu dikritik dari pemasangan-pemasangan baliho politik seperti soal apakah pemasangannya di tempat resmi yang diizinkan pemerintah daerah setempat, atau apakah pemasangan baliho tersebut membayar pajak.
Hasan mengingatkan, proses politik yang memerlukan biaya yang besar juga menggerakkan ekonomi masyarakat, terlebih di masa-masa sulit seperti saat ini.
Contohnya menurut Hasan, penyelenggaraan Pilkada 2020 menggerakkan ekonomi di akar rumput.
"Pada 2020 orang mengkritik kenapa harus ada Pilkada di 2020. Tetapi jangan lupa, perputaran uang ketika ada Pilkada 2020, kalau menurut perhitungan pemerintah, itu mencapai Rp 35 triliun,” katanya.
Menurut dia, menstimulus penghasilan warga dengan perputaran uang di sektor perekonomian merupakan cara terhormat dalam membantu kehidupan warga.
“Dan itu orang yang diberi kehidupan dengan cara terhormat. Karena dia bekerja, dapat gaji, keluarganya dapat makan,” pungkas Hasan.(Antara/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : Ken Girsang