Hasil Ngebom, jika Dipegang Kepalanya, Badan Menekuk

Rabu, 25 Januari 2017 – 00:16 WIB
Ismail Mustamin menunjukkan ikan jenaha hasil tangkapan tanpa ngebom di Berau, Kaltim, Jumat (20/1). Foto: JUNEKA SUBAIHUL MUFID/Jawa POS

jpnn.com - jpnn.com - Ismail Mustamin mencoba menebarkan kesadaran bahwa menangkap ikan dengan cara meledakkan bom hanya akan merusak ekosistem laut.

Dia ingin membuktikan bahwa menangkap ikan cara ramah lingkungan juga bisa membuat lebih sejahtera.

BACA JUGA: Anies: Ada Kemiskinan Luar Biasa di Kampung Nelayan

JUNEKA SUBAIHUL MUFID, Berau

Tangan Ismail Mustamin mengurut ikan jenaha tepat di bagian perut. Ikan yang punya nama latin Lutjanus synagris itu beberapa kali mendapatkan pijatan lembut dengan dua jari. Dia memastikan lagi dengan memijat di sisi lain.

BACA JUGA: Di Tengah Keterbatasan Masih Bisa Ucapkan Alhamdulillah

Ismail agak kesulitan karena ikan yang punya nama beken lane snapper tersebut berbadan agak lebar dengan panjang 0,5 meter.

”Kalau perutnya kenceng, six-pack, berarti ini ikan bagus. Bukan dari ikan bom,” ujar Ismail saat ditemui Jumat siang (20/1) di gudang penyimpanan ikan miliknya.

BACA JUGA: Akibat Kebijakan Bu Susi, Nelayan Menyesal Pilih Jokowi

Gudang di atas air itu terletak dekat dermaga Sidayang, Tanjung Batu, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.

Dermaga tersebut juga menjadi salah satu pelabuhan (port) menuju Pulau Derawan yang terkenal dengan wisata bawah lautnya.

”Ciri lainnya kalau hasil ngebom itu, jika dipegang kepalanya, maka badannya menekuk. Kepala sama ekor hampir bertemu,” imbuh pria kelahiran Bone, 20 November 1985, tersebut.

Tubuh ikan yang ditangkap dari hasil peledakan bom itu biasanya rusak. Tulang ikan remuk. Bagian perut juga tidak kencang lagi karena terkena ledakan.

Ciri lain, mata ikan tidak terang lagi dan insangnya tidak merah. Ismail tidak mau membeli ikan seperti itu. Sebab, kualitasnya buruk.

”Kalau makan ikan di bagian perut rasanya pahit, patut diduga itu hasil ngebom. Karena empedunya pecah,” ujar dia.

Tapi, semua itu memang tidak lagi terasa bila ikan dimasak dengan bumbu yang melimpah.

Bahkan, ikan yang cenderung terasa manis dan gurih sudah tak muncul. ”Pertanyaannya, itu makan ikan atau makan bumbu?” ucap Ismail, lantas tersenyum kecil.

Ismail memang fanatik terhadap cara penangkapan ikan. Saat santap siang di sebuah restoran di dekat dermaga, Ismail membawa ikan sendiri.

Dia meminta pemilik restoran memasak tanpa bumbu. Ikan yang masih segar itu dibakar, digoreng, dan diberi kuah. Sambal pelengkapnya dari irisan tomat segar ditempatkan terpisah.

Urusan menangkap ikan ramah lingkungan yang konsisten dilakukan Ismail itu bukan hanya soal kualitas ikan ekspor.

Lebih dari itu, menangkap ikan semestinya juga diiringi menjaga lingkungan perairan. ”Padahal, alam itu aset. Kalau terumbu karang rusak, makin sedikit tangkapan,” tuturnya.

Ismail hanya membeli ikan dari nelayan yang menangkap dengan kail dan jala. Kualitas ikan terjaga.

Begitu juga ekosistem laut. Harga ikan pun dibeli lebih mahal daripada harga pasaran.

Faidy Wibowo, seorang pembeli dari Jakarta, datang langsung ke gudang Ismail. Faidy menyatakan sudah dua kali ini membeli ikan dari Ismail untuk diekspor ke Hongkong.

”Kualitasnya yang paling bagus di antara yang ada di sini. Kalau untuk ekspor, jelek sedikit saja reject,” jelas dia.

Ismail mengungkapkan, saat memulai bisnis ikan, dirinya tidak terlalu mengerti soal menjaga lingkungan.

Yang dia tahu, menangkap ikan dengan cara mengebom itu melanggar hukum. Artinya, bisa saja pelakunya dipenjara atau didenda karena perusakan lingkungan.

”Membeli ikan dari hasil ngebom berarti terlibat,” ucap Ismail yang masuk ke Tanjung Batu sekitar 2004.

Ismail mengaku sebelumnya tidak tahu sama sekali tentang bisnis ikan. Sejak SMP dan SMA di Sulawesi Selatan dia menekuni elektronika.

Hasil memperbaiki barang elektronik itu dipergunakan untuk biaya sekolah sendiri.

Lulus dari SMA, Ismail melanjutkan studi ke jurusan elektronika di STMIK Dipanegara Makassar. Tapi, dia tidak nyaman karena pada saat kuliah justru dibiayai orang tua. Akhirnya dia memilih merantau ke Tanjung Batu.

Semula Ismail hanya ingin berwisata dan join investasi dengan temannya dalam bisnis ikan.

Tapi, kongsi itu gagal. Bukan untung, malah buntung. Dia butuh waktu tiga tahun untuk jungkir balik mendapatkan pemancing dan pembeli yang jujur.

Ismail tahu bisnis ikan itu menguntungkan. Hanya, pada tiga tahun pertama tersebut, labanya dibawa pembeli curang atau nelayan yang berutang.

”Tapi, dari awal saya memang hanya mau beli ikan yang ditangkap ramah lingkungan,” ujar dia kembali menegaskan soal ramah lingkungan itu.

Saat ini ayah satu putra tersebut sudah punya sekitar seratus nelayan binaan yang menangkap ikan dengan eco-friendly.

Tapi, baru 70 nelayan yang diberi kartu anggota kemitraan. Sisanya, 30 orang, masih magang.

Kartu anggota itu menjadi salah satu inovasi yang dibuat Ismail. Dengan kartu anggota tersebut, nelayan mendapatkan subsidi saat membeli di toko peralatan tangkap ikan di belakang rumahnya di Jalan Raya Bulalung, Tanjung Batu.

Di toko itu hampir semua barang punya dua harga. Satu harga untuk nelayan umum. Satu lagi harga yang lebih murah untuk nelayan anggota.

Selisihnya cukup besar. Mulai ratusan hingga ratusan ribu rupiah. Mesin kapal, misalnya, untuk nelayan biasa dihargai Rp 8–9 juta.

Sedangkan untuk anggota sekitar Rp 7,5 juta. Yang murah seperti mata pancing untuk nelayan umum Rp 3.000 per biji. Anggota cukup Rp 2.500.

Ismail memang sengaja memamerkan perbedaan harga itu untuk memancing rasa penasaran nelayan lain. Biasanya mereka akan meminta penjelasan lebih detail mengapa kok beda harga.

”Di sana itulah kami sosialisasikan cara dan manfaat besar menangkap ikan dengan ramah lingkungan,” ungkap suami Nur Widia Masita itu.

Tapi, Ismail begitu ketat menyeleksi anggotanya. Begitu ketahuan menyelipkan ikan hasil bom, kartu anggota dicabut dan masuk blacklist.

”Pernah ada nelayan yang debat sama saya. Untuk buktikan, kami belah ikannya dan terbukti tulangnya remuk. Nelayan itu malu sendiri,” bebernya.

Ismail dengan tegas mencabut kartu anggota meskipun nelayan itu sudah lama menjual ikan kepadanya. ”Jadi shock therapy untuk yang lain,” ucap pria berdarah Bugis tersebut.

Selain itu, Ismail memberikan pinjaman tanpa bunga. Uang yang bergulir sudah Rp 425 juta.

Nelayan bisa sesuka hati membayar pada saat menjual hasil tangkapan. Mulai Rp 5 ribu hingga Rp 10 ribu. ”Tidak ada paksaan kapan harus lunas,” ujar dia.

Tapi, Ismail sudah menyosialisasikan bahwa uang pinjaman tersebut tidak bisa lebih dari Rp 500 juta.

Jadi, bila ada nelayan yang butuh uang pinjaman, biasanya ada pula yang akan menyindir nelayan lain untuk segera membayar.

”Begitu ada yang membayar, yang mengajukan pinjaman kami hubungi kalau uangnya sudah ada,” kata Ismail.

Nelayan memang lebih suka menangkap ikan dengan cara mengebom. Sebab, hasil yang didapatkan melimpah sampai berton-ton.

Tentu uangnya pun banyak. Tapi tidak berkah. Alias uang tersebut seolah lewat begitu saja.

Muhammad Ali, salah seorang nelayan Tanjung Batu, mengakui hal itu. Dia dulu menangkap ikan dengan cara mengebom.

Bahkan, hingga kini dia masih hafal di luar kepala tata cara merakit bom ikan. ”Saya sudah berhenti pakai bom ikan sejak 2003. Makin semangat cari ikan dengan ramah lingkungan sejak ada Pak Mail (Ismail, Red),” ucap dia.

Ali mengungkapkan, uang hasil penjualan ikan dari mengebom itu seolah bisa lenyap begitu saja. Sebab, nelayan harus membayar aparat agar aksinya tetap aman.

Selain itu, uang habis untuk judi atau mabuk-mabukan di kota. ”Tidak bisa untuk menabung. Seperti masuk lingkaran setan,” jelas dia.

Berkat konsistensinya menyosialisasikan penangkapan ikan ramah lingkungan itu, Ismail mendapatkan penghargaan dari sebuah televisi swasta.

Dia pun sempat bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) pada November lalu saat Hari Pahlawan. Foto bersama JK itu dijadikan profile picture di aplikasi WhatsApp dia.

”Pernah juga diminta bicara di depan para pengusaha besar di Jakarta soal menjaga lingkungan. Saya gugup juga, yang hadir banyak orang besar,” kenangnya.

Acara tersebut salah satunya digagas The Nature Conservancy (TNC) yang menjadi mitra untuk penguatan komunitas penjaga lingkungan hidup.

”Kalau ikut komunitas itu akan lebih didengar. Beda kalau sendirian,” ujar dia.

Biasanya Ismail juga tampil bersama Kepala Kampung Merabu, Kecamatan Kelay, Franly Aprilano Oley.

Ismail berbicara soal pelestarian laut, sedangkan Franly berbicara tentang menjaga hutan adat.

”Kadang ke mana-mana ya berdua. Saya laut, Franly hutan,” katanya.

Ismail masih punya cita-cita menjadikan nelayan mandiri dan sejahtera. Tahun ini dia akan merealisasikan konsep bank ikan.

Nelayan menabung ikan dengan jenis yang sama dalam tempo lama, sekitar setahun. Selama ini nelayan itu kalau disuruh menabung susah. Sebab, uang yang dibawa ke rumah sering kali terpakai belanja istri.

”Siapa tahu nanti tabungannya banyak. Lalu bisa berikan kejutan kecil untuk istri,” tuturnya. (*/c9/agm)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Punya Banyak Utang, Nelayan Masih Ingin Pakai Cantrang


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
nelayan   Bom Ikan  

Terpopuler