jpnn.com - JAKARTA - Doktor Ilmu Pertahanan Hasto Kristiyanto menyatakan bahwa Indonesia dibangun berdasarkan gotong royong seluruh anak bangsa. Sekretaris jenderal (sekjen DPP PDI Perjuangan) itu menegaskan bahwa Indonesia dibangun untuk semua.
“Indonesia dibangun untuk semua. Meski berbeda suku, agama, status sosial, berbeda gender dan profesi, dengan kesadaran bersama berjuang melawan penjajahan Belanda dan atas kesadaran terhadap jasmerah, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, maka PDI Perjuangan bersama NU memperjuangkan Hari Santri sebagai spirit semangat hubbul wathon minal iman dan juga Hari Lahir Pancasila," katanya.
BACA JUGA: Hadiri Pameran Kemerdekaan RI, Hasto Beli 1 Lukisan Bu Fat yang Dipajang di Sekolah Partai
Hasto Kristiyanto menyampaikan itu saat hadir dalam acara “Penguatan Wawasan Kebangsaan, Fakta Radikalise Global dan Ikhtiar Penyangga NKRI” di Kampus IAIN Pontianak, Kalimantan Barat, Jumat (26/8). Hasto menyampaikan paparan dengan tema “Pancasila dan Api Islam”.
Turut hadir mendengar paparan Hasto, antara lain, anggota DPR Fraksi PDIP Dapil Kalbar Lasarus dan Maria Lestari. Kemudian, sejumlah kepala daerah yang diusung PDIP, anggota DPRD setempat, dan pengurus DPD PDIP Kalimantan Barat. Rektor IAUN Pontianak Dr. Syarif hadir memimpin jajarannya, bersama ratusan mahasiswa.
BACA JUGA: Hasto Bilang Bharada E Penembak Brigadir J Berhak Mendapatkan Penghargaan
Lebih lanjut Hasto memaparkan bagaimana Islam di Nusantara telah beralkulturasi bahkan berdialektika dan bersintesa dengan cara hidup di bumi nusantara yang begitu majemuk.
“Contoh akulturasi budaya terjadi ketika Sunan Kalijaga berdakwah Islam dengan wayang. Kesatupaduan filosofi Islam menyatu dengan falsafah nusantara yang telah hidup ribuan tahun sebelumnya. Sayang, kini ada segelintir kelompok yang berpikiran sempit dan mengharamkan wayang dan gamelan,” ungkap Hasto.
BACA JUGA: Bela Kepentingan Wong Cilik, PDIP Minta Pemerintah Batalkan Rencana Menaikkan Harga BBM
Dia juga memaparkan soal makna logo Nahdlatul Ulama (NU) yang sangat visioner mengenai Indonesia dan dunia, yang mana peradaban Islam nusantara memiliki visi yang begitu hebat bagi dunia.
Menurutnya, semua hal itu penting untuk memahami batapa radikalisme menjadi cermin kemunduran peradaban karena minimnya pemahaman terhadap toleransi.
Lalu, bagaimana soal Pancasila? Hasto menjelaskan ketika memahami Pancasila berdasarkan falsafah yang sebenarnya, yang disampaikan oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, dan kemudian diterima secara aklamasi oleh para pendiri bangsa, maka seharusnya Indonesia bebas dari berbagai bentuk radikalisme.
“Sebab, seluruh agama mengajarkan kebaikan, budi pekerti, etika dan moral, serta tidak ada yang mengajarkan sikap yang antikemanusiaan,” lanjut Hasto.
“Maka Bung Karno menggali seluruh mutiara peradaban nusantara dan dunia, bagaimana nusantara tumbuh subur dengan seluruh agama-agama yang ada di dunia, yang menyatu dengan local wisdom, dan berkesesuaian dengan kondisi geografis nusantara sebagai negara kepulauan. Dari Pancasila itu tegas bahwa pada dasarnya Indonesia adalah bangsa yang ber-Tuhan,” paparnya.
Dia pun menambahkan bahwa yang perlu diketahui ialah apa makna dari Sila Pertama Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.
“Bung Karno luar biasa, ketuhanan yang dimaksudkan adalah ketuhanan yang berbudi pekerti. Tidak hanya setiap warga, bahkan negara pun menyembah Tuhan. Dengan cara apa? Sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing. Apakah Pancasila memperbolehkan atheis? Tidak boleh. Karena bukan hanya setiap warga negara Indonesia, tetapi negara pun menyembah Tuhan,” urai Hasto.
Dia mengatakan bahwa kalau Pancasila dalam spirit kelahiran dan falsafahnya dipahami, maka tidak akan ada radikalisme. Menurutnya, mereka yang bergerak dengan ajaran membenci pihak lain, dan mengajarkan ideologi kegelapan yang antikemanusiaan, justru tidak memahami hakekat kehidupan yang ber-Tuhan.
“Sebab, mana ada agama yang mengizinkan antikemanusiaan? Untuk itu, pahamilah api Islam dan juga makna yang misalnya terkandung dalam logo NU yang penuh dengan makna Islam sebagai rahmatan lil alamin,” kata Hasto.
Hasto mengatakan kondisi saat ini bisa terjadi karena terlalu terpaku pada ke dalam diri sendiri (inward looking), dan bukan berpikir keluar (outward looking).
“Agama juga berusaha dipisahkan dari ilmu pengetahuan. Padahal bila demikian, maka akan sulit untuk berkemajuan. Pada titik itulah peran kampus sangat penting di dalam mendidik anak bangsa dan menyiapkan calon-calon pemimpin bagi masa depan,” katanya.
Dia pun menambahkan bahwa ada disertasi yang menjabarkan tentang prinsip-prinsip ketuhanan yang maha esa, keadilan sosial, kemanusiaan, persatuan dalam perspektif Islam. “Semua match. Lalu kenapa sekarang justru ada yang mempertentangkan? Ini karena kita inward looking,” ucap Hasto berpesan.
“Jadi daripada mencela pemimpin kita sendiri dan sesama anak bangsa, lebih baik kita berjuang keluar seperti Bung Karno membela kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika, termasuk Aljazair dan Palestina. Itu juga sikap PDI Perjuangan. Maka kami berharap kepada seluruh mahasiswa, gemblenglah Anda untuk menjadi pemimpin bangsa masa depan,” pungkas Hasto dikutip dari siaran persnya.
Sementara, Dr Syarif mengatakan kehadiran Hasto sebagai tokoh nasional, untuk sharing tentang nasionalisme di kalangan civitas akademika IAIN.
"Sharing tentang bagaimana tidak terjadi pemisahan atau dikotomi antara agama dan kehidupan bernegara. Bagi kita Pancasila sudah final. Namun, bagaimana memperkuat atau memperbesar partisipasi anak bangsa ini, khususnya para mahasiswa IAIN agar lebih mapan lagi,” kata Syarif. (boy/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : M. Kusdharmadi