Heboh Vonis Hukuman Mati di KUHP Baru, Pakar HAM Angkat Suara

Rabu, 12 April 2023 – 23:57 WIB
Imparsial menggelar diskusi publik bertema “KUHP Baru dan Problematika Hukuman Mati di Indonesia”. Foto: Imparsial

jpnn.com, JAKARTA - Menyoroti perihal vonis hukuman mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbaru, Imparsial menggelar diskusi publik bertema “KUHP Baru dan Problematika Hukuman Mati di Indonesia”.

Diskusi yang diselenggarakan pada Rabu (12/4) itu menghadirkan beberapa narasumber, seperti Al Araf selaku Peneliti Senior Imparsial yang juga Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Atnike Nova Sigiro, dan Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid.

BACA JUGA: Simpan Sabu-Sabu di Semak Belukar, Mr Terancam Hukuman Mati

Atnike menyampaikan aparat penegak hukum perlu juga memahami bahwa tata nilai dalam KUHP baru sudah berubah menuju penghapusan hukuman mati.

Dia mengingatkan Indonesia tidak bisa terlepas dari komunitas internasional yang semuanya mengarah pada penghapusan hukuman mati di negaranya.

BACA JUGA: Teddy Minahasa Dituntut Hukuman Mati, Pakar Hukum Pidana Berkomentar Begini

"Penghapusan hukuman mati sudah menjadi tren global. Namun, pemerintah dan pembuat kebijakan di Indonesia terkesan melawan arus global tersebut," ungkap dia dalam keterangannya.

Sementara itu, Usman Hamid mengatakan jika ada yang bertanya apa hukuman yang tepat untuk mengganti hukuan mati di Indonesia maka jawabannya ialah hukuman seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat.

BACA JUGA: Irjen Teddy Minahasa Putra Dituntut Hukuman Mati

Negara-negara yang sekarang melakukan penghapusan hukuman mati umunya mengetahui fakta, pertama bahwa karena berdasarkan penelitian menyatakan tidak ada efek jera dari pemberlakukan hukuman mati.

Selain itu, para algojo yang melakukan eksekusi mengungkapkan tidak ada suatu proses kematian tersebut yang terjadi tanpa melalui rasa sakit yang teramat sangat, sehingga itu merupakan satu bentuk kekejaman tersendiri.

"Kedua, hukuman mati dihapus bukan karena consensus (kesepakatan) umum, tetapi kuatnya kepemimpinan politik di negara tersebut yang melindungi dan menghormati hak asasi manusia," ujar dia.

"Selain karena hukuman mati itu keliru, dalam hukuman mati juga memiliki kerentanan oleh karena luasnya perbuatan pidana yang diancam hukuman mati, misalnya tindak pidana makar yang sangat mungkin vonisnya bias dan dijatuhkan kepada orang secara keliru."

Penghapusan hukuman mati dilakukan, karena pertimbangan ilmiah dan kepemimpinan politik yang pro terhadap tegaknya hukum dan HAM.

"Bukan karena konsensus atau reaksi masyarakat yang akan selalu terbelah, termasuk di negara yang, bahkan sudah menghapus hukuman mati."

Usman memberi contoh kasus Ferdi Sambo. Hukuman mati harus ditolak karena bertentangan dengan HAM, konstitusi, dan kemanusiaan. (rdo/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Soal Hukuman Mati Dalam KUHP, Wayan Sudirta: Penerapannya Selektif


Redaktur & Reporter : M. Rasyid Ridha

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler