jpnn.com - Warga Mareku selalu merayakan kemerdekaan pada 18 Agustus. Bukan lantaran tak mengakui 17 Agustus sebagai Hari Kemerdekaan Indonesia. 18 Agustus menjadi sakral, karena pada tanggal itulah, 70 tahun silam, Merah Putih perdana berkibar di Indonesia Timur, tepat di desa mereka.
FAKHRUDDIN ABDULLAH, Tidore
BACA JUGA: Sabet Emas, Owi Nginap di Rumah Duta Sheila on 7
Sehari pasca perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia ke-71, warga Mareku, Tidore Utara, berkumpul di Tanjung Mareku.
Di Tanjung tersebut berdiri monumen yang menandai sebuah peristiwa heroik. 70 tahun silam, tepatnya 18 Agustus 1946, bendera Merah Putih untuk pertama kalinya dikibarkan sejumlah pemuda Mareku.
BACA JUGA: Ajarkan Teknologi Penangkapan Ramah Lingkungan, Bikin Abon dan Ikan Asap
Merah Putih ini tercatat sebagai bendera Indonesia yang pertama kali berkibar di Indonesia Timur. Sekaligus menyimbolkan kemerdekaan Indonesia dari Jepang, yang sebelumnya hanya mengakui kemerdekaan Pulau Jawa dan sekitarnya.
Di balik peristiwa bersejarah itu, tercatat nama Abdullah Kadir, si pengibar bendera, dan Aminah Sabtu, perempuan yang menjahit bendera tersebut. Keduanya merupakan warga Mareku. Abdullah telah wafat 2009 silam. Namun Aminah masih berumur panjang. Saat peristiwa heroik itu, usianya baru 19 tahun.
BACA JUGA: Prostitusi di Pembatuan, Digusur sejak 1980-an, Hingga Kini Masih Bertahan
Ketika Soekarno dan Muhammad Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Indonesia Timur masih harus menunggunya setahun kemudian. Tak ingin terus diinjak-injak penjajah, para pemuda bertekad menyatakan kemerdekaan juga. Kabar kebebasan harus disebarkan. Salah satu caranya adalah mengibarkan Merah Putih di tanah Maluku.
Maka berkumpulnya warga di tanjung kemarin (18/9) untuk memperingati keberanian Abdullah dan rekan-rekannya. Aminah Sabtu yang kini berusia 89 tahun juga hadir. Meski rumahnya hanya beberapa langkah dari monumen, ia mesti dipapah anak cucunya. Di Tanjung Mareku, ia ditempatkan di sebuah kursi plastik, sejajar dengan inspektur upacara.
Aminah tahu itu momen istimewa. Maka ia mengenakan kebaya kutubaru terbaiknya. Kebaya merah muda itu tampak kontras dengan kerudung kuningnya. Sepasang sandal jepit mengalasi kaki-kaki tuanya. Ia khidmat mengikuti jalannya upacara. Meski tak bisa lagi berkomunikasi, tatapan matanya menyiratkan haru, juga bangga.
Nenek 12 cucu itu adalah satu-satunya saksi sejarah semangat rakyat Tidore untuk bergabung dengan NKRI yang masih hidup. ”Nenek Aminah yang jahit bendera dengan serat nanas karena tak ada benang. Kainnya diambil dari kain merah putih untuk Salai Jin (tarian tradisional, red),” kata Lurah Mareku Gani Ali usai pengibaran bendera.
Upacara bendera sederhana itu merupakan ide para pemuda Mareku. Tiap tahun, tradisi ini terus terjaga. Pada dasarnya, anak muda memang harus tumbuh dengan kebanggaan akan bangsanya.
Gani Ali tampil sebagai irup, dan para siswa-siswi SMA Negeri 10 Tidore dan Madrasah Aliyah Swasta Mareku menjadi peserta upacara. Upacara ini juga dilengkapi iringan 'marching band' dari para siswa. Warga Mareku turut serta memberi penghormatan.
Saat Merah Putih dikibarkan, suasana haru begitu mengental. Tak sedikit airmata mengalir ketika memberikan hormat pada Sang Saka Merah Putih. Keharuan semacam inilah yang tak ingin dihilangkan.
”Dengan melestarikan tradisi ini, berarti ada pula upaya pelestarian terhadap ingatan akan sejarah. Kami juga ingin peristiwa bersejarah itu diketahui seluruh masyarakat di penjuru tanah air,” tandas Ketua Panitia Pengibaran Bendera Saiful Hi Ghani.(JPG/far/kai/fri)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mengharukan, Mereka Tetap Setia pada Merah Putih
Redaktur : Tim Redaksi