jpnn.com, JAKARTA - Kejaksaan Agung menegaskan bahwa majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memiliki kewenangan untuk menjatuhkan hukuman mati kepada terdakwa perkara dugaan korupsi di PT ASABRI Heru Hidayat. Pasalnya, majelis memutus sebuah perkara tidak semata-mata berdasarkan pada surat dakwaan.
Penegasan tersebut disampaikan Kapuspenkum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak sebagai respons atas duplik Heru Hidayat yang dibacakan dalam persidangan pada Senin (20/12) lalu.
BACA JUGA: Tolak Hukuman Mati, Kubu Heru Hidayat Sebut ASABRI Belum Rugi
Dia mengatakan putusan hakim yang bersifat ultra petita dibenarkan berdasarkan hukum acara pidana, Pasal 182 ayat (4) KUHAP.
"Yang mengatur musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. Artinya majelis memutus tidak semata-mata berdasarkan pada surat dakwaan, namun juga berdasarkan atas segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang," ujar Leonard dalam keterangannya.
BACA JUGA: Kejagung Batal Sita Aset Bitcoin Heru Hidayat dan Benny, Kuasa Hukum Bilang Begini
Menurut Leonard, KUHAP memberi keleluasaan kepada hakim untuk mempertimbangkan segala sesuatu yang terkait dengan perkara yang sedang diperiksa.
Oleh karena itu, lanjut dia, hakim harus berani mengakomodasi nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat ketika memutus perkara yang berkaitan dengan kepentingan publik atau negara.
BACA JUGA: Saksi Sebut Heru Hidayat Berniat Membantu PT Asuransi Jiwasraya
Dalam konteks perkara ASABRI, meski Heru didakwa dengan Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor, tetapi dalam persidangan terungkap sejumlah hal yang memberatkan perbuatannya.
"Terdakwa Heru Hidayat telah melakukan suatu perbuatan tindak pidana korupsi secara bersama-sama yang menimbulkan kerugian keuangan negara sangat besar dengan jumlah seluruhnya sebesar Rp 22.788.566.482.083,00, di mana atribusi dari kerugian keuangan negara tersebut dinikmati Terdakwa sebesar Rp 12.643.400.946.226," beber Leonard.
Lebih lanjut, Leonard mengatakan dalam praktik peradilan, hakim memutus perkara di luar dari pasal yang didakwakan kepada Terdakwa adalah bukan sesuatu hal yang baru. Salah satu contohnya adalah vonis Susi Tur Andayani.
Susi merupakan kurir suap Akil Mochtar dalam jual beli perkara kasus sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam putusannya, majelis hakim memvonis Susi melanggar pasal di luar dakwaan jaksa penuntut umum.
"Terkait putusan perkara atas nama Susi Tur Andayani hanyalah salah satu contoh sebagai penegasan bahwa putusan hakim diberikan kebebasan untuk memutus perkara di luar dari pasal yang didakwakan oleh penuntut umum kepada terdakwa," ujar Leonard.
Kembali ke perkara ASABRI, Leonard mengungkapkan bahwa proses persidangan telah mengungkap bahwa Heru Hidayat sama sekali tidak merasa perbuatannya salah. Terdakwa juga tidak berniat mengembalikan hasil kejahatannya secara sukarela.
Bagi Terdakwa, tambah Leonard lagi, transaksi di pasar modal yang dilakukannya adalah perbuatan perdata yang lazim dan lumrah
"Padahal banyak pihak dirugikan terutama negara dirugikan dengan timbulnya kerugian keuangan negara yang dinikmati oleh Terdakwa HERU HIDAYAT dari dua perbuatan pidana tindak pidana korupsi yang dilakukan secara berulang-ulang (Jiwasraya dan Asabri) yaitu sebesar Rp 23.372.184.321.226,00," pungkas anak buah Jaksa Agung ST Burhanuddin itu. (dil/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : Adil