Dikecil-kecilkan, Dibesar-besarkan

Senin, 26 April 2010 – 05:26 WIB

MALU Aku Jadi Orang Indonesia! Inilah salah satu judul puisi penyair Taufik Ismail dan sangat relevan melukiskan kasus korupsi yang bagai dian tak kunjung padamPertanyaannya, dari mana kita mulai memberantasnya? Padahal, polisi dan jaksa ada, bahkan juga KPK yang boleh menyadap dan konon kabarnya tak mengenal penghentian penyidikan alias SP3.

Kisah ini pun cerita lama

BACA JUGA: Bertemu Satpol Tampan Sekali

Sejak Orde Baru pun ada Komisi Empat, tapi umur korupsi terus berusia panjang hingga sekarang
Diktator saja bisa tumbang, tetapi korupsi bertumbuh subur terus

BACA JUGA: Masa Senja Partai Banteng

Bak kata pepatah, patah tumbuh hilang berganti.

Memang tak mudah membunuh korupsi
Kata banyak pakar, korupsi itu sudah merasuk ke dalam budaya, bahkan menjadi gaya hidup dan sikap, mulai dari kalangan DPR-DPRD, elit pemerintah (birokrasi) sampai ke lapisan masyarakat bawah

BACA JUGA: Bak Antara Kucing dan Tikus

Memang debatableAda yang pro dan kontra.

Namun yang pasti, pelaku korupsi pastilah karena ia punya powerKekuasaanMakanya ada istilah abuse of powerJika tak punya kekuasaan secuil pun, apa pula yang hendak disalahgunakan yang berujung dengan meraih duit secara tidak sah?
 
Anjuran-anjuran perlunya membangun budaya malu dan budaya “rasa bersalah” rasanya pun tak lagi ampuhTidak mempanMungkin, seperti para perawan yang kalau zaman dulu sangat menutupi auratnyaMengapa? Karena masih punya rasa maluSekarang? Malah dipamer-pamerkan.

Keteladanan dari para pemimpin, baik elit politik, elit agama, atau tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah, masihkah punya pengaruh? Ini ranah yang sulit dibicarakanMasalahnya, keteladanan seperti apa? Bagaimana mengukurnya?

Kehidupan pejabat di tingkat pusat dan daerah umumnya sangat senjang dibanding kebanyakan rakyatLihat rumah dan perabotannya, mobilnya dan berbagai fasilitas yang dinikmati berdasarkan undang-undang dan regulasi yang ada.

Saya kaget pertama kali tahu bahwa bahkan kasur atawa tilam alias ranjang pejabat di rumah dinas pun ditanggung oleh APBN dan APBDBahkan termasuk tisu dan pewangi ruangan di kamar kerjaBelum lagi biaya ini itu, termasuk menjamu tamu dan berbagai kemewahan yang mencengangkan rakyat miskin yang masih bergumul dengan persoalan sekilo dua kilo beras.

Belum lagi penggajian di beberapa kementerian, misalnya Kementerian Keuangan dan jajarannya seperti Ditjen Pajak dan Bea Cukai, alamak, bagaikan jauh panggang dari api dan tidak mungkin dinikmati rakyat kecilJadi, keteladanan apa?

Barangkali, maaf, itu sebabnya orang berlomba-lomba hendak menjadi pejabat pusat dan daerahIkut Pemilu dan PilkadaJika pun tak diimpi-impikan, tetapi begitu jadi pejabat, maka fasilitas itu datang dengan otomatisRepotnya jika sudah berkuasa, hidup sudah enak  tapi ternyata masih kurang enak jugaApalagi kekuasaan pun ada di genggamanTak mustahil yang tadinya insan yang “putih bersih” lalu berubah “hitam merah.”

Tak pelak, power sangat menggodaBanyak ujiannya, dan tak sedikit yang sudah terjerumusItu baru yang ketahuanYang belum tersibak, jangan-jangan berjibun jumlahnyaTak hendak bermaksud menyebar-luaskan cara korupsi, tetapi konon sangat mudahKatakanlah, dalam mengelola anggaran entah di pusat atau daerah, resepnya adalah bagaimana caranya membesar-besarkan atau mengecil-ngecilkannya.

Para ahli anggaran menyebutnya dengan istilah mark-down (dikecil-kecilkan) khusus menyangkut pendapatanSebaliknya dilakukan mark-up (digelembungkan) pada sektor belanjaMark down misalnya dalam penetapan pajak seseorang atau bea masuk sebuah barang imporSementara mark up dalam skala kecil saja, seorang pejabat naik pesawat dengan tariff lebih murah tapi yang diklaim dengan tariff lebih mahal.

Hebatnya, tiket tariff tiket  mahal itu bisa diperolehnya meski tak pernah dipakai dan dibayarkanIni sudah rahasia umum, dan banyak yang melaksanakannya, termasuk untuk tarif hotel selama bertugasHitung saja berapa jumlah pejabat di negeri ini, dan berapa kali mereka bolak-balik naik pesawat ke luar kota dalam masa jabatannyaMemang tak main generalisasiTapi cerita ini sudah sangat pop.

Melirik Jembarana

Mungkin, eloklah jika para pejabat menoleh kepada Bupati Jembarana, ProfDrI Gede Winasa, drgdan Wakil Bupati Putu Artha, S.E yang menekan habis-habisan  fenomena mark-down dan mark up tersebut dalam masa tugasnyaSyahdan, hasilnya, luar biasaDalam masa 2001-2003, PAD Jembarana meningkat hampir 200%, dari 4,7 milyar menjadi Rp9,2 milyar.

Di sisi belanja, untuk menghindari mark-up dibentuk Tim Standarisasi Harga (dari aparat lintas departemen) dan Tim Independen (dari perguruan tinggi)Kedua tim memastikan dan memberikan jaminan bahwa harga barang dan jasa dalam proyek APBD sesuai dengan harga pasar

Bupati Jembrana juga membarenginya dengan melakukan reformasi birokrasiMisalnya, dari jumlah lembaga yang 21 diciutkan menjadi sebelasDalam kaitannya dengan ukuran birokrasi mereka menerapkan prinsip pertumbuhan negatif ( tidak merekrut pegawai baru, tidak mengganti pegawai yang pensiun)Pegawai dituntut lebih berdisiplin tapi pada saat yang sama mereka juga mendapat insentif tambahan

Bupati Jembrana telah mengatasi penyebab korupsi, baik karena tingkat kesejahteraan (sistem gaji) yang kecil, maupun karena rendahnya etika dan moral birokrasi pemerintahMemang tidak selalu karena bergaji kecil lalu pegawai pemerintah melakukan korupsiTerbukti, banyak pejabat pemerintah yang bergaji dan berfasilitas lebih dari cukup, toh masih tetap korupsi.

Sesungguhnnya, dalam kasus korupsi, bangsa ini tidak sedang menghadapi orang yang lapar, melainkan orang yang rakusOrang lapar yang merampok lebih dapat “dimaklumi” ketimbang orang yang berkecukupan tetapi masih juga merampok.

Repotnya, “orang rakus” itu punya kekuasaanJika demikian, haruskah kekuasaannya “dipangkas”? Saya kita iyaCaranya dengan check and balancesTak hanya oleh DPR dan DPRDTetapi juga oleh masyarakatSeluruh anggaran pemerintah harus diumumkan secara terbuka di website karena toh sudah ada teknologi informasi.

Nah, sebelum disahkan oleh DPR-DPRD – termasuk anggaran untuk wakil rakyat ini – ada waktu yang cukup bagi rakyat untuk memeriksanya: pantaskah atau tidak? Jika tak semua rakyat memahaminya, minimal ada perguruan tinggi yang membantu masyarakat untuk melakukan penilaianWajar atau tidak nilainya? Misalnya, soal tilam, tisu, parfum  dan berbagai tetek bengek lainnya.

Saya kira mestinya bisaLagi pula, ini bukan rahasia negara.  Ini duit rakyat yang harus akuntabel dan  transparanJika ada yang keberatan, nah ini dia: komunitas koruptor yang takut kehilangan kesempatan untuk membesar-besarkan dan mengecil-ngecilkan.(**)

BACA ARTIKEL LAINNYA... PLN Bak Buah Simalakama


Redaktur : Antoni

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler