jpnn.com - Puluhan hari hidup di kapal perang seperti KRI Banjarmasin menimbulkan banyak kenangan. Ada banyak keterbatasan, namun banyak juga pengalaman menyenangkan. Berikut cerita wartawan Jawa Pos Ilham Wancoko yang turut mengarungi laut menuju Milan, Italia.
Laporan Ilham Wancoko,
BACA JUGA: Jika Keluarga "Terlalu Banyak" yang Muslim, Satu Diminta Jadi Nasrani dan Sebaliknya
MELEWATI gerbang Pelabuhan Alexandria, Mesir, pada Sabtu (30/5), Jawa Pos langsung bergabung dengan anak buah kapal (ABK) KRI Banjarmasin untuk menuju Milan, Italia. Sebuah tangga kapal kukuh dilewati untuk naik ke lambung KRI Banjarmasin. Tepat begitu Jawa Pos naik, beberapa anggota TNI-AL menyambut dengan hangat. Setelah Jawa Pos menemui Komandan KRI Banjarmasin Letkol Laut (P) Rakhmat Arief Bintoro dan mendapatkan sebuah kamar, kehidupan di kapal perang dimulai.
Kamar tidur di KRI Banjarmasin sangat nyaman. Ruangan berukuran sekitar 20 meter persegi diisi enam hingga sepuluh orang. Tempat tidur bertingkat khas militer berjejer di kamar tersebut.
BACA JUGA: Reaktor Nuklir itu seperti Pabrik Minyak Goreng
Setiap orang mendapatkan tempat tidur 2 x 1 meter. Ada lampu yang tertempel di setiap tempat beristirahat tersebut. Di dalam kamar sudah ada beberapa penghuni. Kebanyakan merupakan anggota pasukan khusus TNI-AL seperti Intai Amfibi dan Komando Pasukan Katak (Kopaska).
Mereka begitu ramah dengan orang baru. Bahkan, seorang di antara mereka mau mengantar keliling kapal untuk mengenalkan lingkungan anyar tersebut. Mulai tempat kamar mandi hingga ruang makan yang biasa digunakan. Mengobrol dengan pasukan khusus itu tidaklah mengerikan seperti yang dikira kebanyakan orang.
BACA JUGA: Megawati tak Bisa Tidur jika tak Dekat dengan Ayah
Mereka bicara soal biasa. Dari menu makan sampai keluarga di rumah. Kadang tampak beberapa senjata otomatis yang terlihat disimpan rapi di tas-tas anggota pasukan khusus tersebut.
Setelah istirahat, sekitar pukul 18.00 terdengar suara peluit. Setelah itu, langsung ada pengumuman air mengalir. ”Air mengalir selama 30 menit,” ujar petugas dari anjungan KRI Banjarmasin.
Seorang anggota pasukan khusus yang menjadi teman sekamar itu langsung berceletuk. ”Di sini air terbatas. Tidak sepanjang hari mengalir. Kalau bisa cepat-cepat mandi,” ujarnya sembari membawa handuk dan sebuah ember.
Hampir semua orang membawa ember untuk mandi. Begitu Jawa Pos sudah masuk kamar mandi, ternyata di kamar mandi itu air belum mengalir. Terdengar suara beberapa orang yang mengeluhkan hal yang sama. ”Air mengalir mana, haduh,” ujar orang yang ada di kamar mandi sebelah.
Di kamar mandi itu ada sebuah shower dan beberapa tempat buang air. Tapi, terdapat banyak botol bekas air mineral di kamar mandi. Mungkin saja botol-botol itu hanya sampah!
Ternyata salah. Begitu air mulai mengucur pelan, muncul seorang lelaki berperawakan tegap bernama Kapten Laut (Kes) dr Abraham. Dia mengatakan, untuk mandi, air perlu ditampung dulu di botol atau ember. ”Yang menggunakan toilet ini banyak. Jadi, tampung dulu biar semua kebagian air,” tuturnya.
Akhirnya, mau tak mau hampir semua botol air mineral bekas itu diisi dulu dengan air. Jumlah botolnya sekitar sepuluh. Sayang, air yang mengalir seperti rintik hujan. Begitu pelan. Dibutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk mengisi semua botol tersebut.
Begitu botol selesai diisi, mandi bisa langsung dimulai. Namun, baru sebagian tubuh yang disabun, air yang keluar dari shower sudah mampet. Keran diputar ke sana kemari, tetap saja air tak jua mengalir. Pastilah air sudah dimatikan. Habis sudah, sabun baru setengah jalan. Akhirnya air yang ditampung di botol itu harus digunakan untuk membilas. Untuk gosok gigi, Jawa Pos sepertinya juga harus ngirit. Sekali kumur selesai.
Kejadian mandi dengan air terbatas menjadi lebih miris saat kapal sudah berlayar. Terkadang air hanya keluar saat kapal oleng ke lambung kanan. Mungkin tekanan air tidak kuat mengalir bila kapal sedang oleng ke lambung kiri. Jika seperti itu, lebih baik tidak pakai sabun dan sikat gigi sebanyak biasanya. Semua harus superirit.
Ternyata itulah alasan semua ABK membawa ember untuk bisa menampung air. Air di ember itu bisa digunakan untuk aktivitas harian seperti buang air. Kalau untuk mandi, mungkin sedikit memaksakan. Air seember tersebut tak akan cukup untuk mandi.
Setelah lebih dari tiga pekan hidup di KRI Banjarmasin, kondisi makin ekstrem saat ombak tinggi. Ombak tinggi datang setelah KRI Banjarmasin bertolak dari Karachi, Pakistan, akhir Juni. Gelombang laut membuat kapal sepanjang 80 dan lebar 22 meter itu berguncang hebat. Dampaknya terasa saat mandi dan buang air.
Ketika mandi, tangan harus berpegangan pada besi pegangan di kamar mandi. Kalau tidak, bisa jatuh berguling-guling. Untuk buang air juga sama. Kalau mendapat toilet yang ada pegangannya, tentu lebih aman.
Tapi, kalau toilet tersebut penuh, tentu toilet yang tanpa pegangan terpaksa dipakai. Jadinya apes. Tangan harus direntangkan untuk menahan goyangan. Tangan kiri menempel tembok kayu pelapis kamar mandi dan tangan kanan menempel di tembok kapal. Setidaknya, posisi tubuh stabil.
Kalau guncangan sedang hebat, tubuh dan tempat buang air itu terasa seperti patah. Sakitnya bukan kepalang. ”Saya malas kalau ombak tinggi tapi harus ke belakang. Tangan sakit karena harus menahan guncangan,” ujar seorang ABK.
Bagaimana dengan makan? Sebelum puasa, jam makan ada tiga. Sarapan pukul 07.30, makan siang pukul 13.00, dan makan malam pukul 18.00. Namun, saking banyaknya orang yang dibawa KRI Banjarmasin, baik ABK, taruna, maupun sejumlah perwira Akademi Angkatan Laut (AAL), makanan menjadi sangat terbatas.
Satu orang hanya boleh makan satu lauk. Bila telat sedikit saja untuk makan, jangan berharap mendapatkan jatah. Semuanya tandas. Apalagi bila makan di ruang makan untuk bintara dan taruna. Bisa-bisa makanan harus berebut. ”Kalau telat makan 15 menit saja, ya ludes,” ujar seorang ABK.
Menu makan di kapal juga terbatas. Saat pagi, biasanya hanya ada lauk telur. Sayurnya sawi. Siangnya, ayam dan sawi. Sorenya ayam dan sayurnya sawi lagi.
”Memang kebanyakan sayurnya dari sawi. Sebab, sawi ini paling awet untuk disimpan. Di kapal kondisinya berbeda, tim dapur harus mencari bahan makanan yang awet,” tutur seorang ABK.
Beberapa ABK mengatakan, hidup di kapal bisa jadi malah makin gemuk. Sebab, ruang lingkupnya terbatas. Namun, dalam pelayaran KRI Banjarmasin ini, kebanyakan ABK justru mengaku makin kurus. Ada yang turun 5 kilogram dan 8 kilogram. ”Ya, lebih kurus tentunya bisa lebih sehat,” tutur beberapa ABK.
Untuk mengantisipasi keterbatasan makanan, sejak awal semua ABK KRI Banjarmasin mendapatkan jatah mi instan. Nah, mi instan itulah yang biasanya menjadi sasaran bila sudah bosan dengan masakan kapal. Setidaknya, lidah bisa dilayani dengan rasa yang berbeda. Bukan hanya ABK, taruna AAL juga kerap terlihat bernafsu memasak mi instan.
Menu yang terbatas itulah juga yang membuat para penghuni kapal kerap belanja bahan makanan saat bisa sandar di sebuah negara. Misalnya, saat sandar di Karachi, Pakistan. Banyak yang membeli susu, biskuit, hingga minuman bersoda.
Belanja itu dilakukan untuk mengantisipasi perut yang mendadak ngambek saat kapal berlayar. Apalagi, KRI Banjarmasin direncanakan berlayar pulang ke Indonesia selama lebih dari sembilan hari.
Waktu layar sembilan hari itu cukup lama bila dibandingkan dengan berlayar di Indonesia. Kalau sedang berpatroli, kapal perang biasanya tidak lebih dari seminggu sudah sandar di daratan.
”Di laut lebih dari sembilan hari ini lama. Karena itu, perut perlu dilayani dengan hal yang berbeda. Tapi, sebenarnya musuh utama dari pelayaran itu adalah kebosanan,” ujar seorang ABK KRI Banjarmasin. (*/c10/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Melihat Islam di Papua dengan Tradisi Nyala Damar Menjemput Lailatul Qadar
Redaktur : Tim Redaksi