Megawati tak Bisa Tidur jika tak Dekat dengan Ayah

Jumat, 17 Juli 2015 – 15:29 WIB
Anak-anak penghuni Ponpes Millinium rutin susu setiap pagi. Saat malam, mereka tidur bersama-sama di satu ruangan. Foto: Akhmad Martin/Jawa Pos

KEHIDUPAN berjalan terus di Ponpes Millinium, meski sempat menjadi kontroversi di media sosial.  Jawa Pos bermalam di ponpes itu untuk mendapatkan gambaran lebih utuh mengenai situasi di sana.
---------------
Laporan Akhmad Martin, Surabaya
--------------

PULUHAN anak terlihat menggemaskan. Siapa pun sulit untuk tidak jatuh hati melihat bedak tebal tidak rata di muka-muka mungil yang berbaris rapi dengan mebawa kotak warna putih itu.

BACA JUGA: Melihat Islam di Papua dengan Tradisi Nyala Damar Menjemput Lailatul Qadar

Saat azan magrib berkumandang Sabtu sore (11/7) itu, puluhan anak tersebut yang merupakan penghuni Pondok Pesantren Millinium Roudlotul Jannah, Desa Tanggulunan, Kecamatan Candi, Sidoarjo, itu serentak menyantap hidangan mereka.

Anak-anak balita tersebut tampak menikmati hidangan sore itu. Di ruangan tempat makan mereka itu pun seketika dipenuhi butir-butir nasi yang berjatuhan.

BACA JUGA: Ketika Rakaat Pertama, Kapal Dihantam Ombak Besar

Usai makan, barisan rapi itu langsung bubar. Ada yang tetap duduk rapi, sebagian berdiri, dan banyak yang kemudian tidur-tiduran. Alhasil, pemandangan anak yang bajunya tertempel butiran nasi, atau kaki yang agak lengket karena menginjak nasi seolah menjadi ritual harian.

’’Begitulah anak kecil. Susah diatur,’’ ucap Agus Tohir, salah seorang pengurus Ponpes Millinium.

BACA JUGA: Yang Ngaku Antimainstream Baca Ini! Rururadio, Radio Nirkabel Berbasis Komunitas

Ketika diminta untuk duduk tertib lagi, mereka malah berdiri dan saling bercanda. Begitu riuh, khas anak-anak kecil. Para pengurus ponpes sampai harus menyapu setiap setengah jam untuk membersihkan noda-noda permainan mereka.

Suasana riuh itu terhenti sejenak ketika mereka salat Magrib berjamaah. Setelah itu, ’’ritual’’ riuh kembali terjadi. Kejar-kejaran, saling menggoda, suara teriakan, semua tumpang tindih. Ada yang mondar-mandir membawa makanan (yang kuenya berceceran dan air minumnya tumpah), ada pula yang membawa mainan. Menjelang isya, santri yang lebih senior datang membersihkan bungkus sampah yang berceceran.

Setelah salat Isya dan Tarawih, kegaduhan itu kembali terjadi. Suara tangisan bayi, tawa terkekeh, teriakan anak-anak yang sedang bermain, semua menghidupkan lingkungan ponpes di lahan 7 ribu meter persegi tersebut. Di deretan bagian timur terdapat ruangan berukuran dua kali dua meter persegi semacam ada paduan suara tangis bayi. Maklum, di ruangan tersebut ada delapan bayi yang berusia di bawah dua tahun.

’’Salah giliran disuapi saja sudah menangis,’’ kata Sumiyati, pengasuh delapan bayi itu, kemudian tertawa. Sambil terus menyuapi, dia juga membagi perhatian kepada tujuh bocah yang lain.

Sekitar pukul 21.00, hampir semua santri Millinium masuk ke kamar masing-masing. Kecapekan, mereka segera memeluk guling masing-masing. Seperti halnya anak-anak lain yang tidur bersama dalam jumlah banyak, dalam setengah jam saja formasi tertib mereka menjadi ’’anarkis’’.

Ada yang terlempar jauh dari kasur, ada yang tidurnya mendadak berbalik. Malah, ada juga yang semula tidur di pinggir mendadak berada di tengah. ’’Ada juga yang memang tidak mau tidur di kasur. Kalau yang begini, dipindahkan ke kasur atau yang ada alasnya pasti balik lagi,’’ kata Sayuti, salah seorang pengasuh di Ponpes Millinium.

Sementara itu, di depan teras Paseban Dzikir Ponpes Millinium, seorang anak perempuan berambut pendek mendekat ke pemilik Ponpes Millinium Muhammad Choiril Sholeh. Meski saat itu Gus Mad –demikian panggilan akrabnya– tengah menerima tamu, anak perempuan itu bergeming. Dia kemudian tidur di karpet dekat dengan Gus Mad.

’’Megawati (nama anak itu, Red) memang tidak bisa tidur kalau tidak dekat dengan Ayah (sebutan anak-anak kepada Gus Mad),’’ ucap Agus Tohir.

Aktivitas Pondok Millinium saat ini memang agak meningkat. Peningkatan aktivitas yang membuat hati anak-anak Millinium bahagia. Sebab, Lebaran sudah dekat. Yang membedakan, mereka senang bukan karena mendapat banyak kue dan baju baru. Tetapi, mereka akan memberikan zakat.

Di Millinium ada tradisi, sehari sebelum Idul Fitri mereka akan berbagi rezeki dengan kaum duafa. ’’Anak-anak akan memberikan zakat kepada kaum tak mampu. Demikian tradisi tahunan kami,’’ terangnya.

Pemandangan itu tentu amat menyentuh. Anak-anak yang nasibnya juga malang itu justru memberikan zakat kepada kaum miskin. Biasanya, lanjut Agus, pada hari terakhir puasa, Ponpes Millinium dipenuhi banyak orang sejak siang hari. Mereka yang terdiri atas kaum duafa akan berdesakan mengantre diberi zakat oleh anak-anak yatim di Ponpes Millinium. Suasana seperti itu akan berlangsung hingga buka puasa tiba.

Setelah pemberian zakat, kondisi Ponpes tidak serta merta sepi. Setelah salat Isya, biasanya santri-santri akan mengumandangkan takbir. Beberapa anak-anak yatim yang sudah beranjak dewasa akan diminta untuk memimpin takbir dan diikuti adik-adiknya yang kecil.

’’Lucu melihat mereka teriak-teriak mengumandangkan takbir. Rasa gembira mereka seperti bergelora,’’ imbuh Agus. Esok harinya, anak-anak Ponpes Millinium sama dengan anak-anak kecil pada umumnya. Mereka akan melaksanakan salat Id bersama. Tempatnya, tentu saja di kompleks Ponpes Millinium.

Setelah salat Id, mereka akan berbaris dengan rapi menunggu giliran bersalaman dengan Ayah. Setelah itu, mereka akan bermaaf-maafan dengan seluruh santri, pengurus, dan pengasuh yang ada di ponpes tersebut.

Gus Mad selaku orang tua mereka memang sudah menyiapkan segalanya untuk keperluan anak-anaknya saat Lebaran tiba. Mulai makanan, pakaian, dan juga zakat fitrah. Untuk masalah makanan, Gus Mad sudah memasrahkan kepada beberapa pengurus bagian dapur di sana. Menunya tentu harus sama dengan menu Lebaran pada umumnya. Tidak boleh berbeda.

Yang lucu adalah saat membeli baju untuk berlebaran. Anak-anak asuh ponpes yang jumlahnya ratusan itu nanti dibawa ke pasar. Tetapi, tidak semua berbarengan ke pasar. Gus Mad akan mengatur dan membagi anak-anak asuhnya itu untuk diajak membeli baju ke pasar. ’’Kalau semua barengan, kan terlalu ramai. Nanti dibagi berapa orang dan didampingi siapa,’’ ungkap Gus Mad.

Gus Mad mengatakan, semua anak harus mendapat baju untuk Lebaran. Sebab, jika ada satu saja yang tidak mendapat baju baru, tentunya akan membuat pertengkaran di antara anak-anak itu. Gus Mad tidak pernah mempermasalahkan apakah anak itu berpuasa atau tidak. Yang penting, anak-anaknya bisa senang dan nyaman.

Wahyu Ahmad, salah seorang penghuni ponpes, mengatakan, hatinya senang menjelang Lebaran seperti ini. ’’Bisa dapat baju baru dan makan enak,’’ katanya sambil menyantap menu sahur Minggu dini hari itu (12/7).

Namun, bocah 10 tahun yang punya kemampuan baca Alquran di atas rata-rata itu mengaku lebih senang dengan ritual membagi zakat.

Banyak kisah duka tersimpan di ponpes itu. Mulai sedih, dramatis, sekaligus bahagia. Begitu juga, pemberian nama kepada mayoritas penghuni ponpes yang rata-rata anak buangan itu terkesan istimewa.

Sebab, ada nama-nama tokoh, antara lain, Jusuf Kalla, Akbar Tanjung, dan Obama. Kata orang, penamaan itu adalah sebuah harapan. Gus Mad berharap, dari ponpesnya akan lahir sejumlah orang hebat untuk Indonesia. (*/c4/ayi)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Perca, Rumah Besar Perempuan WNI Bersuami WNA


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler