Warga suku Karajarri Nyangumarta, Stephen Stewart, mungkin merupakan pria aborigin tertua di Australia.  (James Liveris)

Stephen Stewart telah melewati segala rintangan untuk menjaga budaya Aborigin tetap hidup selama lebih dari satu abad usianya.

PERINGATAN: Artikel ini memuat nama penduduk asli yang telah meninggal.

BACA JUGA: Dewan Gereja Minta PBB Campur Tangan Atas Krisis Kemanusiaan di Papua

Saat ini tingkat harapan hidup pria Aborigin di Australia adalah 71,6 tahun.

Tapi Stephen mungkin sudah berusia 109 tahun.

BACA JUGA: Mesin Pemetik Mengubah Industri Perkebunan di Tasmania

Ini Menjadikan Stephen yang dipercaya sebagai pria Aborigin tertua yang masih hidup di wilayah Pilbara, Australia Barat, bahkan mungkin di seluruh Australia.

"Saya yang tersisa," ujar Stephen, pria suku Karajarri Nyangumarta.

BACA JUGA: Pria Aborigin Tertua di Australia Stephen Steward, Telah Menjalani Hidup yang

"Semua orang yang lebih tua sudah meninggal," ujarnya.

Sampai hari ini, sesepuh suku Ngarla ini menghabiskan empat bulan dalam setahun bepergian untuk berbagi pengetahuannya.

"Ini pekerjaan besar dan sulit juga," katanya.

"Tapi kami harus mengikuti lore [adat istiadat] kami. Inilah yang membuat kita kuat dan itulah sebabnya saya masih hidup," tambahnya. Bukti tahun kelahirannya terukir pada kincir angin

Bagi kebanyakan penduduk asli Australia yang lahir awal abad ke-20, tidak mungkin mendapatkan akta kelahiran.

Satu-satunya bukti sejarah usia Stephen adalah ukiran pada kincir angin tua di peternakan Wallal Downs Station, sekitar 300 kilometer selatan Broome.

Di besi berkarat itu tertulis "Stephen Stewart, 1918". Artinya, paling tidak usia Stephen sudah 103 tahun sekarang.

Tapi dia ingat mengukir namanya itu ketika berusia sekitar enam tahun, saat mulai bekerja di peternakan.

"Kami bertugas menggiring ternak ke Meekatharra," ujarnya.

"Hanya seekor kuda di depan, ditunggangi oleh orang kulit putih, lalu kami semua berjalan, mengendalikan kawanan ternak dari belakang... dan saya tidak dibayar untuk itu," jelas Stephen.

Seperti kebanyakan warga pribumi yang lahir sebelum tahun 1970, dia mendapati dirinya hidup di era saat warga Aborigin di Australia Barat dipaksa bekerja di peternakan dengan gaji yang dicurangi, mempekerjakan anak di bawah umur, dan perbudakan. Nyaris dikirim kerja paksa ke pulau tahanan

Stephen lahir di Pardoo Station dan bekerja di sana sejak usia muda.

Namun ia nyaris dikirim ke Rottnest Island, pulau yang dijadikan tahanan bagi orang Aborigin.

Pulau itu, yang digunakan sebagai penjara hingga 1904 dan kamp kerja paksa hingga 1931, merenggut nyawa lebih dari 370 orang Aborigin.

Stephen bercerita, dia sedang berjalan ke sekolah di hari pertama pendidikan formalnya ketika dia dicegat oleh pihak berwenang.

"Polisi mengambil saya. Mereka mereka bilang akan mengantar saya ke sekolah," katanya.

Tapi Stephen berakhir di dalam sel tahanan di Port Hedland.

Ia tidak sadar dengan rencana menempatkannya di atas MV Koolinda, sebuah kapal uap yang mengangkut pekerja paksa ke Rottnest Island.

Berita dari mulut ke mulut akhirnuya sampai ke Frank Thompson, pemilik Pardoo Station yang mempekerjakan Stephen.

Peternak terkenal itu memutuskan untuk mengambil kembali Stephen.

"Frank Thompson mendengar berita bahwa saya dalam perjalanan ke sekolah, tapi diambil di dekat Wallal, dan dibawa ke Port Hedland," kata Stephen.

"Frank dan dua paman saya datang dengan kuda menjemput saya," katanya.

Kapal MV Koolinda dijadwalkan berangkat dalam waktu tiga hari setelah Frank tiba di Port Hedland.

Ia pun langsung mengadopsi Stephen dan menyelamatkan hidupnya dari kerja paksa. Berjuang agar hak warga Aborigin dipenuhi

Sejak itulah Stephen membangun reputasinya sebagai seorang peternak dan pemimpin di Pardoo Station.

Tapi kehidupan peternakan di Pilbara bukannya tanpa tantangan.

"Tidak pernah ada uang saat itu. Pekerja pribumi tak pernah dibayar," katanya.

"Saya mulai bekerja sejak masih kecil, tak lama setelah kehilangan ayah saya," ujarnya.

"Pekerjaan pertama saya adalah di Pardoo, di toko besar di mana mereka memberi saya satu kunci pas untuk mengencangkan semua baut untuk tukang kayu," jelas Stephen.

"Kemudian saya dipromosikan ke pekerjaan besar. Saya membuat wisma tempat tinggal, yang masih ada di sana sampai hari ini," katanya.

Bekerja berjam-jam di bawah suhu 40 derajat dengan imbalan sangat kecil merupakan hal yang biasa dialami pekerja pribumi.

Pada 1 Mei 1946, sebanyak 800 pekerja termasuk Stephen, meninggalkan peternakan dan memulai Pemogokan Pilbara.

Tuntutan mereka untuk upah yang adil dan kondisi kerja yang baik, telah membuka jalan bagi diakuinya hak-hak pribumi di Australia.

"Kami menginginkan hak untuk hidup normal," kata Stephen.

"Kami melakukan pekerjaan besar, mengumpulkan ternak, semuanya, dan kami menginginkan upah lebih baik. Jika bukan karena pemogokkan itu, kami tidak akan berada di sini hari ini,"

Setelah itu, Stephen bergabung dengan sahabatnya bernama Peter Coppin, menjalankan peternakan Yandeyarra.

Kedua pria ini kemudian dijuluki sebagai Nomor Satu dan Nomor Dua.

Pada 2021, julukan Nomor Dua masih melekat pada Stephen dan dikenal luas di Pilbara. Penunggang kuda yang fenomenal

Stephen mengaku minatnya untuk menjadi penunggang kuda tak bisa dihindarkan.

"Saya ini penunggang kuda sepanjang hidup saya," katanya.

"Akhirnya saya menjadi joki."

Pacuan kuda di Pilbara menjadi salah satu kegiatan ketika pekerjaan di peternakan berhenti.

Keluarga Aborigin menikmati momen ini karena mereka dapat terhubung kembali di arena pacuan kuda.

"Saya ikut pacuan dengan 24 orang, semuanya joki kulit putih," kata Stephen.

"Kuda saya kuda tunggangan, kuda besar untuk menggiring ternak. Saya melatihnya ketika tidak ada yang bisa menungganginya," ujarnya.

Ia kemudian memenangkan pacuan kuda Bar Races dan Wittenoom Cup. Rahasia agar selalu bahagia

Meski berbagai cobaan hidup telah dihadapinya, tak satu pun yang menghalangi pelestarian pengetahuan Aborigin yang dia miliki.

Setahun sekali Stephen libur selama satu minggu untuk membagikan pengetahuan ke warga sukunya.

Ia kadang berjalan kaki 270 km ke tempat-tempat upacara suci.

"Butuh waktu tiga hari jalan kaki ke sana, upacara satu hari, lalu jalan kembali ke peternakan dalam tiga hari terakhir," katanya.

"Peternakan memberi kami setengah kantong tepung untuk bertahan hidup. Kami membawa bumerang dan tombak," ujarnya.

Tempat upacara yang dahulu sering dikunjungi Stephen kini sudah tidak ada lagi. Karena telah berubah menjadi lahan pertambangan.

"Orang kulit putih dengan dinamit menghancurkan tempat itu. Sudah terlambat untuk menyelamatkannya," katanya.

Selama 50 tahun terakhir Stephen sudah menganggap Yandeyarra Mugarinya sebagai kampung halamannya.

Namun, dia menghabiskan empat bulan dalam setahun untuk mengajar pengetahuan tradisionalnya kepada generasi muda.

Setiap tahun dia melakukan perjalanan lebih dari 3.000 km dari Bellary Springs ke Warralong, Roebourne, Bidyadanga dan Wiluna.

Ia mengaku tidak punya rencana untuk berhenti.

"Kita hanya harus tetap sibuk dan membuat diri kita bahagia," katanya.

Stephen telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan pada banyak orang, termasuk putrinya Margaret, yang mengaku akan mengikuti jejak ayahnya.

"Saya begitu bangga padanya," ujar Margaret.

"Saya senang bahwa dia masih ada hari ini. Melihat dia sekuat itu, memotivasi saya untuk menjadi seperti dia," katanya.

"Dia selalu berada bersama kami setiap hari. Saya dan anak-anak sangat menghargai hal itu," tambahnya.

Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Australia Pertimbangkan Buka Kedatangan Internasional Secara Bertahap

Berita Terkait