jpnn.com, JAKARTA - Pengamat hukum internasional Universitas Indonesia, Profesor Hikmahanto Juwana, Ph.D menilai klaim kewilayahan Republik Rakyat China (RRC) bukan sekedar dalam peta.
Adapun RRC mempertegas kewilayahannya dalam peta baru mereka yang dirilis pada akhir Agustus 2023.
BACA JUGA: Profesor Hikmahanto Puji Langkah Presiden Jokowi Untuk Pertahankan Keutuhan G20
Hikmahanto Juwana pun memuji pemerintah, khususnya Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang berani tegas terhadap RRC meski Indonesia memiliki banyak hubungan ekonomi dengan China.
"Indonesia bersahabat dengan semua, sampai saat kedaulatan kita diganggu. Oleh karenanya, jangan ganggu kedaulatan dan hak berdaulatan Indonesia,” tutur Hikmahanto, dalam diskusi berjudul “Peta Baru China dan Ketegangan Di Perairan Asia Tenggara” yang diselenggarakan oleh Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta, baru-baru ini.
BACA JUGA: Unjuk Rasa di Depan Kedubes Vietnam, Massa Perami Tolak Aktivitas Agresif di ZEE RI dan LCS
Akademisi dan Guru Besar Hukum Internasional di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, sekaligus Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani itu mendukung pemerintah untuk tetap konsisten menolak klaim RRC di sebagian besar wilayah Laut China Selatan (LCS) yang ditandai dengan garis putus-putus itu.
Menurutnya, sikap tegas itu harus terus dipertahankan dengan melakukan tiga hal, pertama menolah 9 garis putus-putus RRC, yang sekarang menjadi sepuluh.
BACA JUGA: Etnik Tionghoa Sepenuhnya Bagian dari Indonesia, Ketua FSI Beber Sejarahnya
"Sebagai konsekuensinya, pemerintah harus melakukan penegakan hukum bila nelayan RRC memasuki ZEE Indonesia, untuk mengambil ikan," kata Hikmahanto.
Kedua, pemerintah harus melakukan pengabaian bila RRC melakukan protes atas upaya ekplorasi dan eksploitasi kekayaan alam Indonesia di wilayah ZEE.
"Ketiga, pemerintah jangan pernah menginisiasi perundingan untuk wilayah yang tumpang tindih itu, karena di mata Indonesia, klaim kewilayahan RRC di Perairan Natuna Utara tidak ada,” tutur Hikmahanto.
Dia mengungkapkan bahwa klaim kepemilikan LCS oleh RRC yang ditandai dengan garis putus-putus itu hanya sepihak yang didasari oleh faktor sejarah. Indonesia pun pernah melakukan klaim unilateral, yang berdasarkan alasan keamanan, yang dikenal sebagai Deklarasi Djuanda.
Namun, Indonesia memperjuangkannya melalui upaya diplomatik di forum-forum internasional, sehingga sikap Indonesia diterima oleh komunitas internasional, bahkan diakui dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS, Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut).
"Berbeda dengan Indonesia, RRC tidak berhasil membuat klaimnya memperoleh dukungan internasional. Selain itu, klaim tersebut menjadi prematur karena direspon dengan protes oleh negara-negara yang wilayah kedaulatannya tumpang tindih dengan klaim China tersebut, seperti Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei,” lanjutnya.
Hikmahanto menilai bahwa manuver RRC di wilayah LCS, termasuk di ZEE Indonesia di perairan Natuna, makin agresif karena banyak penduduk China yang membutuhkan lebih banyak kekayaan alam, seperti migas, dan lain-lain. Selain itu, kekuatan militer dan ekonomi RRC sekarang makin kuat.
"Klaim wilayah RRC jangan dianggap sekedar peta. Dalam hukum internasional, peta tersebut harus ditambahkan dengan kehadiran fisik. Itulah sebabnya RRC berupaya hadir di wilayah LCS, termasuk perairan dekat Natuna," tegasnya.
Senada dengan Hikmahanto, Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) yang juga dosen Universitas Pelita Harapan Johanes Herlijanto, M.Si., Ph.D., juga mengapreasiasi respons keras dari berbagai negara terhadap tindakan RRC menerbitkan peta yang menerabas wilayah tersebut.
Menurut dia, ada beberapa interpretasi dari tindakan China. Pertama, tindakan menerbitkan peta. Kedua, analisis yang mengatakan bahwa penerbitan peta tersebut dilakukan untuk kepentingan internal China, agar publik di sana melihat keseriusan pemerintah mempertahankan wilayah mereka.
"Apalagi rilis peta tersebut dilakukan hanya hitungan hari sebelum negara-negara ASEAN melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Jakarta, dan negara-negara G20 melangsungkan KTT di India,” ungkap Johanes.
Johanes juga menyatakan kekhawatiran bahwa kehadiran peta tersebut berpotensi untuk digunakan oleh China sebagai legitimasi bagi tindakan-tindakan negara itu di masa mendatang.
"Kita harus belajar dari rilis peta RRC dengan sembilan garis putus-putus (nine dash line) pada 1993, yang pada awalnya tidak disertai dengan ketegangan-ketegangan militer, namun, dalam sekitar satu dasawarsa terakhir menjadi arena yang tegang karena RRC melakukan berbagai manuver yang berbenturan dengan otoritas negara-negara Asia Tenggara, seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia," tegasnya.
Oleh karenanya, selain menyatakan penolakan terhadap klaim garis putus-putus RRC di peta yang baru saja dirilis itu, Indonesia dan negara-negara lain, yang menjadi anggota ASEAN harus menjalin kerja sama untuk menghadapi RRC yang makin agresif itu.
Johanes juga menekankan pentingnya Indonesia dan negara-negara ASEAN terkait, memperoleh dukungan internasional dalam menghadapi perilaku RRC itu. "Indonesia harus meningkatkan kekuatannya baik dalam bidang ekonomi maupun militer,” tuturnya. (jlo/jpnn)
Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh