HNW: Sudah Semestinya Umat Islam Menjadi Penjaga NKRI 

Sabtu, 19 Desember 2020 – 22:06 WIB
Wakil Ketua MPR RI Dr HM Hidayat Nur Wahid, MA melakukan pertemuan pada Temu Tokoh Nasional-Keagamaan, kerja sama MPR dengan Forum Masjid dan Musalah se-Jakarta Pusat secara daring. Foto: Humas MPR.

jpnn.com, JAKARTA - Hari ini, 72 tahun yang lalu, bangsa Indonesia menghadapi peristiwa genting yang nyaris melumat Proklamasi 17 Agustus 1945.

Saat itu, 19 Desember 1948, Belanda menangkap pemimpin nasional  Indonesia seperti, Ir. Soekarno, Mohamad Hatta dan Muhamad Syahrir, setelah melancarkan agresi militer kedua di Yogyakarta.

BACA JUGA: HNW: Persatuan dan Kesatuan, Kunci Bagi Bangsa Indonesia Keluar dari Persoalan

Keberhasilan tersebut digunakan oleh kolonialis melancarkan propaganda kepada dunia, dengan mengatakan bahwa Indonesia sudah mereka kalahkan dan kuasai kembali. 

Belanda tidak sadar, beberapa saat sebelum menawan Dwi Tunggal, para pemimpin itu sudah melakukan pertemuan membahas masa depan Indonesia.

BACA JUGA: Presiden Palestina Apresiasi Indonesia Tolak Normalisasi dengan Israel, Begini Respons HNW

Dalam kesempatan sempit itu Soekarno-Hatta mengambil dua keputusan penting.

Pertama, memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr. Sjafruddin Prawiranegara  membentuk pemerintahan darurat di Sumatera.

BACA JUGA: Ahmad Basarah: Bela Negara, Generasi Muda Harus Mewaspadai Balkanisasi Nusantara 

Kedua, jika gagal, maka mandat diberikan kepada Mr. A. A. Maramis untuk mendirikan pemerintah dalam pengasingan di New Delhi, India. 

Mandat tersebut dikirimkan oleh Abdurrahman Baswedan dalam bentuk telegram.

Sehingga pada sore hari 19 Desember,  Mr. Sjafruddin sudah tahu bahwa Yogyakarta dan para pemimpin nasional  ditawan Belanda.

Selanjutnya,  pada 22 Desember, Mr. Sjafruddin mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera, sesuai mandat yang diterima.

Dalam pemerintahan darurat, itu Mr. Syafruddin Prawiranegara, duduk sebagai Ketua PDRI/Menteri Pertahanan/ Menteri Penerangan/Menteri Luar Negeri Ad Interim.

Dalam PDRI itu juga bergabung antara lain Mr. T. M. Hassan, Wakil Ketua PDRI/Menteri Dalam Negeri/Menteri PPK/Menteri Agama, Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Menteri Keamanan/Menteri Sosial, Pembangunan, pemuda Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan/Menteri Kehakiman, serta Ir. Mananti Sitompul, Menteri Pekerjaan.

Sehari setelah  PDRI berdiri, pekerjaan  yang dilakukan Mr. Sjafrudin adalah membalas propaganda Belanda dengan mengatakan,  Indonesia masih tegak berdiri melalui Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera.

Dengan tegas, Sjafruddin mengatakan bahwa bangsa Indonesia tidak bergantung hanya pada Soekarno-Hatta.

Banyak pemimpin Indonesia yang siap menggantikan Soekarno-Hatta, memimpin barisan melawan Belanda.

Propaganda melalui stasiun RRI, itu berhasil mengubur propagana Belanda yang disampaikan sebelumnya. Seluruh dunia tahu negara Indonesia masih tegak berdiri dalam bentuk PDRI.

Untuk melancarkan propaganda PDRI dan menghindari sergapan penjajah, Mr. Sjafruddin melakukan gerilya.

Bersama koleganya, Mr. Sjafruddin  keluar masuk hutan sambil membawa pemancar radio.

Laiknya hidup di hutan, Sjafruddin juga kerap diterpa kelaparan karena tidak ada sesuatu yang bisa dimakan.

Dia juga kerap diguyur hujan karena tidak ada tempat berteduh.

Selama bergerilya, para pemimpin  PDRI selalu memerintahkan seluruh sisa kekuatan TNI melakukan perlawanan hingga waktu yang belum ditentukan. 

Wakil Ketua MPR RI Dr HM Hidayat Nur Wahid, MA menyampaikan ini secara daring pada Temu Tokoh Nasional-Keagamaan, kerja sama MPR dengan Forum Masjid dan Musalah se-Jakarta Pusat.

Acara tersebut berlangsung di Masjid Jami Al-Huda, Jalan  Duri,  RT 3 / RW 2, Duri Pulo, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat, Jumat (18/12).

Ikut hadir pada acara tersebut Ustad Syawaluddin Hidayat, S.PDi, Ketua Forum Masjid dan Musholla Jakpus, serta K.H. Achmad Fanari Ketua takmir Masjid Al Huda. Serta  anggota forum Masjid dan Mushollah se Jakarta Pusat.

"Berkat keberhasilan Mr. Sjafruddin mendirikan PDRI, klaim dan propaganda Belanda yang menyatakan Indonesia telah bubar serta dapat mereka kuasai gugur dengan sendirinya. Selain itu dunia internasional juga mengecam agresi militer dan memaksa Belanda kembali ke meja perundingan," kata Hidayat.

Keberhasilan Mr. Sjafruddin mendirikan PDRI, mampu menyelamatkan  Proklamasi 17 Agustus dari kehancuran. PDRI juga berhasil memaksa Belanda duduk dalam perundingan Roem-Royen. Setelah itu, tepatnya pada 13 Juli 1949 Mr. Sjafruddin Prawiranegara mengembalikan mandat yang diterimanya kepada Soekarno Hatta. 

Keberhasilan Mr. Sjafruddin yang juga pimpinan Partai Masyumi menyelamatkan NKRI menambah panjang daftar ulama, pemimpin ormas keagamaan dan parpol berbasis Islam yang berkontribusi menyelamatkan NKRI.

Hidayat mengatakan kisah-kisah sukses ini seharusnya disampaikan kepada generasi muda agar mereka mengenal jasa pahlawannya, dan makin mencintai Indonesia. 

"Masih ada kelompok umat Islam yang menganggap bahwa Indonesia merupakan hadiah dari penjajah Belanda dan tidak ada kaitannya dengan umat Islam. Makanya mereka sering mengkafirkan apa pun tentang Indonesia. Karena dianggapnya Indonesia ini adalah warisan dari orang-orang kafir," ungkap Hidayat. 


Padahal, Hidayat menegaskan, sejak dulu kala antara umat Islam dan Indonesia sudah menyatu, dan tak bisa dipisahkan.

Menurutnya, reramat banyak pengorbanan serta darma bakti umat Islam dan ulama dalam tegaknya NKRI. Sejak dari zaman perjuangan fisik, proses lahirnya kesepakatan Pancasila 18 Agustus, Resolusi Jihad, hingga kembalinya NKRI setelah sempat berganti menjadi Republik Indonesia Serikat. 

"Indonesia ini adalah hasil jihad, ijtihad dan mujahadah umat Islam, khususnya  para ulama. Sudah semestinya umat Islam menjadi garda terdepan penjaga NKRI untuk diwariskan pada generasi mendatang, sebagaimana para ulama dahulu mewariskannya kepada kita saat sekarang," kata HNW panggilan akrab Hidayat. (*/jpnn)

 

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler