HNW Tegaskan MPR tak Punya Agenda Perpanjang Masa Jabatan Presiden

Minggu, 12 September 2021 – 21:32 WIB
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW). Foto: Humas MPR RI.

jpnn.com, JAYAPURA - Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) menegaskan, salah satu dari Empat Pilar yang disosialisasikan MPR adalah UUD 1945.

Karena itu, sudah seharusnya MPR jadi teladan dalam memegang teguh pelaksanakan ketentuan konstitusi dan menjalankan amanat reformasi, termasuk yang terkait dengan pembatasan masa jabatan presiden.

BACA JUGA: HNW Dukung Pemberian Gelar Pahlawan Kepada Para Habaib dan Pejuang Perempuan

Terlebih belakangan, masa jabatan presiden banyak dipolemikkan oleh pihak-pihak dari luar MPR.

“Terkait amendemen UUD 1945, ada dua isu yang dibincangkan publik, baik untuk menghadirkan PPHN (Pokok-Pokok Haluan Negara), maupun perpanjangan masa jabatan presiden. Semua itu penting untuk didudukkan sesuai fakta aturan konstitusi dan dinamika yang ada di MPR RI," kata HNW saat sosialisasi Empat Pilar MPR RI bersama Yayasan Al Barokah di Jayapura, Papua, Sabtu (11/9).

BACA JUGA: HNW: Oposisi Menyehatkan Demokrasi di Indonesia

Menurut HNW, manuver dan isu di luar MPR terkait wacana amendemen justru bisa mengalihkan isu dan menggerus kepercayaan rakyat terhadap parlemen serta lembaga negara.

Dia mengingatkan, peluang terjadinya amendemen diatur dalam pasal 37 UUD 1945.

BACA JUGA: HNW Khawatir Muhammad Kece Gangguan Jiwa, Ini Analisis Bang Reza

Amendemen bisa dilakukan, jika memenuhi persyaratan, apalagi ada kajian di MPR untuk menghadirkan kembali GBHN dengan nama PPHN.

Menurut HNW, tidak seluruh fraksi di MPR menyetujui amendemen UUD 1945 untuk menghadirkan PPHN.

Misalnya, Fraksi PKS menolaknya.

Bahkan menurut PKS, PD dan Gerindra, PPHN bisa dihadirkan tanpa amendemen, melainkan cukup melalui penguatan UU yang sudah ada.

“Apalagi menimbang negara yang lagi berjuang mengatasi covid-19, sementara rencana materi amendemen bukan hal yang sangat diperlukan oleh negara dan rakyat. Argumentasi penolakan amendemen itu semakin kuat,” ujarnya.

Menurut HNW, wacana itu juga belum jadi keputusan final, karena kajiannya belum selesai dan belum disepakati. Apalagi belum ada satupun anggota MPR yang mengusulkannya.

Merujuk pasal 37 UUD 1945, ada batasan aturan yang sangat jelas dan tegas, yaitu usulan yang bisa ditindaklanjuti MPR untuk melakukan amendemen hanyalah yang diusulkan oleh anggota MPR, dengan aturan yang sangat ketat.

Bukan yang diwacanakan oleh individu mantan pimpinan partai, atau aktivis lembaga survei, atau kelompok relawan.

“Anggota MPR yang mengusulkan amendemen UUD 1945 minimal berjumlah 1/3 dari total anggota MPR. Atau 237 anggota MPR dari 711 anggota MPR. Usulanpun disampaikan secara tertulis dengan menyebutkan alasan perubahan dan alternatif usulannya. Itu semua harus sudah dipenuhi sebelum sidang Paripurna MPR," jelas HNW.

Begitu juga aturan pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.

"Jadi tidak bisa tiba-tiba ada yang menyalip ditikungan dengan mengusulkan pasal titipan baru, soal perpanjangan masa jabatan presiden misalnya. Jadi, syaratnya sangat ketat. Berbeda dengan kasus-kasus lain, ataupun ketentuan UUD 45 sebelum perubahan, yang bisa terjadi keputusan/tambahan yang mendadak,” jelasnya.

Karena itu, lanjut HNW, proses amendemen UUD 1945 di MPR apabila memang akan terjadi, hanya akan dilakukan secara ketat sesuai dengan ketentuan UUD yang berlaku. Bukan karena desakan opini ataupun survei.

Wakil Ketua Majelis Syura PKS itu yakin ketentuan Pasal 7 UUD 1945 yang membatasi dua kali masa jabatan periode presiden tidak akan diamendemen.

“Tidak ada kajian dan agenda MPR terkait perubahan UUD untuk memperpanjang masa jabatan presiden. Yang baru ada kajian terkait dengan PPHN. Itu pun tidak semua fraksi dan kelompok DPD setuju diberlakukannya melalui amendemen UUD 1945,” ujarnya.

“Tidak ada satupun pimpinan MPR maupun anggota MPR yang secara resmi ikut mengusulkan perubahan UUD untuk memperpanjang masa jabatan presiden. Itu tandanya, memang di MPR tidak ada agenda perubahan UUD 1945 untuk memperpanjang masa jabatan presiden,” tegas HNW kembali.

Pasal 7 UUD 1945 yang membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode merupakan ketentuan yang krusial.

“Itu merupakan tuntutan reformasi yang terpenting. Dari 6 tuntutan Reformasi, salah satunya adalah mengamendemen UUD, pasal 7, untuk membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode saja,” ujarnya.

Menurut HNW, bangsa Indonesia telah melewati sejarah kelam ketika presiden yang terlalu lama berkuasa, bisa dipilih berkali-kali tanpa batasan, sehingga menghadirkan penumpukan kekuasaan yang ujungnya otoriter dan koruptif.

"Itu terjadi Karena UUD tidak tegas membatasi masa jabatan presiden. Jadi, agar sejarah itu tidak terulang, maka Reformasi menghendaki hadirnya pembatasan tersebut," bebernya.

Itulah pasal yang paling pertama diubah oleh MPR era reformasi pada 1999.

"Sekalipun demikian, rakyat dan para akademisi penting untuk terus mengawal konsistensi MPR dalam melaksanakan seluruh ketentuan UUD 1945, termasuk yang terkait manuver untuk perpanjangan masa jabatan presiden," katanya.

HNW juga menilai pentingnya kejujuran mentaati ketentuan UUD seperti terkait dengan perpanjangan masa jabatan presiden sekaligus menjaga amanat reformasi dan menyelamatkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah, parlemen dan demokrasi.

“Agar NKRI tetap terjaga dan masyarakat tidak terbelah. Saya mengajak semua pihak untuk taat konstitusi dan kepada pendukung pak Jokowi agar mendukung keinginannya untuk taat konstitusi dengan tak berniat dan tak berminat masa jabatannya diperpanjang melebihi aturan konstitusi,” pungkasnya. (mar1/jpnn)

Yuk, Simak Juga Video ini!

BACA ARTIKEL LAINNYA... HNW Membandingkan Kasus Habib Rizieq dengan Jaksa Pinangki, Lumayan Keras


Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Tim Redaksi, Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler