jpnn.com, JAKARTA - Berita hoaks serta ujaran kebencian jelang Pemilu 2019 mengancam proses demokrasi. Kedua hal tersebut bisa menganggu kondusivitas persaingan di pemilu.
Seluruh elemen masyarakat diharapkan ikut memerangi dan menjadi pemilih cerdas. Paham bagaimana menyaring informasi, serta asal menyebarkan berita tak valid.
BACA JUGA: Bang Bahtiar: Ada 5 Surat Suara Pemilu 2019, Warna tak Sama
Hal tersebut merupakan salah satu intisari diskusi publik yang digelar Institute for Indonesia Local Policy Studies (ILPOS), Kamis (10/1).
Diskusi bertajuk 'Menjadi Pemilih Cerdas Melawan Maraknya Hoaks dan Ujaran Kebencian Jelang Pemilu 2019' menghadirkan sejumlah narasumber yakni Tenaga Ahli Bawaslu RI Sulastio, Plt. Biro Humas Kemkominfo Ferdinandus Setu, Kasubdit III Dittipidsiber Bareskrim Polri Kombes Pol Kurniadi, Tokoh Ulama Nahdlatul Ulama, KH. Masdar Farid Mas'udi, serta Akademisi Universitas Atma Jaya sekaligus pakar etika komunikasi Dodi Lapihu.
BACA JUGA: PSI Ajak Masyarakat Melawan Demagog dan Politikus Busuk
Dalam paparannya, Sulastio menjelaskan bahwa hoaks berdampak buruk terhadap kualitas pesta demokrasi. Tidak hanya berita hoaks, ujaran kebencian juga semakin marak di ruang-ruang publik.
"Kondisi ini yang membuat kecurigaan dan perpecahan di tengah masyarakat. Bawaslu selalu memantau aktivitas media sosial terhadap konten atau berita yang berbau hoaks dan melanggar UU Kepemiluan (bermuatan SARA, radikal dan hoaks)," ujar dia melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (12/1).
BACA JUGA: Pasang Spanduk di Tempat Ibadah demi Tangkal Isu SARA
“Bawaslu menduga adanya aktor intelektual terstruktur di balik penyebaran hoaks ini,” sambung Sulastio.
Sementara itu, Kombes Pol. Kurniadi mengatakan, pelaku penyebar hoaks dan ujaran kebencian akan dihukum sesuai undang-undang yang berlaku.
Hingga saat ini, Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) telah menemukan ribuan akun hoaks, ujaran kebencian, dan akun-akun radikal.
"Terkait penegakan hukum, kami tidak memasang kaca mata kuda dalam menangani para pelaku tersebut namun menggunakan pendekatan restoratif justice," jelas dia.
Pengamat Etika Komunikasi menyoroti ihwal erkembangan teknologi yang memiliki dua wajah. Selain mampu menciptakan perubahan ekonomi, sosial, politik dan ketahanan bangsa, di sisi lain mampu memecah belah bangsa akibat derasnya arus komunikasi yang berisi hoaks.
"Penyebaran hoaks melalui media sosial menggiring opini publik sehingga mempolarisasi masyarakat dengan informasi palsu yang bersifat tendensius dengan sentimen terhadap SARA," kata dia.
Apabila hal ini dibiarkan, maka Indonesia semakin dekat dengan era post-truth dimana fakta-fakta objektif sudah tidak mampu memengaruhi opini masyarakat dan dianggap tidak relevan.
"Masyarakat akhirnya bersandar pada keyakinan pribadi dan emosi. Yang artinya masyarakat memilih untuk menolak atau menerima kebenaran bukan berdasarkan fakta obkektif tadi akan tetapi berdasarkan keyakinan dan seleranya saja," kata dia.
Hadirnya media sosial mempercepat reaksi tersebut. Menjelang pesta demokrasi, penyebaran hoaks semakin marak, hal ini harus diwaspadai oleh segenap anak bangsa karena gesekan politik yang demikian kuatnya diamplifikasi oleh hoaks itu tadi. Sayangnya elite-elite pun tidak mampu mencontohkan hal yang baik ketika bermedia sosial.
KH. Masdar Farid Mas'udi menyebut pelaku hoax dan ujaran kebencian telah mencabik-cabik keutuhan bangsa ini, dengan cara menciptakan konten-konten hoax dan memuat ujaran kebencian. "Para elit politik seharusnya mengedepankan persatuan dan kesatuan demi kekayaan keberagaman yang ada di Indonesia," pungkasnya. (jpc/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bareskrim Tangkap Lagi Pembuat Konten Hoaks Surat Suara
Redaktur : Tim Redaksi