jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik Ray Rangkuti menilai Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bisa mengambil tindakan tegas perihal hoaks yang dibuat Ratna Sarumpaet.
Menurut Ray, hoaks yang dilontarkan Ratna merupakan pelanggaran menjelang Pemilu 2019.
BACA JUGA: Ratna Sarumpaet Berbohong, Elektabilitas Jokowi Tertolong
Ray menjelaskan, ada empat alasan yang membuat Bawaslu layak mengambil langkah tegas.
Pertama, Ratna beserta pendukung pasangan Calon Presiden-Wakil Presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menyampaikan berita bohong.
BACA JUGA: Jokowi-Maruf Babak Belur andai Dusta Ratna Tak Terbongkar
Kedua, hoaks itu digunakan untuk membangun citra diri dan menyerang pihak lain.
Ketiga, hoaks yang dibuat Ratna membuat kegaduhan. Keempat, hoaks itu disebarluaskan tim resmi pasangan Prabowo-Sandiaga yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
BACA JUGA: Polisi Pegang Rekam Medis Ratna, Ini Rencana Selanjutnya
Ray menyampaikan pandangannya itu saat menjadi pembicara dalam diskusi publik bertema Menimbang Skandal Ratna dari Sudut Hukum Pidana dan Pemilu 2019 yang diselenggarakan Tim Pembela Jokowi (TPJ) di Jakarta, Kamis (11/10).
“Semua orang di Indonesia berkomitmen mengawal Pemilu 2019 menjadi pemilu yang jujur, adil, damai dan bermartabat. Yang dibutuhkan sekarang adalah komitmen dan kerja keras Bawaslu dalam mengawal proses demokrasi dengan pemilu yang jujur dan bermartabat,” kata Ray
Dia menambahkan, hoaks itu mengancam terwujudnya asas jujur dan bertanggung jawab dalam pemilu serta persatuan.
Meski demikian, Ray meyangsikan kemauan Bawaslu menggunakan kewenangan untuk menangani kasus itu.
“Satu-satunya prestasi Bawaslu periode ini adalah mengembalikan hak politik mantan koruptor untuk menjadi anggota legislatif,” ujar Ray.
Sementara itu, pakar pidana Universitas Sumatera Utara (USU) Mahmud Mulyadi menjelaskan, ada beberapa pasal dalam hukum pidana terkait berita bohong.
Di antaranya, Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang No. 1 Tahun 1946, Pasal 28 dan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
“Dalam Pasal 28 UU ITE disebutkan bahwa orang-orang yang sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik dapat dihukum pidana,” kata Mahmud.
Dia menambahkan, penyebar hoaks yang memiliki tujuan menimbulkan kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agam, ras, dan antargolongan (SARA) bisa dipenjara maksimal enam tahun atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Namun, sambung Mahmud, yang harus diperhatikan dalam menerapkan sanksi pidana kepada pembuat dan penyebar hoaks adalah unsur-unsur subjektif dan objektif dalam satu delik hukum.
“Contohnya, pasal 14 ayat dua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. Unsur subjektifnya adalah dengan sengaja, sedangkan unsur objektifnya adalah menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat,” ujar Mahmud.
Sementara itu, Koordinator Pelaporan dan Advokasi TPJ Chairil Syah mengatakan, membongkar skandal hoaks Ratna merupakan upaya pihaknya menyelamatkan pemilu dan demokrasi.
“Karena itu, bangsa ini berkepentingan skandal Ratna dibongkar sampai tuntas. Dalam waktu dekat kami akan memproses secara hukum mereka yang diduga terlibat dalam skandal Ratna,” kata advokat senior yang juga aktivis hak asasi manusia (HAM) itu. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Respons Kompolnas Sikapi Kasus Ratna dan Tuduhan ke Kapolri
Redaktur : Tim Redaksi