jpnn.com, JAKARTA - Ketua Dewan Pembina Forum Honorer Indonesia (FHI) Hasbi menduga, lambatnya penyelesaian masalah honorer, terutama honorer K2, salah satunya karena Presiden Joko Widodo menerima informasi salah dari para pembantunya.
Para pembantunya yang merupakan pejabat di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) serta Badan Kepegawaian Negara (BKN), menurut Hasbi, menyodorkan informasi yang tidak sesuai fakta.
BACA JUGA: Honorer K2 Gelar Aksi 28 November, Usung 3 Tuntutan
"Yang kami tahu, para pejabat KemenPAN-RB dan BKN berusaha agar honorer dihilangkan dari sistem birokrasi dengan alasan kompetensinya rendah. Yang jadi pertanyaan kenapa baru sekarang mau dimatikan?, Kenapa enggak dari dulu saja?," kata Hasbi kepada JPNN.com, Kamis (21/11).
FHI, lanjutnya, mendukung program Jokowi - Mar'uf terkait reformasi birokrasi dan peningkatan SDM. Oleh karena itu FHI meminta pemerintah untuk meningkatkan SDM tenaga honorer melalui program pembinaan dan pelatihan.
BACA JUGA: Di DPR, Bima Beber Alasan Enggan Angkat Honorer K2 jadi PNS
"FHI meminta presiden menertibkan beberapa pejabat BKN dan KemenPAN-RB yang sering membuat noise, menimbulkan kegaduhan dengan pernyataan kompetensi honorer rendah. Ini sangat melukai hati dan perasaan seluruh tenaga honorer di tengah loyalitas dan pengabdian mereka pada negara. Padahal fakta di lapangan tenaga honorer sebagian besar merupakan tenaga inti dalam pelayanan publik dan operator di berbagai instansi pemerintah daerah maupun pusat," bebernya
Hasbi juga meminta pemerintah untuk segera menyelesaikan permasalahan PPPK (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja) yang telah lulus tes tahap I 2019. Sehingga ada kejelasan status, kesejahteraan dan kejelasan hukum.
BACA JUGA: Anggota Komisi II: Pak Menteri, Selesaikan Honorer K2, Biar dapat Berkah
FHI juga mendesak pemerintah dalam rekrutmen PPPK, pos penggajian dialokasikan anggarannya dari APBN. Bukan dibebankan ke daerah, mengingat terbatasnya kemampuan anggaran pemerintah daerah dalam pos belanja pegawai.
Hal ini berpotensi menghambat program pembangunan daerah, karena belanja pegawai rata-rata sudah di atas 50 persen APBD. (esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad