Horeee... Indonesia Segera Mampu Penuhi Kebutuhan Amonia Sendiri

Senin, 03 Agustus 2015 – 06:42 WIB

jpnn.com - LUWUK – Indonesia bakal segera mampu memenuhi tingginya kebutuhan amonia di dalam negeri. Ini seiring pembangunan pabrik amonia terbesar di Indonesia di Luwuk, Banggai, Sulawesi tengah.

Pembangunan pabrik amonia di lahan seluas 192 hektare dengan investasi proyek itu senilai USD 830 juta atau sekitar Rp 11,2 triliun itu diresmikan langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), Minggu (2/8). Amonia memang dibutuhkan untuk berbagai hail. Mulai pembuatan pupuk, hingga bahan peledak itu. Kebutuhannya per tahun mencapai 3 juta ton di Asia dan sekitar 500 ribu ton di Indonesia. 

BACA JUGA: Pengusaha Sawit Desak Pemerintah Paksa Industri Otomotif Gunakan Biodiesel

Dalam pembangunannya, pabrik amonia akan menyerap 2 ribu tenaga kerja. Saat beroperasi, pabrik tersebut akan menyerap paling sedikit 300 tenaga kerja. Pabrik itu mulai beroperasi pada kuartal empat 2017.

’’Sekian tahun pertumbuhan ekonomi kita selalu bertumpu pada konsumsi. Ini harus kita balik ke produksi. Kita negara kaya. Banyak kekayaan di dalamnya. Bahan mentah bisa kita olah,’’ tutur Jokowi.

BACA JUGA: Pemerintah Minta Groundbreaking LRT 17 Agustus

Dalam kesempatan yang sama, Jokowi sekaligus meresmikan megaproyek Pertamina terintegrasi yang terdiri atas Central Processing Plant JOB Pertamina Medco E&P Tomori Sulawesi, pengapalan perdana kargo PT Donggi-Senoro LNG, dan pengoperasian lapangan gas GG Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java.

Jika ditotal, seluruh proyek yang diresmikan Jokowi menyerap 10 ribu tenaga kerja untuk masa pembangunan dan 1.500 tenaga kerja setelah beroperasi. Gas dari megaproyek Pertamina itulah yang akan dioptimalkan untuk pengoperasian pabrik amonia milik PT Surya Esa Perkara Tbk (ESSA) melalui anak usahanya, PT Panca Amara Utama (PAU). Sebab, lokasinya bertetangga. Jadi, selain hemat biaya distribusi, pasokan dijamin berlanjut.

BACA JUGA: Waduh! Politikus PAN Sebut Indonesia Menuju Krisis Keuangan 1998

Presiden Direktur PAU Garibaldi (Boy) Thohir menuturkan, hal paling penting dari setiap proyek refinery, termasuk pabrik amonia, adalah pasokan gas. Pengirimannya harus dipastikan tersedia dan lancar. ’’Bagi kami, itu ada di sebelah, bertetangga. Selain itu, belajar dari pengalaman, hal sulit lainnya dari setiap proyek besar adalah lahan. Baik soal pembebasan, proses sertifikasi, maupun lainnya. Kita sudah miliki semua itu,’’ ungkapnya.

Garibaldi Thohir (tengah) berbincang dengan mitra strategis saat penancapan tiang pancang pabrik amonia di Luwuk, Banggai, Sulawesi Tengah, Minggu (2/8). Foto: Sugeng Sulaksono/Jawa Pos

Boy menjelaskan, Indonesia harus yakin dan mampu mewujudkan sebuah proyek besar. Selanjutnya, diharapkan muncul lagi proyek besar lainnya. ’’Saya pikir kita harus mulai bantu pemerintah mewujudkan cita-citanya bahwa sumber daya alam tidak dijual langsung, harus diolah dan diproduki di dalam negeri untuk memberikan nilai tambah,’’ paparnya.

Potensi pasar amonia, kata Boy, sangat besar. Bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga global. Meski begitu, hasil produksi untuk tahap awal akan diarahkan ke pasar dalam negeri lebih dulu. Terutama untuk memenuhi kebutuhan produksi pupuk.

Direktur Eksekutif PAU Vinod Laroya mengungkapkan, kawasan Asia mengimpor sekitar 3 juta ton amonia per tahun. Sementara itu, Indonesia mengimpor 400 ribu ton–500 ribu ton amonia per tahun. ’’Itu saja sudah menjadi gambaran besarnya pasar amonia. Tentu tujuannya agar Indonesia mengurangi impor jika kebutuhan amonia bisa dari dalam negeri,’’ tegasnya.

Bagi ESSA dan PAU, pembangunan pabrik amonia tersebut merupakan proyek terbesar yang pernah dilakukan. Selain itu, pembangunan pabrik tersebut akan menjadi sejarah bagi Indonesia karena memiliki pabrik kimia yang menjadi bahan dasar kebutuhan berbagai industri itu dalam kapasitas besar.

Belum banyak negara yang memiliki fasilitas produksi amonia. Vinod menyebutkan, pabriknya akan menggunakan teknologi paling modern di dunia, yaitu KBR reforming exchanger system (KRES) dan purifier dari Kellogg Brown & Root (Houston, AS) dengan kelebihan konsumsi energi yang efisien. ’’Baru ada dua atau tiga saja pabrik di dunia yang bisa gunakan teknologi KRES,’’ ucapnya.

Pabrik amonia PAU memiliki kapasitas produksi 700 ribu ton per tahun. Pada tahap awal, gas yang akan dipasok dari blok Senoro–Toili itu mencapai 55 juta kaki kubik per hari (MMSCFD).

Untuk memenuhi kebutuhan dana investasi USD 830 juta, PAU sebelumnya mendapat pinjaman sindikasi USD 509 juta dari konsorsium perbankan yang dipimpin International Finance Corporation (IFC) bersama tujuh bank lainnya. ’’Dalam masa konstruksi, konten lokal yang digunakan 61 persen dari biaya proyek dan 87 persen dari beban usaha yang akan dibelanjakan di Indonesia,’’ papar Vinod. (gen/c15/oki/JPG)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Laba BNI Syariah Naik Rp 33,46 Miliar


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler