Hubungan Diplomatik Indonesia dan Tiongkok: Meresapi Sejarah, Membangun Masa Depan Bersama

Oleh Odemus Bei Witono - Mahasiswa Doktoral Filsafat STF Driyarkara

Senin, 27 November 2023 – 15:10 WIB
Mahasiswa Doktoral Filsafat STF Driyarkara Odemus Bei Witono. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Sejarah panjang hubungan diplomatik antara Indonesia dan Tiongkok telah melibatkan berbagai peristiwa signifikan yang membentuk dinamika hubungan bilateral kedua negara.

Namun, ketidakpastian dan ambiguitas dalam sejarah tersebut masih menciptakan tantangan bagi terwujudnya harmoni etnis, terutama dalam konteks hubungan dengan komunitas Tionghoa di Indonesia.

BACA JUGA: Pandangan RRT Terhadap Resolusi Sengketa di Laut Tiongkok Selatan dan PKG

Menurut Prof. Hasjim Djalal (2015), hubungan antara Indonesia dan Tiongkok sudah terjalin sejak berabad-abad sebelum Indonesia merdeka.

Hubungan diplomatik resmi baru terbentuk pada 13 April 1950 dan makin diperkuat dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada April 1955.

BACA JUGA: Deng Xiaoping: Reformasi dan Pembebasan Pikiran Tiongkok

Namun, pembekuan hubungan diplomatik pada 30 Oktober 1967, setelah peristiwa G 30S PKI, menciptakan periode ketidakpastian yang berlangsung hingga 1990.

Meskipun dalam masa pembekuan terdapat kerja sama praktis, seperti partisipasi bersama dalam Konferensi Hukum Laut PBB ke-3 (1973-1982), hubungan diplomatik baru pulih pada 8 Agustus 1990.

BACA JUGA: Tahun Ini Tiongkok Bakal Menyalip Jepang, Merajai Ekspor Mobil Dunia

Prof. Liang Min He (2015) menggambarkan dampak signifikan terhadap komunitas Tionghoa di Indonesia selama periode tersebut.

Hingga tahun 1957, terdapat 1669 sekolah Tionghoa dengan 450.000 murid. Namun, pada April 1966, semua sekolah Tionghoa ditutup, diikuti dengan larangan berbahasa Mandarin dan pembatasan kegiatan keagamaan dan budaya Tionghoa. Surat edaran Nomor 6 Presidium Kabinet Ampera pada tahun 1967 mengubah status warga Tionghoa menjadi non-pribumi, menciptakan pemisahan antara pribumi dan nonpribumi.

Pemulihan hubungan diplomatik pada 1990 membawa perubahan positif, terutama di era pemerintahan Habibie (1998-1999), dan Abdurrahman Wahid (1999-2001).

Meskipun demikian, ambiguitas dan tantangan tetap mewarnai hubungan antara kedua negara dan komunitas Tionghoa di Indonesia.

Salah satu ambiguitas utama adalah adanya saling curiga dan kehati-hatian yang masih terasa dalam hubungan bilateral.

Meskipun hubungan sudah berlangsung berabad-abad, tetapi ketidakpastian ini telah menimbulkan diskriminasi turun temurun terhadap komunitas Tionghoa di Indonesia.

Bahkan, hingga saat ini, terdapat ketakutan terhadap bahaya laten ideologi kiri yang potensial menyulut "ketakutan" terhadap pengaruh paham komunisme.

Etnisitas dan budaya Tionghoa di Indonesia juga belum sepenuhnya terbaur dengan masyarakat luas, menciptakan jarak yang masih terlihat.

Selain itu, mitos-mitos sejarah yang menciptakan urgensi memerangi diskriminasi terhadap warga Tionghoa di Indonesia juga perlu diurai, seperti yang diungkapkan oleh R. Cribb & Charles (2009).

Sebab jika tidak, diskriminasi terhadap ras berbeda yang dianggap lebih lemah akan terus berlanjut.

Sebagai solusi, penting untuk membangun pemahaman yang lebih baik mengenai sejarah hubungan Indonesia-Tiongkok dan mempromosikan dialog terbuka untuk mengatasi ambiguitas yang masih ada.

Selain itu, langkah-langkah konkret perlu diambil untuk menghapuskan diskriminasi, mendorong pembauran etnis dan budaya, serta memperkuat kerja sama bilateral yang saling menguntungkan.

Dalam menghadapi masa depan, penting bagi Indonesia dan Tiongkok untuk bersama-sama membangun hubungan yang kokoh dan harmonis.

Pemerintah Indonesia perlu terus berkomitmen untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan menghormati keberagaman etnis dan budaya, sementara Tiongkok dapat berperan aktif dalam mendukung integrasi komunitas Tionghoa di Indonesia dan mempromosikan pemahaman yang lebih baik antar-keduanya.

Dengan demikian, dapat diciptakan fondasi yang kuat untuk membangun masa depan yang saling menguntungkan dan harmonis antara Indonesia dan Tiongkok.

Budiarto Shambazy (2015) menegaskan bahwa Indonesia sebagai bangsa besar semestinya sudah lebih dewasa dan matang tidak lagi berlaku diskriminatif terhadap orang Tionghoa yang juga saudara-saudara kita sendiri.

Sebagai catatan akhir, sejarah panjang hubungan antara Indonesia dan Tiongkok telah membentuk dinamika hubungan bilateral, namun ambiguitas dan ketidakpastian dalam sejarah tersebut menciptakan tantangan bagi harmoni etnis, khususnya dalam konteks komunitas Tionghoa di Indonesia.

Meskipun hubungan diplomatik telah pulih sejak 1990, tantangan seperti saling curiga, diskriminasi turun temurun, dan ketakutan terhadap pengaruh komunisme masih mempengaruhi hubungan bilateral dan komunitas Tionghoa di Indonesia.

Untuk mengatasi hal ini, diperlukan pemahaman lebih baik tentang sejarah hubungan kedua negara, dialog terbuka untuk mengatasi ambiguitas, serta langkah konkret menghapuskan diskriminasi, mendorong pembauran etnis, dan memperkuat kerja sama bilateral.

Masa depan harmonis antara Indonesia dan Tiongkok memerlukan komitmen bersama dalam menciptakan lingkungan inklusif, menghormati keberagaman etnis dan budaya, serta dukungan aktif dalam integrasi komunitas Tionghoa di Indonesia.(***)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler