jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Arsul Sani menuturkan pengaturan hukuman mati bagi para koruptor sudah diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU Tipikor.
"Di UU Tipikor itu ada kasus korupsi tertentu, di mana pidana mati itu bisa dijatuhkan. Itu masih merupakan hukum positif karena UU-nya kan belum diubah," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (10/12).
BACA JUGA: Mahfud MD: Hukuman Mati untuk Koruptor Tergantung Pengadilan
Anggota Komisi III DPR itu menambahkan rezim hukum pemberantasan korupsi Indonesia memang memungkinkan membuka dijatuhkannya vonis pidana mati terhadap terpidana korupsi.
Sekretaris jenderal (sekjen) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini menambahkan pidana mati itu dijatuhkan kepada terdakwa perkara korupsi tertentu, seperti dana bencana alam.
BACA JUGA: Komnas HAM Tolak Hukuman Mati untuk Koruptor
"Kasus korupsi apa? Kasus korupsi yang merugikan keuangan negara di mana pada saat misalnya terjadi bencana, dikorupsi uang bencana. Kemudian dalam keadaan krisis ekonomi kok masih juga dikorupsi," tambahnya.
Hanya saja, Arsul menambahkan selama ini belum pernah ada putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana mati terhadap terdakwa korupsi yang demikian.
BACA JUGA: DPR Tantang Jokowi Inisiasi UU Hukuman Mati KoruptorÂ
Dia mencatat baru di zaman Orde Baru ada mantan Kepala Dolog Kaltim, Budiaji, terdakwa korupsi yang dijatuhkan hukuman pidana penjara seumur hidup. Kemudian, terdakwa suap pengurusan pilkada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. "Setelah itu, rata-rata (hukuman terpidana korupsi) di bawah itu," ujarnya.
Arsul mengatakan fokus sekarang ini sebaiknya bukan lagi kepada pidana mati atau tidak, tetapi secara keseluruhan seperti bagaimana pemberatan hukuman pidana terdakwa korupsi bisa dilakukan.
"Karena ada kritik selama ini bahwa pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa kasus korupsi itu ringan-ringan," ungkapnya.
Hanya saja, ia mengingatkan, yang penting juga adalah bersikap adil dalam menjatuhkan vonis. Misalnya, harus melihat nilai yang dikorupsi, maupun peran terdakwa dalam kasus korupsi tersebut. "Harus adil, yang dikorupsi seberapa, perannya dia apa, sebab dia masuk kasus korupsi itu banyak yang tidak tahu apa-apa," ujarnya.
Dia mencontohkan, misalnya ajudan kepala daerah disuruh mengantarkan uang suap untuk anggota DPR. Nah, kata Arsul, ajudan yang belum tentu tahu ada deal apa antara kepala daerah dengan DPRD, itu ketika ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT), juga akan diproses hukum. Ajudan itu bisa dikenakan pasal turut serta, atau paling tidak minimal membantu melakukan.
"Nah, yang seperti begini kan tidak mungkin juga dihukum mati ataupun dihukum berat tetapi kita harus lihat case per case," ujarnya.
Nah, Arsul menuturkan sebenarnya hukuman mati untuk koruptor bukan hal baru kalau memang mau dijatuhkan. Lebih jauh Arsul mengatakan akan melihat nanti apakah hukuman mati koruptor itu juga akan masuk revisi UU Tipikor. "Kan menunggu prolegnas jangka menengah, prolegnas 2020-2024 masuk atau tidak," ungkapnya.
Dia menambahkan, PPP akan mendukung revisi UU Tipikor karena banyak hal yang belum diatur atau belum ada di dalam aturan sekarang ini. (boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy