Ye Yint Aung masih ingat kebiasaannya mendengarkan lagu hip-hop pertama Myanmar hampir setiap hari sepulang sekolah.

"Waktu itu saya cukup terobsesi. Beberapa lagu bertema politik, tapi dibawakan dengan pesan yang sangat halus," ujarnya kepada ABC News.

BACA JUGA: 2 Terdakwa Ini Divonis Mati, Kasusnya Berat

"Tapi pada saat itu hanya lagu-lagu rap Burma, yang sangat keren bagi saya," kata Aung.

Musik Phyo Zayar Thaw dan bandnya, Acid, berhasil menarik perhatian Aung yang tinggal di Australia.

BACA JUGA: Kisah Memilukan Para Korban Penembakan Massal di Texas

Tapi Zayar Thaw, yang beralih profesi dari artis hip-hop menjadi politisi di partai pimpinan Aung San Suu Kyi, baru-baru ini telah dijatuhi hukuman mati di Myanmar. Dia divonis bersalah dengan tuduhan anti-terorisme.

Meskipun eksekusi yang diperintahkan pengadilan belum dilakukan di negara itu sejak 1988, hukuman mati Zayar Thaw adalah salah satu dari belasan vonis yang dijatuhkan sejak junta militer menggulingkan pemerintah dan merebut kekuasaan dalam kudeta Februari tahun lalu.

BACA JUGA: Tionghoa Australia Masih Terus Mengalami Serangan Rasisme Setelah Pandemi COVID

Mendengar kabar vonis hukuman mati ini merupakan "momen surealis" bagi Aung dan banyak orang lain di Australia yang terhubung dengan lagu-lagu Zayar Thaw.

"Ini seperti melihat aktor Hollywood mendapatkan hukuman mati, atau musisi mendapatkan hukuman mati di sini di Australia. Rasanya tidak nyata," tutur Aung.

Menurut laporan kelompok HAM dunia Amnesty International, Myanmar telah mengalami peningkatan "mengkhawatirkan" dalam jumlah orang yang dijatuhi hukuman mati, sementara Tiongkok, Korea Utara dan Vietnam terus melakukan eksekusi secara rahasia.

Disebutkan, jumlahnya meningkat delapan kali lipat di Myanmar, di mana hukuman mati dijadikan alat rezim militer dalam penganiayaan, intimidasi, dan pelecehan yang meluas terhadap para pengunjuk rasa.

"Total hukuman mati 2021 (setidaknya 86 vonis) menggambarkan peningkatan luar biasa dibandingkan tahun 2017-2020," kata laporan itu.

Dr Tun Aung Shwe, perwakilan Australia dari Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), mengatakan situasi di Myanmar melampaui vonis yang dijatuhkan di pengadilan, karena banyak pengunjuk rasa tewas di jalanan.

Menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, lebih dari 1.850 orang telah tewas sejak kudeta.

Dr Shwe mengaku prihatin dengan orang-orang yang dijatuhi hukuman penjara yang lama dan mendekam di Penjara Insein, tempat ekonom Australia, Sean Turnell, ditahan.

Dia menyebut pengalamannya sendiri dalam kasus ayahnya, yang merupakan tahanan politik selama rezim militer sebelumnya dan dijatuhi hukuman 18 tahun penjara.

"Ayah saya ditangkap pada tahun 1990 dan dia meninggal pada tahun 1997 di penjara Insein yang sangat terkenal. Ketika dia mengalami gagal jantung, junta militer tidak memberikan perawatan yang layak di rumah sakit," katanya.

"Itulah sebabnya ayah saya meninggal. Ini semacam hukuman mati informal bagi para pemimpin oposisi," ucapnya.

Mary Aung, seorang aktivis mahasiswa di Australia, mengatakan banyak dari vonis hukuman mati diberikan secara tidak adil, seringkali kepada generasi muda yang berjuang untuk demokrasi.

"Kami percaya bahwa mereka tidak pantas dihukum mati," katanya.

"Kami sama sekali tidak percaya pada sistem peradilan di Myanmar, kami sudah kehilangan kepercayaan," tambahnya. Tiongkok, Korea Utara dan Vietnam mengeksekusi secara rahasia

Laporan global tentang hukuman mati dan eksekusi pada tahun 2021 muncul beberapa minggu setelah eksekusi gantung terhadap Nagaenthran Dharmalingam di Singapura.

Pria asal Malaysia yang mengalami cacat intelektual itu dihukum mati karena pelanggaran narkoba.

Juru kampanye Amnesty International Rose Kulak mengatakan kasus itu telah memicu kemarahan.

"Saya sangat merasakannya, seluruh situasinya, sampai hari terakhirnya bersama ibunya," tuturnya.

"Saya tidak tahu bagaimana orang bisa mengetahui bahwa mereka berada dalam vonis hukuman mati dan dapat dieksekusi kapan saja," kata Rose.

Dia mengatakan saat ini hampir 30.000 orang terpidana mati secara global.

"Australia perlu berbuat lebih banyak, karena kita tinggal bersebelahan dengan wilayah pelaksana tertinggi hukuman mati di dunia," katanya.

Angka ini sebagian besar terjadi di Tiongkok, yang menurut Amnesty International, mengeksekusi ribuan orang, meskipun kelompok tersebut tidak memiliki akses data karena dianggap sebagai rahasia negara.

"Meskipun kami tidak memiliki statistik, kami tahu dari catatan media, dari dokumen pengadilan bahwa Tiongkok adalah pelaksana hukuman mati terbesar di dunia," kata Rose.

Namun, dia menyebut adany harapan dalam dekade terakhir karena penurunan jumlah pelanggaran yang diancam hukuman mati di Tiongkok, dari 50-an menjadi 46.

Kelompok HAM juga tak memiliki akses ke jumlah kasus di Korea Utara sehingga tidak mungkin memverifikasi laporan secara independen. Begitu pula dengan Vietnam.

Menurut Rose, bila Asia memiliki jumlah eksekusi tertinggi, sebaliknya Pasifik berada di ambang "bebas hukuman mati".

Laporan ini menyebut penggunaan hukuman mati di Asia melanggar hukum dan standar internasional dalam penerapannya untuk pelanggaran narkoba atau kejahatan ekonomi.

"Hukuman mati banyak digunakan untuk pelanggaran yang tidak memenuhi standar kejahatan paling serius," jelasnya.

Setelah eksekusi warga Australia Andrew Chan dan Myuran Sukumaran di Indonesia, pemerintah Australia telah mengembangkan strategi untuk penghapusan hukuman mati.

Namun, Rose Kulak mengatakan Australia harus berbuat lebih banyak untuk mendorong negara-negara lain agar memberikan suara dalam moratorium hukuman mati di PBB.

"Australia perlu ada hadir, mendorong negara-negara lain ikut berbicara untuk mengakhiri hukuman mati," katanya.

Juru bicara Departemen Luar Negeri dan Perdagangan mengatakan Australia konsisten menganjurkan penghapusan hukuman mati secara global.

Dikatakan, advokasi dilakukan melalui hubungan bilateral, termasuk dengan negara-negara yang mempertahankan hukuman mati, dan di forum multilateral seperti PBB.

"Australia secara aktif memuji mereka yang mengubah pendirian mereka," kata juru bicara itu.

Kementerian Luar Negeri Myanmar dan kedutaan besar Tiongkok di Australia juga telah dihubungi untuk dimintai komentar.

Human Rights Watch, yang melacak hukuman mati di Myanmar, mengatakan hukuman tambahan yang dijatuhkan pada tahun 2022 di "pengadilan tertutup dan palsu" menjadikan jumlah vonis mati mendekati 100.

“Hukuman kejam dan tidak dapat diubah ini dimaksudkan untuk meneror gerakan oposisi, yang lebih dari setahun terus melawan rezim militer,” kata peneliti HRW Asia, Shayna Bauchner.

"Jumlah perintah eksekusi yang meningkat adalah bukti tentang seberapa teganya para jenderal menggunakan nyawa manusia sebagai pion," ucapnya.

"Pemerintah asing harus mendukung rakyat Myanmar dengan memotong akses junta dari dana dan senjata yang memicu kejahatan mereka," kata Bauchner.

 

Diproduksi oleh Farid Ibrahim dari artikel ABC News

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Akankah Presiden Bongbong Marcos Mengakhiri Pembantaian di FIlipina?

Berita Terkait