jpnn.com, PEKANBARU - Nadia Safitri harus merawat tiga adiknya Diana (15 tahun), Marcel (10) dan Kevin (7) seorang diri. Mereka tinggal di rumah berukuran 4x5 meter, di Jalan Badak Ujung, RT 04 RW 04, Kelurahan Tuah Negeri, Kecamatan Tenayan Raya, Kota Pekanbaru, Riau. Di mana ayah dan ibu mereka?
Virda Elisya, Pekanbaru
BACA JUGA: Ayah Ibu Pergi Nikah Lagi, Nadia Harus Menghidupi Tiga Adiknya
Di rumah Nadia tak ditemukan adanya perabotan. Hanya ada ruangan kecil sebagai tempat tidur. Kamar mandi tak ada dan air bersih pun juga susah didapat. Untuk mandi, mereka mengandalkan air tadah hujan di kubangan bekas galian alat berat. Tempatnya terbuka yang berada di samping rumahnya. Jaraknya sekitar tiga meter. Airnya berwarna kekuningan serta berbau.
Bahkan saat buang air, mereka melakukannya di sebuah kubangan lain yang berjarak sekitar enam meter. Ukurannya lebih besar dan lebar dari kubangan yang dimanfaatkan untuk menampung air hujan. Air di kubangan tersebut warnanya hijau lumut. Ada sebuah jamban berukuran satu kali satu meter yang di sekelilingnya ditutupi karung bekas.
BACA JUGA: Ini Dia yang Merusak Bendera Demokrat di Pekanbaru
Tak ada tempat penampungan kotoran atau septic tank. Sudah pasti kotoran langsung jatuh ke kubangan itu. "Iya, apa-apa di sini. Karena enggak ada sumur. Kalau minum ada air galon, kadang," ungkap Nadia, Senin (21/1).
Hal itu ternyata bukan hanya dirasakan Nadia beserta tiga adiknya. Di lingkungan itu ada sekitar lima rumah lainnya. Mereka juga melakukan aktivitas mandi, cuci dan buang air di kubangan itu. Kondisi ini tentu bertolak belakang dengan Pekanbaru yang menjadi ibu kota Riau yang kaya dengan minyak.
BACA JUGA: Oknum Polisi Terciduk Saat Pesta Sabu Bersama Enam Temannya
Mardiati (63), kerabat Nadia yang tinggal tak jauh dari mereka mengatakan, kegiatan bersih-bersih menggunakan air kubangan sudah dirasakan sejak puluhan tahun silam. Sebab untuk membuat sumur cukup sulit karena strukturnya tanah liat dan perbukitan.
"Saya tinggal di sini sudah sejak 1991. Ya memang beginilah keadaannya. Apa-apa menggunakan air itu. Kalau hujan banyak airnya. Tapi kalau kemarau, susah. Pergi mandi harus naik motor dulu, jauh," ungkapnya.
Keadaan ini diakui Ketua RT setempat Hendriadi. Kehidupan Nadia cukup susah. Bahkan, Nadia dan ketiga adiknya tidak memiliki akta kelahiran. "Mereka tidak punya. Bahkan dalam KK (Kartu Keluarga) terpencar-pencar mereka kakak-adik. Masuk ke dalam KK paman atau lainnya," ungkap Hendri.
Ibu Nadia bernama Yuliarna. Dia memang sudah lama pergi meninggalkan anaknya. Tepatnya sekitar enam tahun lalu. Dulu, alasannya pergi untuk mencari nafkah ke Taluk Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau.
Namun belakangan diketahui kalau ibunya menikah untuk yang ketiga kalinya dan tinggal di Madura. Sedangkan ayah kandung Nadia juga menikah lagi dan tinggal di Painan, Sumatera Barat.
"Dia (ibu Nadia) sudah punya keluarga. Anak ini tinggal bersama paman, nenek atau keluarganya. Sementara keluarganya susah pula. Bahkan untuk makan tiga kali sehari susah. Makanya dia cari uang sendiri," beber Hendriadi.
Dari 60 Kepala Keluarga (KK) yang masuk dalam RT 04, hanya sekitar 20-an rumah saja yang memiliki kamar mandi layak. Termasuk lingkungan tempat tinggal Nadia. Selebihnya masih mengandalkan kubangan sebagai tempat penampungan air.
"Sumur digali yang namanya bukit mau berapa meter. Kami bikin kubangan. Paling sanggup 3 meter supaya ada pori-pori. Ini hanya air genangan. Mau nggak mau terpaksa mandi di sana. Bahkan ada juga yang merebus untuk minum, dari pada enggak minum," ujarnya.
Akses jalan menuju ke lokasi ini cukup sulit. Padahal jarak dari pusat kota hanya sekitar 45 menit. "Infrastruktur jalan ke sini pun susah. Kalau hujan anak sekolah harus balik lagi. Kenapa? Sudah jatuh, pakaian kotor. Jalan ini puluhan tahun. Saya tinggal di sini sudah sejak 1997. Masih kayak gini aja. Dua bulan lalu baru dapat pengerasan, jalan tanah," bebernya.
Saat musim hujan, perekonomian masyarakat akan lumpuh total. Sebab mayoritas masyarakat bekerja sebagai pembuat batu bata. Jalan akan rusak dan truk tak dapat masuk ke sana.
"Kalau hujan sedikit susah. Masyarakat enggak dapat uang karena penghasilan dari batu bata. Mobil enggak bisa masuk. Terkadang harus jual rugi dari pada enggak makan," jelentrehnya.
Hendriadi berharap pemerintah memperhatikan masyarakat di lingkungannya. "Saya sudah beberapa kali menyampaikan. Tapi belum ada respons. Kalau dapat pemerintah perhatikan ke depan. Jangan hanya berpedoman ke atas. Infrastruktur dibaguskan. Untuk apa bagus tapi ekonomi masyarakat nggak bagus," imbuhnya. (*/jpc)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tembok Pagar Sekolah Ambruk, Dua Pelajar Meninggal Dunia
Redaktur : Tim Redaksi