Sesuatu yang keluar dari bibir juga sesuai dengan yang keluar dari hatiKita meyakini itu tatkala Dekan Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Pratikno bertanya kepada tiga Capres dalam debat putaran terakhir, Kamis malam silam
BACA JUGA: Bukan Blessing in Disguise
"Saya akan terus mengabdi untuk bangsa Indonesia," kata Megawati, Capres dari PDIP-Gerindra menyahuti moderator yang bertanya, “seandainya kalah dalam Pilpres 2009, apa yang akan Anda lakukan?”"Langsung saya akan menyampaikan selamat pada yang menang dan mengajak konstituen saya mendukung siapa pun yang terpilih
BACA JUGA: Debat Malu-Malu Kucing
Capres Jusuf Kalla (JK) bahkan yakin bahwa siapa pun pemenang capres adalah yang terbaik, dan karenanya harus dihormati
BACA JUGA: Kata Kuncinya: Kita Migrasi
Ketua Umum Golkar ini menyatakan dirinya akan berkonsentrasi pada masalah pendidikan, keagamaan dan terlibat dalam berbagai kegiatan perdamaian dunia"Saya akan pulang kampungMengurusi pendidikan, masjid dan perdamaian dunia," sambung JK
Mudah-mudahan saja tidak lain di bibir lain di hatiKadang-kadang, penolakan justru bukan datang dari yang bersangkutanTetapi dari oang-orang di sekitarnya, atau yang merasa “orang di sekitarnya.” Pepatah lama mengatakan, kerap sekali cemprong lampu lebih panas ketimbang apinya
Contoh lain yang bukan generalisasi, “bapak itu sangat ramah, yang ekstra ketat justru ajudannya.” “Bagai panglima talam” kata orang MelayuPadahal sang raja selalu bijak bestari, dan tidak tiba di mata dipicingkan, tiba di perut dikempeskan
Sikap ketiga pemimpin itu yang harus ditularkan, antara lain kepada massa di akar rumputSeringkali untuk menunjukkan loyalitas, massa pendukung bertindak anarki seperti kerap kita lihat dalam pertandingan sepakbola di Tanah Air
Meskipun tak mustahil, justru para elit yang menyiramkan “bensin” ke api yang sekecil apapun tentu bisa marak menjadi kobaran apiPendapat ini berangapan justru akar rumput adalah masyarakat yang butuh ketentramanJustru para elit di sekitar sang tokoh yang kerap tampil bagai pahlawan kesiangan
***
Saya membayang-bayangkan, siapapun yang terpilih menjadi presiden dan wakilnya, tak lagi banyak harus berpikir-pikirMisalnya, tak perlu lagi menyusun visi misi dan yang hendak dikerjakan selama lima tahun ke depanMisalkan sayalah orang yang beruntung itu, walau tak mungkin karena saya bukan Capres, tinggal menggabung visi misi ketiga Capres itu
Ekonomi “jalan tengah” yang digadang-gadangkan oleh SBY-Boediono akan saya padukan dengan ekonomi kerakyatan ala Mega-PrabowoPelaksanaannya di lapangan akan saya mainkan dengan prinsip “lebih cepat lebih baik.” Wah, ada tiga paradigma dalam diri seorang presiden bagaikan three in oneDahsyat, bukan?
Tak perlulah diuraikan lagi apa maksud ketiga paradigma itu karena toh sudah dijajal-jajalkan selama masa kampanyeJika masing-masing paradigma mempunyai basis pendukung, baik di parlemen dan masyarakat, maka dengan menggabungnya menjadi semacam “trilogy pembangunan” – tentu beda dengan defenisi Orde Baru – masyarakat penyokong semakin meluasTak hanya legitimate secara undang-undang dan politik, tetapi juga secara sosiologis
Masalah kita selama ini memang rada unikSeakan-akan presiden terpilih dari partai tertentu, hanyalah presiden pendukung partai itu saja, sedang yang bukan, silakan minggirTak heran jika ada istilah oposisi, yang sebenarnya tak dikenal dalam system politik kitaYang ada, misalnya di DPR, adalah check and balancesBukan oposisi
Mekanisme check and blances semestinya tak hanya dianut oleh partai-partai yang Capresnya kalah dalam PilpresMelainkan oleh segenap anggota DPR, tanpa pandang buluMekanisme itu sehat adanyaBukan mekanisme perseteruan, dan bukan pula mekanisme persekutuan
Presiden terpilih pun harus menyadari bahwa dirinya adalah presiden republik iniBukan presiden partai pendukungnyaSikap eksklusif itu tak menandai jatidiri seorang negarawanBukankah ada adagium, kesetiaanku kepada partai berakhir ketika kesetiaan kepada Negara telah dimulai?
Presiden Soeharto kendati pun dengan alasan dan setting politik yang berbeda, malah melakukannyaBeberapa kali Soeharto mengangkat menteri dari PPP dan PDI, rival politiknya dalam PemiluMemang, Golkar pada masa Orde Baru adalah single majority, mutlak menguasai parlemenBeda dengan peta politik sekarang yang menganut system multipartai
Namun begitupun, Soeharto melakukannyaMemang ada saja kritik, bahwa hal itu hanya sekedar kosmetik politikNamun apapun itu, seorang Soeharto masih mau sharing kekuasaan dengan lawan politiknyaBagaimana dengan presiden terpilih 8 Juli 2009 ini, yang justru hidup di era reformasi dan demokratisasi? Elok jugalah direnungkan
***
Politik sesungguhnya hanya alat, di antaranya partai politikPemilu dan Pilpres pun hanya sarana bagi terwujudnya demokrasiPolitik, partai, Pemilu dan Pilpres bukanlah tujuan akhirDi atas segala-galanya masih ada rakyat, kepentingan dan kesejahteraan rakyatJika seorang Capres memenangkan Pilpres, tugasnya belum berakhirBahkan sedang dimulai, yakni ikhtiar untuk membahagiakan rakyat
Saya membayang-bayangkan presiden terpilih akan melakukan ituMula-mulanya, yakni itu tadi: menggabung ketiga visi misi dari tiga pasangan Capres-Cawapres yang ada dalam sebuah rumusan yang sistematis, konseptual, workable, dan konferehensifLalu, presiden dan wakil presiden yang baru mencoba mengakomodasi para menteri dari partai-partai yang Capres-Cawapresnya kalah pada 8 Juli 2009
Seyogianya, partai-partai yang kalah bisa menerimanya dengan jiwa besarToh, fungsi check and balances di DPR terus berjalan, baik oleh fraksi partai-partai yang kalah maupun menang dalam PilpresMisalkan hal itu tercipta, agaknya praktek demokrasi kita telah naik kelas, dan akan selalu naik kelas setiap kali Pemilu dan Pilpres usaiMungkinkah?
BACA ARTIKEL LAINNYA... Engkau Lenyap dalam Angka
Redaktur : Tim Redaksi