jpnn.com, JAKARTA - Peneliti Institute for Criminal Justice Reform atau ICJR Maidina Rahmawati heran dengan munculnya pasal penghinaan presiden di dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang akan disahkan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR.
Sebab, kata Maidana, pasal penghinaan presiden bertentangan dengan putusan yang dibuat Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006. Kala itu, lanjut dia, MK menyatakan pasal penghinaan presiden sudah tidak relevan untuk masyarakat demokratis.
BACA JUGA: Imparsial Anggap RKUHP Mengancam Kebebasan Sipil
"Kalau lihat di putusannya, dalam pertimbangannya, hakim MK bilang, pasal penghinaan presiden atau pun pasal yang mirip dengan itu, tidak boleh ada di reformasi hukum pidana Indonesia. Itu MK sudah berbicara seperti itu," ucap Maidana ditemui setelah menghadiri sebuah diskusi di kantor Indonesia Corruption Watch atau ICW, Jakarta Selatan, Jumat (20/9).
Mengacu putusan MK tersebut, terang dia, upaya memodifikasi pasal penghinaan presiden tidak bisa lagi diterima. Termasuk upaya DPR yang memodifikasi pasal penghinaan presiden dengan masuk kategori delik aduan.
BACA JUGA: PSI: Pasal Pidana Korporasi di RKUHP Bertentangan dengan Visi Jokowi
"Kalau sekarang perumus RKUHP memodifikasinya dengan delik aduan, tidak menghilangkan sifat pidananya. Itu kami lihat pasal yang mirip dengan penghinaan presiden," terang dia.
Menurut dia, memunculkan kembali pasal penghinaan presiden sama saja bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. Terlebih MK sudah menyatakan secara tegas penolakan atas pasal tersebut.
BACA JUGA: Jokowi Tolak 14 Pasal di RKUHP
"Maka sebanarnya membangkang dari konstitusi. Sebab, akhirnya pertimbangan MK yang menyatakan bahwa pasal penghinaan presiden tidak boleh ada, itu tidak diperhatikan oleh perumus RKUHP," ungkap Maidina.
Dia berharap, Presiden Joko Widodo atau Jokowu mau ambil sikap atas munculnya pasal tersebut. Jokowi diharapkan menolak RKUHP yang tinggal disahkan di dalam Rapat Paripurna DPR. Tanpa persetujuan Jokowi, RKUHP tidak bisa disahkan sebagai peraturan.
"Ya, kami menunggu langkah nyata dari presiden. Kalau DPR, kan, seluruh fraksi sepakat. Tidak ada yang menolak," timpal dia.
Sebagai informasi, muncul pasal penghinaan penghinaan terhadap presiden dalam RKUHP yang akan disahkan DPR RI. Ketentuan itu seperti tertuang dalam Pasal 218 ayat 1 RKUHP yang menyatakan, "Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV". (mg10/jpnn)
Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan