Ideal Pendidikan: Kultivasi Individu dan Kebaikan Publik

Oleh: Odemus Bei Witono - Direktur Perkumpulan Strada dan Mahasiswa Doktoral Filsafat STF Driyarkara

Minggu, 04 Agustus 2024 – 16:33 WIB
Direktur Perkumpulan Strada dan Mahasiswa Doktoral Filsafat STF Driyarkara Jakarta Odemus Bei Witono. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Pendidikan di banyak tempat sering kali terjebak oleh tuntutan masyarakat yang beragam dan terkadang bertentangan.

Pada kenyataannya, pendidikan sering kali dibentuk berdasarkan keinginan para orang tua dan pemangku kepentingan yang memiliki berbagai kepentingan.

BACA JUGA: Dampak Zonasi PPDB: Sekolah Swasta Terkikis dan Terpinggirkan

Keadaan ini menciptakan situasi di mana pendidikan hanya berfungsi untuk memenuhi tuntutan publik, yang tentu menimbulkan berbagai persoalan.

Banyak yang beranggapan bahwa pendidikan seharusnya memiliki tujuan lebih mendalam, bukan sekadar memenuhi ekspektasi eksternal, tetapi juga untuk mempersiapkan peserta didik menjadi individu yang berpengetahuan luas dan mampu berpikir kritis.

BACA JUGA: Pengembangan Sensitivitas Spiritual Dalam Pendidikan Modern

Ideal pendidikan menggabungkan pengembangan individu dan kontribusi terhadap kebaikan publik.

Secara umum, pendidikan mengembangkan potensi individu sambil mengajarkan nilai-nilai bermanfaat bagi masyarakat.

BACA JUGA: Perkumpulan Strada: Ziarah 100 Tahun Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

Pendidikan tidak hanya mempersiapkan individu untuk beradaptasi dengan masyarakat yang ada, tetapi juga menginspirasi mereka dapat berkontribusi pada perubahan positif.

Ideal ini menuntut keseimbangan antara aspirasi pribadi dan tanggung jawab sosial, menghasilkan individu mandiri, berbudi pekerti, dan berperan aktif dalam komunitas mereka.

Di dunia, tujuan utama pendidikan sangat jelas yakni membentuk individu yang tidak hanya unggul secara pribadi tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat.

Pendekatan filosofis terhadap sifat manusia, moralitas, dan hubungan antara individu dan sosial mencerminkan ketegangan dan integrasi antara kesempurnaan individu dan kebaikan publik. Ide pendidikan humanis Barat berfokus pada masalah ini.

Platon (dalam Jiahong, 2012), misalnya, melalui kajian filosofi mengusulkan pendidikan dua tahap: pertama, konversi jiwa menuju ideal kebaikan, dan kedua, kembali ke "gua" untuk kebaikan publik.

Filsuf-filsuf seperti Rousseau, Wollstonecraft, Dewey, dan Freire telah mengembangkan tradisi klasik untuk menanggapi realitas sejarah mereka sendiri.

Kebaikan publik, awalnya bersifat umum kini lebih spesifik, terutama dalam membantu kelompok-kelompok yang kurang beruntung.

Dengan demikian, transformasi dari kebaikan individu menjadi kebaikan publik merupakan perpanjangan dari subjektivitas ke inter-subjektivitas.

Esensi dari ideal pendidikan humanis Barat tetap sama: berfokus pada pengembangan individu dan rekonstruksi kebaikan publik.

Di antara filsuf-filsuf Pencerahan, Rousseau dikenal sebagai tokoh yang tidak banyak menciptakan hal baru, tetapi berhasil menggugah pemikiran masyarakat.

Dia menekankan perlunya memutuskan hubungan dengan masa kini yang dianggap korup dan bertentangan dengan sifat anak-anak.

Bagi Rousseau (1989), manusia adalah sebuah kontradiksi: dilahirkan dengan kebebasan, tetapi belum berkembang dengan baik; masyarakat seharusnya membantu mengembangkan dan menyempurnakan sifat itu, tetapi masyarakat juga menciptakan ketidaksetaraan dan kemerosotan moral.

Menurut Rousseau (dalam Jiahong, 2012), pendidikan seharusnya bertujuan untuk kehidupan, pengembangan manusia, dan bukan membuat individu ‘beradab’ agar sesuai dengan masyarakat yang ada.

Hal tersebut menantang kita agar memikirkan ulang apa itu pendidikan yang tepat, dan benar-benar humanis, bagi para peserta didik.

Rousseau mengkritik kemajuan budaya obsesif, pengetahuan ensiklopedis, pendidikan otoriter, dan pengejaran status sosial yang dia pandang sebagai penyebab keburukan masyarakat dan alienasi individu.

Sebagai gantinya, dia mengusulkan konsep kehidupan yang baik dengan menekankan kebaikan pada kecenderungan alami manusia dan pengembangan diri yang mandiri serta otentisitas pribadi.

Rousseau (dalam Jiahong, 2012) juga menggarisbawahi perbedaan antara pendidikan yang mengembangkan manusia seutuhnya dan pendidikan bagi kewarganegaraan.

Setiap individu, menurutnya, dilahirkan dengan temperamen berbeda. Sistem sosial yang baik akan membantu individu mengembangkan sifat alamiah dan mengintegrasikannya ke dalam komunitas.

Rousseau menekankan pendidikan moral, yaitu mendidik individu agar berbudi pekerti luhur. "Manusia, jadilah manusiawi, ini adalah tugas pertama Anda," katanya.

Pendidikan menurut Rousseau (dalam Jiahong, 2012) memiliki dimensi internal dan eksternal. Secara internal, pendidikan bertujuan mengembangkan bakat dan kemampuan individu, mewujudkan keunikan dan kemandirian.

Secara eksternal, setiap individu harus mengembangkan kebajikan sosial dan dilatih agar menjadi warga negara yang berpartisipasi aktif dalam kehidupan bermasyarakat.

Sebagai catatan akhir, pendidikan humanis Barat, dari Platon hingga Rousseau, menekankan pentingnya pengembangan individu sekaligus kontribusi bagi kebaikan publik.

Di tengah perubahan zaman, esensi dari pendidikan ini tetap relevan: menghasilkan individu unggul dan bermoral dalam membangun masyarakat lebih baik.

Pendidikan tidak hanya untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang ada, tetapi juga mengembangkan potensi manusia secara penuh dan otentik. Inilah ideal pendidikan yang seharusnya kita perjuangkan: kultivasi individu yang tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga bagi kebaikan bersama.(***)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler