jpnn.com - JAKARTA – Pemerintah memutuskan Hari Raya Iduladha (10 Zulhijah) 1435 H jatuh pada Minggu, 5 Oktober. Keputusan tersebut diambil setelah digelar sidang isbat yang mengumpulkan hasil rukyatulhilal (pemantauan bulan) di 70 titik seluruh Indonesia. Hasil pemantauan menyatakan hilaltidak terlihat.
Dengan keluarnya keputusan versi pemerintah tersebut, Iduladha tahun ini berlangsung tidak serentak. Sebelumnya Muhammadiyah mengeluarkan maklumat penetapan hari-hari besar Islam. Ormas Islam tersebut menetapkan Iduladha pada Sabtu, 4 Oktober.
BACA JUGA: Panselnas Pastikan Verifikasi Semua Pengaduan Pelamar CPNS
Sidang isbat tadi malam (24/9) berlangsung cukup lama. Wakil Menteri Agama (Wamenag) Nasaruddin Umar mengakui bahwa sidang isbat penetapan 1 Zulhijah semalam berlangsung lebih lama daripada sidang isbat penetapan 1 Ramadan atau 1 Syawal lalu.
Dia menuturkan, ada dua alasan sidang isbat tadi malam berlangsung lama. ’’Bukan terkait karena ada perbedaan,’’ tandas Nasaruddin. Sidang isbat semalam berlangsung lama –lebih dari sejam– karena hasilnya tidak terlalu ditunggu-tunggu masyarakat. Berbeda dengan sidang isbat penetapan 1 Ramadan (sebagai acuan salat Tarawih) atau penetapan 1 Syawal (sebagai acuan malam takbiran).
BACA JUGA: UU Jaminan Produk Halal Perluas Peran MUI
’’Sidang isbat malam ini memang untuk acuan Iduladha. Tetapi, Iduladha berlangsung nanti, 5 Oktober,’’ jelasnya.
Alasan kedua adalah adanya kesempatan pertemuan banyak ormas. Nasaruddin menuturkan, sayang jika forum yang baik seperti sidang isbat itu disia-siakan begitu saja. Dia menuturkan, dalam sidang isbat tersebut terjadi dialog untuk mencari titik temu kriteria penetapan hari-hari besar agama Islam ke depan.
BACA JUGA: Pilkada Langsung Rp 18 T, Dana Rapat 34 Kementerian Rp 20 T
Terkait dengan perbedaan penetapan Iduladha, Nasaruddin menjelaskan, implikasinya tidak sebesar atau serumit ketika ada perbedaan awal Ramadan atau Idul Fitri. Meski begitu, Nasaruddin mengakui, masyarakat muslim Indonesia mengidamkan kekompakan. Termasuk ketika ada penetapan hari-hari besar agama Islam.
Namun, Nasaruddin bersyukur, meski menginginkan kekompakan, masyarakat sudah mulai menerima perbedaan seperti penetapan Iduladha tersebut. Kemenag berharap masyarakat tidak saling mengolok-olok atas perbedaan itu. Menurut Nasaruddin, penetapan hari-hari besar dilandasi pada keyakinan masing-masing umat Islam.
Nasaruddin menjelaskan, dampak perbedaan penetapan Iduladha yang berpotensi menimbulkan polemik adalah penetapan yaumul Arafahatau hari jamaah haji wukuf di Padang Arafah. Pemerintah Arab Saudi sudah menetapkan bahwa yaumul Arafahjatuh pada Jumat, 3 Oktober. Saat itu umat Islam yang tidak berhaji disunahkan melaksanakan puasa Arafah.
Ketika Iduladha masyarakat Indonesia merujuk pada ketetapan pemerintah, yakni 5 Oktober, puasa Arafah jatuh pada Sabtu, 4 Oktober. Saat disambungkan dengan kondisi di Arab Saudi, jamaah haji di sana pada 4 Oktober sudah menjalankan Iduladha. Dengan demikian, puasa Arafah yang umumnya dilaksanakan ketika jamaah haji menjalankan wukuf tidak lagi cocok.
Soal itu, Nasaruddin menuturkan, kondisi Saudi dan Indonesia tentu tidak bisa disamakan dalam penetapan sidang isbat. Dia menjelaskan, Indonesia sudah tergabung dalam komunitas Majelis Agama Brunei Darussalam, Indonesia, dan Malaysia (MABIM).
Dalam komunitas itu, disepakati bahwa penetapan bulan baru dalam kalender Islam merujuk pada sistem imkanur rukyah. Dalam sistem tersebut, bulan dikatakan sudah berganti jika posisi hilal minimal 2 derajat di atas ufuk. Sementara itu, kondisi tadi malam, posisi hilal masih sekitar 0,63 derajat di atas ufuk.
Karena saat pengamatan kemarin, 24 September, posisi hilal tidak sampai 2 derajat di atas ufuk, diambil kebijakan istikmal. Yaitu, menggenapkan jumlah hari dalam bulan Zulkaidah menjadi 30. Dengan demikian, 1 Zulhijah baru jatuh pada Jumat, 26 September. Artinya, Iduladha (10 Zulhijah) jatuh pada 5 Oktober.
Ketua PP Muhammadiyah Yanuhar Ilyas mengatakan, pemerintah bersama ormas lain sepakat akan mencari titik temu untuk menyamakan kriteria penetapan hari-hari besar Islam. ’’Sekarang memang masih ada perbedaan kriterianya,’’ ujar dia.
Muhammadiyah dalam menentukan hari-hari besar Islam merujuk pada sistem wujudul hilal. Sistem itu dilakukan dengan hisab. Intinya, bulan dalam kalender Islam sudah berganti ketika hilal sudah di atas ufuk, berapa pun derajatnya. ”Misalnya, hari ini (kemarin, Red) hilal sudah ada di atas ufuk meski 0,63 derajat,” jelas dia. Sebaliknya, pemerintah menggunakan sistem imkanur rukyah. (wan/c10/end)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Soal Kemiskinan dan BBM, Indonesia Harus Berkaca pada Malaysia
Redaktur : Tim Redaksi