JAKARTA - Praktik hostile take over (akuisisi paksa) di arena pasar modal terbuka lebarItu menyusul membeludaknya emiten masuk barisan murah (undervalued) di tengah sentimen menguatnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
BACA JUGA: Citibank Bobol, DPK Bank Lokal Aman
Karena itu, regulator harus bertindak taktis untuk menyelamatkan posisi investorEmiten-emiten di bawah bayang-bayang hostile take over itu biasanya memiliki nilai kapitalisasi pasar lebih rendah dibanding total aset yang dimilikinya
BACA JUGA: Pegadaian Naikkan Kucuran Kredit, Tekan NPL
Mereka menjadi bidikan emiten besar sebagai jujukan akuisisiBACA JUGA: Pemerintah Tak Mau Campuri BNI
Dengan rasio aset berbanding kapitalisasi pasar sebesar 8,15 kali menunjukkan setiap satu rupiah dana investor untuk berinvestasi saham itu mendapat pengembalian dalam bentuk aset delapan kali lipat.Dan, jika perbandingan dibalik maka total aset emiten SMDR hanya dihargai sebesar 12,27 persen dari nilai nominalPerusahaan berkemampuan finansial besar akan dengan sangat mudah dan tertarik untuk mengakuisisi perusahaan seperti ini dengan cara mengeksekusi mayoritas sahamnya.
Rendahnya nilai kapitalisasi pasar berbanding total aset serta nilai kas yang dimiliki suatu emiten tentu menjadi daya tarik”Sejauh ini masih tergantung emiten masing-masingTetapi semestinya ini sudah diatur Undang Undang Pasar Modal,” tutur Isakayoga, Direktur Eksekutif Asosiasi Emiten Indonesia, di Jakarta, Senin (11/4)
Makanya sambung Isa -sapaan Isakayoga-, regulator harus berperan aktifItu karena praktik ini menyangkut kepentingan investor”Jadi ini bisa berpengaruh kepada haknya share holderSaya kira juga sudah diatur di Undang Undang Perseroan,” imbuhnya.
Sementara Haryajid Ramelan, Ketua Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI), menyebutkan emiten besar memang banyak yang membidik emiten dengan aset lebih besar dari kapitalisasi pasarMeski begitu, antara kapitalisasi pasar dengan total aset merupakan dua sisi berbeda”Selama ini memang kepemilikan aset akan diwakili dari kepemilikan saham,” tukasnya.
Jika skema hostile take over dilakukan maka dengan mengeluarkan dana sebesar harga sahamnya, investor bisa langsung mendapatkan keuntungan berupa total aset yang nilainya lebih tinggi itu termasuk juga menanggung total utang yang dimiliki perusahaan terakuisisi.
Berkaca pada pengalaman 1998 lalu, lanjut Haryajid, ada beberapa perusahaan yang juga memiliki nilai aset jauh melebihi kapitalisasi pasarnyaNamun, saat itu mayoritas perusahaan memiliki banyak utang di dalam fundamental perusahaannya yang melebihi total aset”Sehingga saat perusahaan lain mengakuisisi perusahaan itu maka akan mendapatkan seluruh utang-utangnyaArtinya akuisisi yang dilakukan bisa merugikan,” jelasnya.
Direktur Investment Banking OSK Nusadana Securities, Mardi Sutanto, menyarankan agar patokan akuisisi sebaiknya bukan pada total aset melainkan ekuitas”Jika hanya mengandalkan kepada total aset dan ternyata perusahaan tersebut memiliki utang yang besar, maka total ekuitas si perusahaan itu tidak terlalu signifikan,” tuturnya.
Pada tahun 1998 lalu, saat mata uang USD mengalami kenaikan ratusan kali lipat, mayoritas perusahaan saat itu mengalami penambahan utang secara signifikan dan melebihi ekuitas perusahaan, terutama emiten yang memiliki utang dengan kurs dolar(far)
BACA ARTIKEL LAINNYA... BNI Sediakan KPA The Rich Prada
Redaktur : Tim Redaksi