IJRS Berharap Terdakwa Asabri Terhindar dari Hukuman Mati

Minggu, 16 Januari 2022 – 20:06 WIB
Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) Heru Hidayat saat hendak memasuki mobil tahanan Kejagung, Selasa (14/1). Foto: Antara/Anita Permata Dewi

jpnn.com, JAKARTA - Indonesia Judicial Research Society (IJRS) meminta Majelis Hakim agar tidak memvonis mati terdakwa kasus dugaan korupsi PT Asabri Heru Hidayat.

IJRS menilai tuntutan hukuman mati terhadap Heru tidak tepat baik dari segi prinsip dan yuridis.

BACA JUGA: Megakorupsi ASABRI, Kejagung Seret Adik Benny Tjokro ke Pengadilan

Direktur IJRS Dio Ashar Wicaksana menilai tuntutan hukuman mati terhadap Heru tidak bisa diterapkan secara prinsip dan yuridis-positivis.

Hakim, kata dia, terikat pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

BACA JUGA: Pakar Mengapresiasi Pandangan Hakim Soal Kerugian Negara di Kasus Asabri

“Harapannya, Hakim menjatuhkan vonis sesuai Perma Nomor 1 Tahun 2020 itu saja. Kalau hukuman mati dalam kasus Asabri ini, tidak masuk jika hakim merujuk betul pada Perma Nomor 1 Tahun 2020,” kata Dio saat dihubungi, Minggu (16/1).

Menurut Dio, kejahatan korupsi pada kasus Asabri di luar kategori tindak pidana dalam keadaan tertentu sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor dengan ancaman hukuman mati.

BACA JUGA: Dissenting Opinion Kasus Asabri Bagai Oase dalam Pemberantasan Korupsi

Keadaan tertentu tersebut adalah bencana nasional, kondisi krisis ekonomi-moneter dan pengulangan tindak pidana

“Kalau mengikuti pedoman Perma Nomor 1 Tahun 2020, kasus Asabri tidak masuk dalam kondisi tertentu. Walaupun hakim bisa menyimpangi pedoman tersebut, tetapi syarat ketat,” kata Dio.

Selain itu, kata Dio, secara prinsip hukuman mati tidak relevan karena tidak berdampak pada penurunan angka kriminal atau tindak pidana.

Menurut dia, hukuman mati tidak akan memberikan efek jera kapada pelaku tindak pidana korupsi.

“Kalau korupsi, sebenarnya yang menjadi hal utama adalah kerugian negara akibat tindakan korupsi itu. Seharusnya yang paling penting menurut saya, kejar asetnya atau bagaimana kerugian negara yang terjadi akibat perbuatan itu bisa kembali ke negara lagi,” tandas Dio.

Sebelumnya, The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) membuat laporan terkait kebijakan hukuman mati 2020 “Mencabut Nyawa di Masa Pandemi” yang dikeluarkan pada Oktober 2020.

Dalam laporan tersebut ICJR telah menekankan bagaimana penjatuhan hukuman mati sama sekali tidak mempunyai dampak positif terhadap pemberantasan korupsi di suatu negara.

Hal ini terbukti berdasarkan data Indeks Persepsi Korupsi (IPK) pada 2019, negara-negara yang menduduki peringkat puncak atas keberhasilannya menekan angka korupsi sama sekali tidak memberlakukan pidana mati, seperti Denmark, Selandia Baru, dan Finlandia.

Kemudian Singapura yang juga tidak menerapkan hukuman mati untuk kasus korupsi, tetapi menduduki ranking IPK tertinggi di kawasan Asia Tenggara.

Sebaliknya, negara-negara yang masih menerapkan pidana mati termasuk untuk kasus korupsi malah memiliki nilai IPK yang rendah dan berada di ranking bawah termasuk Indonesia (peringkat 85), Cina (80), dan Iran (146). (tan/jpnn)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur : Adil
Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler