jpnn.com, JAKARTA - Pakar Hukum Pidana Prof Mudzakkir mengapresiasi dissenting opinion Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta terkait kerugian negara dalam kasus Asabri.
Majelis Hakim berpendapat bahwa perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus Asabri sebesar Rp 22 triliun tidak tepat dan tidak terbukti.
BACA JUGA: Dissenting Opinion Hakim soal Kasus Asabri, Kerugian Negara Tak Terbukti
Hakim memandang penghitungan kerugian negara kasus PT Asabri tidak berdasarkan pada kerugian faktual.
Pakar dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menyatakan kerugian keuangan negara dalam perkara korupsi haruslah faktual.
BACA JUGA: Lebih Dekat dengan AKBP Fitria, Polwan Pertama Menjabat Kapolres di Jambi
Mudzakkir menilai tidak elok kerugian negara dihitung dalam konteks potensi.
“Kalau dessenting opinion hakim tersebut menilai dan menyimpulkan bahwa penghitungan BPK tersebut tidak mendasarkan pada kerugian faktual atau riil," kata Mudzakkir, Rabu (5/1).
BACA JUGA: Bikin Malu Polri, Aiptu Wayan Putra Dipecat tidak dengan Hormat
"Hal itu juga bisa buktikan kekeliruan metode perhitungan kerugian keuangan negara dalam perkara tipikor, berarti dessenting opinion tersebut dinilai sebagai sikap yang tepat dan sesuai dengan putusan MK."
Mudzakkir menilai hakim harus berani nenyatakan kebenaran dan kesalahan, termasuk dalam perkara korupsi.
Dia menyatakan independensi hakim dijamin oleh konstitusi.
“Kalau menilai ada kekeliruan dalam metode penghitungan dan menyuarakan yang benar adalah benar, yang salah adalah salah, meskipun perkara korupsi. Sikap dan pandangan independensi hakim atau kemerdekaan dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman (merupakan) amanat Pasal 24 UUD RI 1945,” jelas dia.
Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 mencabut frasa ‘dapat’ dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Putusan MK itu menafsirkan bahwa frasa "dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara yang nyata (actual loss), bukan perkiraan kerugian keuangan negara (potential loss).
Oleh karena itu, Mudzakkir menyatakan hakim harus mengikuti putusan MK itu.
“Jika hakim tidak mengikuti isi diktum putusan MK, berarti mengabaikan isi diktum putusan MK, yang berarti hakim yang bersangkutan menggunakan kekuasaan kehakiman yang tidak sesuai dengan amanat Pasal 24 UUD RI 1945,” pungkas Mudzakkir.
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menilai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam menghitung kerugian negara sebesar Rp 22,788 triliun akibat kasus dugaan korupsi PT Asabri tidak tepat, tidak terbukti, dan mendasar.
Hakim memandang BPK dan ahli tidak konsisten ketika melakukan perhitungan kerugian negara.
“Perhitungan kerugian keuangan negara oleh BPK tidak punya dasar yang jelas dan tidak memenuhi kerugian negara yang nyata dan pasti, sehingga (kerugian) Rp 22 triliun tidak berdasar dan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan,” ujar Hakim Anggota Mulyono Dwi Purwanto menyampaikan dissenting opinion atau berbeda pendapat dalam memutus empat terdakwa kasus Asabri di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (4/1) malam. (tan/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
BACA ARTIKEL LAINNYA... MR dan IL Sudah Digulung, Terima Kasih, Pak Polisi
Redaktur : Rasyid Ridha
Reporter : Fathan Sinaga