Seorang pemuda berdiri di pantai, menatap laut.

Di belakangnya terdapat segala yang ia ketahui – negaranya, keluarganya, dan ritme kehidupan di sebuah pulau kecil yang terpencil.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Selebriti Sandra Dewi Diperiksa Kejagung

Di depannya? Cakrawala kabur, dan kapal asing hendak berlayar melewatinya.

Saat pasang mulai turun, ia harus mengambil keputusan besar.

BACA JUGA: Maraknya Perang Takjil di Bulan Ramadan, Pelajaran Apa yang Bisa Diambil untuk Toleransi?

Tak lama kemudian, ia berada di atas kapal, angin menerpa rambut hitam keritingnya, dalam pelayaran internasional bersejarah yang dilakukan untuk pertama kalinya dalam lebih dari 150 tahun terakhir.

Ini adalah kisah tentang sakit hati, cinta yang hilang, dan keluarga yang terpecah.

BACA JUGA: Warga Non-Muslim Ikut Berpuasa di Bulan Ramadan Sebagai Bentuk Solidaritas Untuk Palestina

Namun ini juga adalah kisah yang meluas, menyoroti masa yang tidak banyak diketahui dalam sejarah benua Australia, ketika gelombang pertama perjalanan internasional menciptakan cerita romansa dan hubungan lintas budaya.

"Pria di foto itu adalah Dirrikaya, dan ia adalah kakek buyut saya," kata Sylvia Tkac.

"Ia pergi ke luar negeri dan punya keluarga yang belum pernah kami temui—dan ia bukan satu-satunya.

"Ini seperti kisah cinta — yang gila."

PERINGATAN: Artikel ini memuat gambar orang yang telah meninggal.Misteri sebuah foto

Identitas Dirrikaya menguak kembali misteri sejarah usai penemuan kumpulan foto hitam putih dalam koleksi museum Italia pada tahun 2011.

Potret tersebut diambil di kota pelabuhan Makassar di Indonesia pada tahun 1870-an dan memperlihatkan sekelompok masyarakat Pribumi dari Australia — termasuk seorang anak kecil.

Foto ini memunculkan banyak pertanyaan.

Siapakah pemuda-pemuda tersebut, bagaimana mereka bisa sampai ke Asia Tenggara, dan berapa banyak orang Aborigin yang pindah ke luar negeri sebelum masa penjajahan Inggris?

Sylvia sedang berada di rumahnya di Groote Eylandt, pantai utara terpencil Australia ketika pertama kali melihat foto-foto tersebut disiarkan di ABC News pada awal tahun 2023.

"Sepupu saya, Amos, menelepon dan bilang, 'Tahu enggak? Foto-foto di ABC itu adalah kakek buyut kita, Dirrikaya.'

"Saya sangat terkejut!" ujarnya.

"Dan ia mulai bercerita tentang bagaimana nenek moyang kami berlayar ke Indonesia bersama para nelayan lain."

Sulit untuk membuktikan tanpa keraguan bahwa pria dalam foto tersebut adalah Dirrikaya.

Namun pihak keluarganya mengatakan bahwa ciri-ciri tubuh, kemiripan fisik, dan riwayat lisannya mendukung.Siapa itu Dirrikaya?

Menurut cerita keluarga, Dirrikaya masih remaja ketika membuat keputusan penting untuk berlayar ke luar negeri.

Ia adalah seorang pria Anindilyakwa, yang memiliki bekas luka yang tergores di dagingnya pada upacara kedewasaan.

"Luka itu, hanya laki-laki yang memilikinya, bukan perempuan," jelas sang cicit, Amos Wurramarrba.

"Ia nampaknya adalah seseorang yang berbudaya kental."

Nenek moyang Dirrikaya diyakini telah tinggal di kepulauan mereka selama ribuan tahun sebelum orang Makassar tiba.

Negeri Anindilyakwa mencakup beberapa pulau di tepi timur Arnhem Land, hanya 600 kilometer dari kepulauan Indonesia.

Pada tahun 1600-an dan 1700-an, ketika perdagangan rempah-rempah dan makanan laut meningkat di kawasan Asia-Pasifik, banyak hal mulai berubah bagi suku-suku di pesisir utara.

Gelombang awak kapal nelayan asal Asia dari Makassar — pelabuhan yang dikelola Belanda di pulau Sulawesi bagian timur Indonesia — mulai berdatangan.

Berlayar ke selatan mengikuti angin pasat, mereka mendirikan tempat di pantai selama berbulan-bulan untuk memanen teripang dalam skala industri.

Tampaknya mereka disambut dengan hati-hati oleh suku Aborigin setempat yang mengakui adanya kesepakatan yang saling menguntungkan.

"Kami memberi izin kepada masyarakat Makassar untuk mendapatkan mutiara dan teripang, dan sebagai imbalannya, mereka berdagang kain, beras, pisau, dan kail," jelas Sylvia.

Selama beberapa dekade, kunjungan mereka menjadi lebih teratur.

Kata-kata Bahasa Indonesia dimasukkan ke dalam dialek lokal, dan kedatangan perahu Makassar menjadi inspirasi tarian upacara, sementara seni cadas masih tersebar di gua-gua dan tebing.

Kisah cinta bersemi antara para nelayan yang berkunjung dan perempuan setempat, hingga lahirlah bayi dan terbentuk silsilah keluarga lintas budaya yang kompleks.

Lalu, masyarakat Aborigin mulai pindah ke luar negeri bersama para nelayan yang berkunjung.

Di antaranya adalah Dirrikaya.'Ia ingin berpetualang'

Diduga laki-laki dan perempuan yang berlayar dengan perahu tersebut melakukannya secara sukarela.

"Bayangkan – Anda berada di pulau terpencil ini, dan Anda ditawari kesempatan untuk berlayar jauh – menurut saya ia pasti mau pergi," kata Sylvia.

"Menurut saya Dirrikaya ingin berpetualang."

Amos setuju.

"Senang rasanya berada di sini, mengikuti jejak kaki kakek buyut saya," katanya sambil memandang ke seberang teluk yang beriak diterpa angin dari tempat Dirrikaya berangkat.

"Menurut saya, ia dan orang-orang lain yang pergi bersamanya mencari kebahagiaan dan ingin jalan-jalan.

"Tetapi masalahnya Dirrikaya tidak memberi tahu keluarganya ke mana ia pergi, jadi mereka mengira ia pasti sudah meninggal dan meratapinya."

Menurut sejarah lisan, ada empat orang Anindilyakwa berlayar bersama awak kapal asing.

Tak lama kemudian, kapal merapat di kota pelabuhan Makassar yang ramai.Petunjuk yang terkubur dokumen sejarah

Tidak banyak yang tahu tentang masa ketika Dirrikaya berada di Indonesia.

Namun semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa sejumlah besar orang Aborigin tinggal di sana pada saat itu.

Pada tahun 1824 gubernur jenderal Belanda menulis dalam jurnalnya tentang bagaimana ia melihat orang Aborigin dari Australia berjalan di salah satu ruas jalan.

"Mereka sangat hitam, bertubuh tinggi, dengan rambut keriting, kaki panjang kurus, dan, secara umum, berbadan tegap."

Namun foto hitam putih tersebut adalah satu-satunya bukti visual yang menunjukkan keberadaan mereka selama periode ini.

Potret studio ini diambil di Makassar pada tahun 1873 oleh naturalis Italia, Odoardo Beccari.

Saat itu Odoardo sedang melakukan perjalanan melalui Asia Tenggara, mendokumentasikan perpaduan masyarakat dan budaya yang ia temui.

Pada tahun yang sama saat mengambil foto tersebut, Odoardo menulis dalam jurnalnya:

"Ke Makassar, datanglah beberapa [perahu] setiap tahun dari Australia bagian utara… dan Penduduk Asli Australia tidak jarang di Makassar, Anda bisa melihat mereka beraktivitas di jalanan."

Foto-foto ini terkubur dalam arsip Museum Pigorini di Roma hingga tahun 2011, sebelum ditemukan oleh Profesor Jane Lydon dari University of Western Australia.

Ini adalah bukti sejarah yang sangat berharga, menurut Profesor Lynette Russell dari Monash University.

Ia memimpin proyek penelitian internasional bernama Global Encounters, yang menyelidiki kontak awal di benua Australia.

"Ini adalah cerita yang tidak diketahui banyak orang, namun tidak diragukan lagi masyarakat Aborigin datang ke Makassar, lalu tinggal, serta berkeluarga," katanya.

"Beberapa dari mereka kembali ke Australia, namun yang lainnya tidak.

"Saya menduga skala pergerakan ini mungkin lebih besar dari apa yang kami duga sebelumnya."

Skenario ini menantang kisah asal usul nasional Australia,  sebagai benua yang dihuni oleh orang-orang yang terkunci di daratan dan hidup terisolasi selama puluhan ribu tahun.

Profesor Lynette — yang juga merupakan keturunan Wotjobaluk — mengatakan bahwa migrasi ke utara menggambarkan lebih dari sekadar berpetualang.

"Saya rasa masyarakat Aborigin yang memutuskan bergabung dengan armada Makassar menunjukkan kewirausahaan yang luar biasa," kenangnya.

"Jelas ada juga jaringan persahabatan dan hubungan yang berkembang.

"Menurut saya kemungkinan besar ada keturunan Aborigin di Makassar, dan keturunan pelaut Makassar di Australia."Hubungan keluarga yang hilang

Berdasarkan riwayat keluarga, Dirrikaya tinggal di Indonesia selama beberapa tahun dan memiliki seorang istri serta anak.

Namun daya tarik kampung halamannya terbukti terlalu kuat.

"Ia memutuskan untuk pulang dan melihat negaranya lagi dan orangtuanya… jadi dia berlayar kembali ke Australia," jelas Sylvia.

Itu adalah reuni yang mengundang air mata. Dirrikaya kembali saat dikira sudah meninggal, dan menceritakan kisah-kisah aneh tentang negeri yang sangat jauh.

Tapi ada satu hal yang berubah.

"Ia punya dua gigi emas!" ungkap Sylvia.

"Gigi itu berkilauan di bawah sinar matahari. Keluarganya tidak dapat mempercayainya."

Namun bagi Dirrikaya, di tengah kegembiraannya, ada kesedihan.

Ia telah meninggalkan istri dan anak-anaknya di seberang lautan.

"Ia berharap mereka akan datang menemuinya di kapal Makassar," jelas Sylvia.

"Tetapi setiap tahunnya ketika ia menanti kapal itu datang, istri serta anak-anaknya tidak pernah ada di sana… dan ia menangisi mereka."

Beberapa tahun kemudian muncul keputusan yang menutup kemungkinan adanya kontak.

Ketika pemukiman Inggris meluas ke seluruh Australia utara, resistensi terhadap pengunjung asing meningkat, dan pihak berwenang Australia menutup perdagangan teripang Asia pada tahun 1907.

"Sangat menyedihkan bagi orang-orang tua kami," kata Amos.

"Mereka tidak mengerti apa yang sedang terjadi dan mengapa orang Indonesia berhenti datang."

"Banyak keluarga yang tercerai-berai."

Dirrikaya kemudian memiliki seorang istri dan anak di rumahnya di Groote Eylandt, namun ia tidak pernah melupakan keluarganya di Makassar.

Keluarga Wurramarrba kini menjalankan misi untuk mencoba mencari keberadaan keturunan Dirrikaya di Indonesia.

"Mereka adalah keluarga kami," ujar Sylvia sambil merenung.

"Siapa mereka, di mana mereka— saya ingin bertemu mereka."

Dan mereka tidak sendirian.Di seberang lautan, ada keluarga yang mencari

Kawasan pelabuhan bersejarah Makassar sangat berbeda dari Groote Eylandt, seperti yang bisa dibayangkan.

Sebuah masjid menjulang di atas air yang berkilauan.

Di jalan belakang Pantai Losari yang ramai, para pedagang memadati trotoar, berlomba-lomba menjual rokok dan biskuit manis.

Inilah titik di mana keluarga Aborigin dari wilayah selatan yang luas turun dari perahu nelayan dan mengamati pemandangan.

Profesor Lynette berjalan-jalan di jalan kecil di belakang tepi pantai.

"Ini pasti merupakan pengalaman yang luar biasa bagi mereka," ujarnya kagum.

"Berada di tempat baru ini, penuh dengan bahasa, makanan, dan aroma yang berbeda – menurut saya ini adalah perasaan universal, keinginan untuk berpetualang dan berada di luar zona nyaman."

Ada laporan mengenai laki-laki Aborigin yang tinggal di rumah-rumah di daerah tersebut sebagai pegawai terpercaya dari kapten kapal penangkap ikan yang kaya.

Dan terkubur di jalanan yang sibuk adalah sebuah keluarga dengan kisah hidup luar biasa mereka yang menanti untuk diceritakan.

Kaharuddin Lewa, yang akrab disapa Pak Kahar, dan keluarganya juga sedang mencari kerabat yang telah lama hilang.

Kakek buyutnya adalah seorang kapten nelayan Makassar bernama Using Daeng Rangka, yang memiliki istri dan anak Aborigin selama puluhan tahun berlayar ke Australia.

"Ia menyukai dan menghormati masyarakat Aborigin," ujar Pak Kahar.

"Ia ingin membantu mereka, dan berbagi tentang agama Islamnya kepada mereka."

Keluarganya mengetahui bahwa Kapten Rangka, seorang nelayan teripang berpengalaman pada masa itu, telah puluhan kali melakukan perjalanan ke Australia antara tahun 1855 dan 1907.

Dan terdapat bukti bahwa ia bermitra dengan seorang perempuan Yolngu di Arnhem Land dan memiliki beberapa anak.

Pak Kahar membentangkan peta silsilah yang digambar dengan cermat di meja ruang tamu, sementara rokoknya membara dalam asbak perak di dekatnya.

"Kami menduga mereka memiliki empat anak di Australia – dua laki-laki dan dua perempuan," katanya.

Namun kontak hilang pada awal tahun 1900-an ketika penangkapan ikan dihentikan.

Kini keluarga tersebut ingin mencari kerabatnya di Australia dan bertemu dengan mereka.

"Saya sangat ingin bertemu dengan mereka, untuk melengkapi silsilah keluarga dengan keluarga Aborigin saya," kata Pak Kahar.

"Saya akan menyambut mereka dengan sukacita dan kebahagiaan, dan mengumpulkan semua orang.

"Saya ingin mengenal mereka lebih dekat, sehingga ikatan keluarga kami semakin kuat dari generasi ke generasi."

Situasi mereka adalah cerminan dari keluarga Wurramarrba di daerah terpencil di utara Australia.

Dua keluarga, yang garis keturunannya terputus oleh lautan dan sejarah, sangat ingin bertemu kembali dengan kerabatnya sebelum pengetahuan tentang apa yang terjadi di pantai utara terpencil itu hilang selamanya.

Kaitan fisik dengan era tersebut rapuh dan hilang.

Setiap tahunnya, kuburan kapten kapal teripang Makassar hancur, sementara rumah salah satu kapten kapal bersejarah — yang dikabarkan terbuat dari kayu Australia — baru-baru ini dibongkar.Rekaman suara langka terkuak

Tidak ada catatan tertulis tentang kepergian Dirrikaya dan kembalinya Dirrikaya — kisah ini diturunkan dari mulut ke mulut selama empat generasi keluarga Wurramarrba.

Namun baru-baru ini ditemukan rekaman audio langka dari lebih dari setengah abad yang lalu.

Isinya kisah Dirrikaya yang diceritakan oleh putra sulungnya Charlie Galiawa Wurramarrba.

Sylvia memutar rekaman itu untuk ibunya yang berusia 78 tahun, Margaret, yang merupakan putri Charlie.

Hidupkan suara untuk menyaksikan momen emosional ketika ibu pemimpin Anindilyakwa mendengar suara ayahnya untuk pertama kalinya sejak ayahnya meninggal pada tahun 1978.

Suara Charlie merdu dan tenang; bak sambungan kabel rapuh yang menghubungkan dua masa.

"Dahulu kala ayah saya menceritakan kisahnya kepada saya," kata lelaki tua itu kepada sang pewawancara.

"Ia pergi ketika masih muda, ketika masih lajang, sebelum dewasa.

"Wanabadi orang Makassar membawanya, membawanya pergi, dan pergi ke negeri mereka.

"Ayah saya pergi selama empat tahun."

Rekaman ini penting karena membantu memverifikasi keakuratan narasi yang diwariskan selama beberapa generasi.Mencari jejak Dirrikaya

Amos telah membawa keluarganya ke pantai terpencil dalam misi yang tidak biasa — mencoba menemukan jenazah Dirrikaya.

Sepulang dari petualangannya di luar negeri, Dirrikaya menikah dengan seorang perempuan lokal dan memiliki beberapa orang anak.

Ia meninggal dan dimakamkan di pantai di sepanjang tepi barat Groote Eylandt.

Pihak keluarga yakin bahwa gigi emas yang ditanamnya di Makassar dikuburkan bersamanya.

Mungkinkah itu menjadi bukti fisik terakhir dan satu-satunya dari perjalanannya?

"Saat meninggal, jenazahnya dipajang di pohon dan dikeringkan," jelas Amos.

"Kemudian tulang-tulang itu dibungkus dengan kulit kertas dan disimpan di tempat yang aman."

Namun situs tepatnya sulit ditemukan. Selama beberapa dekade, lanskap telah berubah dan kenangan telah memudar.

Namun saat berjalan di sepanjang pantai, kerabat terdekat Dirrikaya yang masih hidup – Margaret Wurramarrba – teringat kisah kilas baliknya.

Ia jadi bersemangat saat menceritakan kenangan masa remajanya.

"Saya sedang di sini, di pantai, memetik buah beri, dan tiba-tiba saya melihat gigi emasnya!" ujarnya.

"Mereka berada di sarang burung punjung. Burung itu menemukan gigi emasnya.

"Saya bilang pada ayah dan ia menyuruh saya mengembalikannya ke tempat kakek dimakamkan, di bawah pohon besar."

Ini merupakan petunjuk yang menggiurkan, namun setelah beberapa jam mengamati garis pantai, pencarian dibatalkan.

Matahari mulai terbenam, dan lokasi gigi emas Dirrikaya — untuk saat ini — masih menjadi misteri.

Keluarga bertekad untuk tidak menyerah.

Tes DNA masih bisa dilakukan untuk membuktikan adanya hubungan dengan kerabat di Makassar.

Namun pertama-tama, pencarian perlu dipersempit pada kelompok keluarga atau komunitas yang terkait dengan Dirrikaya di kota berpenduduk lebih dari dua juta orang.

"Melihat wajah Dirrikaya untuk pertama kalinya menyulut sesuatu dalam diri saya," kata Sylvia, sambil merenung.

"Saya ingin tahu lebih banyak sekarang. Apa yang terjadi dengan keluarga kami di Indonesia, dan bolehkah saya bertemu mereka?

"Kisahnya telah diwariskan, ini adalah kisah keluarga kami, dan kami perlu melakukan yang terbaik untuk menjaganya tetap hidup."KreditFoto dan video oleh Paul Bell, Mitchell Woolnough and Erin ParkeGrafis oleh Shakira Wilson dan Gabrielle FloodProduksi oleh Fran Rimrod dan Kit MochanDiterjemahkan oleh Natasya Salim

Catatan editorial: Gambar orang yang meninggal telah dipublikasikan dengan izin.

Tonton selengkapnya The Lost Families di episode terbaru Compass pada hari Minggu, 31 Maret pukul 18.30 di ABC TV atau streaming kapan saja di ABC iview.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Peran dan Modus dalam Kasus Korupsi PT Timah yang Rugikan Negara Rp 271 Triliun

Berita Terkait