Ikhlas Lepas Museum Seikhlas Lepas Kekasih Pergi

Kamis, 18 Desember 2014 – 06:21 WIB
PENUH KENANGAN: Rudi Isbandi di museum seninya yang akan dijual. Foto: Dimas Alif/Jawa Pos

jpnn.com - HASRAT dan semangat seni itu tidak lagi membara. Rudi Isbandi, maestro seni rupa kontemporer, kini merasa redup. Setelah istrinya pergi ke alam baka, harapan Rudi seakan ikut melayang.

Salah satu keputusan sedih kudu diambilnya: melepaskan museum seni yang menyimpan jejak sejarah karyanya.
--------------
Laporan Priska Birahy, Surabaya
-------------
RUDI Isbandi benar-benar mengantarkan istrinya, Dra Sunarti Rudi MPd, menuju keabadian. Hari pilu itu, 6 September, benar-benar tidak bisa dilepaskan begitu saja dari benak lelaki 78 tahun tersebut. Kala itu Sunarti yang sudah menemaninya selama 56 tahun dipangkunya.

BACA JUGA: Terawan Agus Putranto, Dokter Tentara Ikon RSPAD Gatot Soebroto

’’Dia bilang cuma agak sakit di dada. Saya ingat betul. Dia saya pangku,’’ kata Rudi. Rupanya, keluhan kecil itu benar-benar menjadi kalimat pemungkas kehidupan Sunarti. Perlahan-lahan, dalam dekapan sang suami, tubuh Sunarti mendingin. Jiwanya pergi. Pulang.

’’Saya pikir, ’Lho, kok mati?’ Saya sampai tidak bisa njerit,’’ ucap Rudi. Ketika itu kalimatnya terbata-bata. Bulir-bulir air mata serasa beradu mengaliri keriput-keriput di wajah sang maestro.

BACA JUGA: Mengenal Khoirul Anwar, Tukang Ngarit Penemu Teknologi 4G

Ya, hingga kini setiap kali berucap tentang Sunarti, Rudi selalu menangis. Itu bisa dipahami. Rudi dan Sunarti bak kuas dan kanvas. Sulit dipisahkan. Mereka saling mengisi jiwa selama lebih dari lima dekade.

Keberhasilan Rudi dalam coretan kuas yang membuat namanya melambung tidak bisa dilepaskan dari peran Sunarti. Terutama saat menjalani masa sulit sebagai seniman hingga merengkuh kejayaan pada era 1970-an.

BACA JUGA: Delapan Bulan tanpa Perawatan karena Tak Masuk Kartu Keluarga

Kepiawaian Rudi dalam jagat seni rupa sejatinya sudah terabadikan dalam museum yang dibangun di kediamannya, Jalan Karang Wismo I. Museum itu berdiri lantaran sokongan spirit dari sang istri.

Karena itu, sepeninggal Sunarti, jagat Rudi menjadi timpang. Passion, hasrat, cita-cita, juga semangat perupa tersebut perlahan sirna. Rudi pun seolah ingin mengubur semua jejak sejarah cinta plus sejarah kesenimanannya.

Langkah ekstrem pun diambilnya. Museum Seni Rudi Isbandi yang berisi ratusan karya elok itu akan dilepaskannya. Ikhlas. Sebagaimana melepas kepergian Sunarti di pangkuannya.

’’Saya mau jual saja. Enggak ada harga khusus. Bergantung yang menawar. Lukisan, termasuk rumah, saya jual,’’ kata pria yang kini hidup bersama anak keduanya, Dra Titik Ratih, di Bekasi tersebut.

Sembari bercerita, Rudi mengusap-usap karyanya yang terkenal, Pengadilan Pak Harto. Karya mixed-media itu konon pernah ditawar lebih dari Rp 1 miliar. Tapi, Rudi tidak mau melepaskannya.

Memang, sebagian orang mungkin berpikir bahwa sayang betul kalau museum dan seluruh isinya itu dijual. Tapi, pelukis yang pernah dibimbing Affandi, maestro seni lukis Indonesia, tersebut sudah membulatkan tekad. Hasrat untuk terus menjaga Museum Seni Rudi Isbandi yang dibuka pada 20 Desember 2009 itu sudah redup seiring kepergian Sunarti.

”Aduh, saya itu pikir saya yang mati duluan. Padahal, dia itu jernih banget, enggak sakit,” kata seniman penyuka pisang goreng tersebut. Memang, dalam perbincangan, sesekali dia menyinggung kembali momen lara saat istrinya menghadap Sang Pencipta.

Kini kediaman plus museum dalam bangunan dua lantai itu terasa berdebu dan tidak terurus. Buku-buku di dalam rak, meja, kursi, hingga lukisan tampak memudar disapu butiran debu. Yang tersisa hanyalah jajaran romantisme sejoli Rudi-Sunarti dalam bingkai foto.

Berbagai piagam penghargaan dan sekitar 300 lebih lukisan, karya seni instalasi, atau karya lain juga masih menjadi penanda jejak kebesaran karya Rudi.

Tapi, sorot mata Rudi benar-benar menampakkan keikhlasan melepas museum dan seluruh karya itu. Padahal, berdirinya museum tersebut diimpikannya sejak 55 tahun silam.

’’Ndak ada yang ngurus. Dari dulu ya kami yang ngurus sendiri,’’ kata pria sepuh yang dikukuhkan sebagai maestro lukisan kontemporer oleh Dewan Kesenian Jakarta pada 2006 itu.

Baginya, tidak ada lagi yang bisa dipertahankan dari museum itu. Setelah kepergian putra sulungnya dan disusul istri tercinta, Rudi betul-betul sebatang kara di Surabaya. Dia menggantungkan seluruh hidupnya hanya dari lukisan. Makan, minum, biaya listrik, renovasi, hingga kebutuhan pribadi berasal dari sisa simpanan dan lukisan yang terjual.

”Dulu kalau ada ibu, pasti bisa terbantu. Karena gajinya sebagai pengajar kan tetap tiap bulan,” terang Titik Ratih, putri keduanya.

Saat ini beberapa lukisan di museum tersebut lenyap. Itu terjadi setelah Rudi mulai bermukim di Bekasi. ”Saya yang urus Bapak sekarang. Telepon di rumah juga sudah diputus. Jadi, lebih mudah kalau dia sama saya,” papar Titik yang kini menjadi anak semata wayangnya itu.

Titik dan Rudi Isbandi memang mampir sebentar pada 7–11 Desember untuk menengok rumah sekaligus menanti pembeli. Namun, masih belum ada titik terang. Bahkan, dia berkisah bahwa ayahnya berkeinginan menemui Wali Kota Tri Rismaharini.

”Kalau bisa, museum itu jadi cagar budaya atau dikelola pemerintah. Apalagi sepertinya museum itu satu-satunya di Jatim,” imbuh dosen bahasa Inggris pada Akademi Bina Insani, Bekasi, tersebut.

Sembari menunggu kolektor, penikmat seni, atau pengusaha, Rudi menghabiskan sisa hidupnya berdua dengan Titik.

Sejak seminggu setelah wafatnya sang istri, dia kini menjadi penduduk baru ibu kota. Hanya pada waktu-waktu tertentu, mantan pengurus Dewan Kesenian Surabaya (1974–1983) itu kembali ke Kota Pahlawan.

Meski demikian, Rudi tetap berkarya. ”Di Jakarta, Bapak masih melukis. Tapi, katanya wis nggak ada rasa,” papar Titik. (*/c6/dos)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Digigit Anjing Malah Dipecat, Ada yang Dipaksa Jilati Susu Tumpah


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler