jpnn.com, JAKARTA - Kasus Dokumen Terbang dalam perkara dugaan korupsi pertambangan nikel di Blok Mandiodo, Konawe Utara yang merugikan negara hingga Rp 5,7 Triliun menjadi sorotan.
Pasalnya, kasus itu memunculkan efek domino terhadap industri pertambangan mineral dan batu bara yang berpotensi menimbulkan kerugian negara.
BACA JUGA: Anak Buah Sri Mulyani Sebut Hilirisasi Nikel Dorong Transformasi Ekonomi
Tak hanya itu, penerbitan Rencana Anggaran Biaya (RKAB) oleh Kementerian ESDM dalam kasus itu juga jadi sorotan.
Menurut Yosef C.A. Swamidharma dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) kasus ini terjadi akibat belum adanya aturan turunan yang tuntas secara administratif.
BACA JUGA: Komisi VII DPR Desak Menteri ESDM Segera Divestasi 51 Persen Saham PT Vale Indonesia
Aturan yang dimaksud misalnya mekanisme lelang dan wilayah pertambangan sudah memiliki inventori, serta mekanisme penugasan (untuk area-area yang belum memiliki data-data eksplorasi).
“Yang utama ialah niat baik, mekanisme diutamakan orang yang kompeten, dibuat transparan dengan cara direview oleh pihak lain, supaya lebih terbuka. Kalau ada kekurangan-kekurangan yang masih ada dituliskan. Hal ini proses maksimum yang harus dilakukan," kata Yosef, dalam ketarangannya yang diterima JPNN.com, Selasa (12/8).
BACA JUGA: Korupsi Tukin di Kementerian ESDM, KPK Dalami Aliran Uang ke Rekening Pria Ini
Sementara itu, pelaku usaha pertambangan Taruna Aji memandang kasus dokumen terbang ini sudah ada dari 6-7 tahun lalu.
Taruna Aji memandang permasalahan ini menjadi pekerjaan rumah bersama yang harus diperbaiki, karena sebenarnya sederhana.
Jika masih ada modus apa pun, lanjut dia, sistemnya tidak akan berjalan karena sebenarnya itu masalah non-teknis.
"Artinya bahwa semua pihak jangan ada arogansi, di instansi yang lain memiliki kebersamaan untuk bangsa, itu saja kuncinya," tuturnya.
Senada, Jeffisa yang juga pelaku usaha pertambangan lainnya mengatakan dibutuhkan pengawasan dari negara dan perlu adanya grand design mining.
"Terkait kasus dokumen terbang, PT KKP harus bertanggung jawab atas dokumen tersebut. Yang paling bertanggung jawab bukan ESDM, tetapi PT KKP," tegasnya.
Di sisi lain, Ketua Asosiasi Penambangan Tanah Pertiwi (ASPETI) Arief Setyadi menyoroti potensi penurunan pendapatan negara jika RKAB diterbitkan oleh MINERBA pada periode 2021-2023 dinyatakan salah prosedur.
"Dibutuhkan strategi menjaga iklim investasi oleh pemerintah, memelihara stabilitas ekonomi dan politik, mengembangkan sistem logistik, penyederhanaan regulasi," kata Arief.
Sementara itu, Singgih Widagdo dari Indonesia Mining and Energy Forum (IMEF) mengatakan kondisi Minerba saat ini tidak mudah. Menurutnya, kebijakan yang mempercepat ini bisa menjadi hal yang menjebak.
“RKAB ini kalau sudah ditandatangani berarti itu dikatakan legal. Bagaimana prosesnya itu nanti, selama ini resmi ya tetap dipakai. Kalau RKAB tidak benar, maka control dari lingkungan dan resources menjadi tidak ada," ujarnya. (mcr8/jpnn)
Redaktur : Djainab Natalia Saroh
Reporter : Kenny Kurnia Putra