jpnn.com, JAKARTA - Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bima Yudistira mengatakan, pemerintah dan pengusaha industri baja lokal bisa melakukan beberapa cara untuk menekan impor.
Pemerintah, kata Bima, harus menyelidiki penyebab kenaikan impor baja lapis aluminium dari China, apakah mengandung praktik dumping atau persaingan usaha yang tidak sehat.
BACA JUGA: Indonesia Banjir Baja Impor dari China, Ratusan Ribu Karyawan Terancam PHK
"Jika ditemukan praktik dumping seperti China mensubsidi ekspor baja ke Indonesia dengan berbagai fasilitas seperti insentif produksi hingga tax rebate untuk ekspor, maka bisa dikenakan bea masuk antidumping," kata Bima melalui pesan singkat, baru-baru ini.
Menurut dia, penjagaan lain dalam bentuk non tarif juga bisa dilakukan dengan mendorong sertifikasi wajib tertentu produk impor baja.
BACA JUGA: Impor Baja dari Tiongkok Melejit, Industri Domestik Menjerit
Terkait penggunaan baja impor, lanjut Bima, cara membatasi bisa dimulai dari proyek konstruksi pemerintah pusat maupun daerah. Porsi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) harus diperbesar.
“Cara ini efektif untuk mendorong produsen lokal masuk ke pengadaan barang jasa proyek pemerintah. Misalnya di sektor konstruksi perumahan bisa didorong porsi lokal baja lapis aluminium seng. Atau bisa juga di proyek BUMN," ujar Bima.
BACA JUGA: Anti-dumping Ciptakan Pasar Sehat di Industri Baja Nasional
Sementara itu, anggota Komisi VI DPR Achmad Baidowi mengatakan banjir baja impor murah, terutama asal China dapat mengancam industri baja nasional.
Menurut Baidowi, hal itu akan berdampak pada nasib ribuan karyawan yang dapat terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Ini yang harus diperhatikan pemerintah, karena tenaga kerja di industri baja nasional tidak sedikit. Jangan sampai mereka mati di lumbung sendiri," ujar Achmad Baidowi.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perindustrian bersama Perdagangan harus melindungi produksi baja nasional dan juga turunannya.
Baidowi menilai jika banjir impor baja murah asal China terus terjadi, maka akan memunculkan efek domino cukup besar. Kata dia, tidak hanya ancaman PHK masal tetapi juga membuat roda perekonomian makin terpuruk.
"Proteksi tersebut menjadi salah satu opsi yang harus dipertimbangkan pemerintah, baik dalam hal penerapan antidumping maupun safeguard. Tentu saja, dengan memperhatikan ketentuan global WTO," ujarnya.
Baidowi menambahkan industri baja merupakan penopang ekonomi nasional, untuk itu, pemerintah harus mengefektifkan produksi dan menekan laju PHK.
"Jangan sampai di saat sulit karena pandemi ini, ditambah PHK yang masif karena baja impor. Kalau itu terjadi, makin remuk ekonomi kita," tuturnya.
Dampak Covid-19 sempat membuat industri di China mengalami penurunan produktivitas. Hal itu terkait dengan menurunnya impor baja ke Indonesia sebesar 40 persen pada 2020.
Faktor lain yang menyebabkan menurunnya impor baja China di Indonesia adanya PSBB, kelangkaan kontainer dan peran pemerintah.
Walaupun industri dalam negeri akhirnya mendominasi di kondisi pasar lokal yang menurun 27 persen, maka produksi jadi lebih rendah dibanding 2019. Sehingga utilisasi tetap di kisaran 50 persen.
Kapasitas industri BJLAS dalam negeri yang bertambah hampir 250 ribu ton pada akhir 2019, dinilai sudah mencukupi kebutuhan pasar pada 2020, bahkan over-supply.
Namun impor tetap berkontribusi 39 persen. Kondisi ini dianggap belum sehatnya industri BJLAS dalam negeri sejak dominasi impor memuncak pada 2018, dan membawa kepada tingkat utilisasi stagnant, yaitu di kisaran 50 persen. Investasi industri BJLAS dalam negeri saat ini bernilai hampir USD1 miliar. (jlo/jpnn)
Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh