jpnn.com, JAKARTA - Executive Director The Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA) Hidayat Triseputro mengatakan, pengendalian impor baja di Indonesia belum optimal.
“Sampai April 2018 impor baja Tiongkok melonjak hingga 48 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu,’’ ujar Hidayat, Selasa (10/7).
BACA JUGA: Industri Baja Domestik Butuh Perlindungan Pasar Â
Dia menambahkan, hal itu memang bukan sesuatu yang mengagetkan.
’’Memang sudah bukan rahasia harga baja di sana lebih murah karena negara tersebut merupakan produsen baja terbesar dunia dengan biaya produksi yang ditopang pemerintah,’’ kata Hidayat.
BACA JUGA: Kerja Sama Pertahanan Indonesia dan Ceko Kerek Industri Baja
Sebagian besar baja yang diimpor adalah baja paduan (alloy steel) yang tidak bisa diproduksi di Indonesia.
Baja semacam itu biasanya digunakan untuk rel kereta atau komponen alat berat.
BACA JUGA: Industri Baja Lokal Kewalahan Hadapi Gempuran Tiongkok
’’Kebutuhan baja Indonesia saat ini didominasi sektor konstruksi yang mencapai 78 persen,’’ ungkap Hidayat.
Melihat kondisi tersebut, IISIA berharap investasi-investasi baru dalam negeri terus didorong agar makin tumbuh, terutama di sektor hulu (crude steel).
Sebab, kebutuhan baja di Indonesia terus meningkat setiap tahun. Bila tidak diimbangi dengan investasi baru, ketergantungan terhadap produk baja impor akan makin tinggi.
Meski begitu, pihaknya juga menegaskan bahwa investasi baru harus menggunakan high technology.
’’Teknologinya harus baik. Bukan yang tidak ramah lingkungan, boros energi, dan hanya bisa produksi baja-baja di bawah standar yang membahayakan publik,’’ tutur Hidayat.
Tahun ini permintaan baja dalam negeri diharapkan bisa tumbuh lebih dari tujuh persen atau mencapai angka 14,5 juta ton.
Sepanjang tahun lalu, konsumsi baja tanah air hanya 13,6 juta ton. (car/c14/fal)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Permintaan Baja Diprediksi Naik 7 Persen
Redaktur : Tim Redaksi