Impor Pangan & Impor Revolusi

Sabtu, 22 Januari 2011 – 01:10 WIB

TUNISIA yang porak poranda, mestinya  cermin bagi IndonesiaSaling tembak antara pasukan angkatan darat dengan sejumlah pria bersenjata di jalanan protokol, bukan tak mustahil bak penyakit menular yang menjalar, setelah presiden Tunisia Ben Ali minggat ke Saudi Arabia

BACA JUGA: Gayus Bajingan yang Herois

Rakyat Tunisia ketakutan menyelamatkan diri dari amuk senjata yang hiruk pikuk.

Sejak 14 Januari lalu, rakyat murka karena pemerintah  tidak becus mengatasi krisis ekonomi
Harga-harga kebutuhan pokok melonjak dan makin banyak warga yang menganggur

BACA JUGA: Negara Tak Urus Cabai

Pemerintahan sementara muncul, dan tengah menyiapkan Pemilu, rada mirip huru-hara 1998 yang membuat Soeharto lengser di Indonesia.

Di tengah kegairahan anak bangsa terhadap pengakuan Gayus yang kontroversial, mafia pajak dan pro-kontra bahwa SBY berbohong atau tidak, saya terkenang yel-yel  “turunkan harga barang.” Pekik demonstran mahasiswa pada 1966 itu menggelegar di angkasa Indonesia


Kala itu harga sembako membubung, termasuk pangan

BACA JUGA: Surprise dari Banda Aceh

Kemudian, Soekarno jatuh pada 1966, dan Soeharto pada 1998 silam, karena penyebab yang sama.


Krisis pangan yang menghantui dunia sudah di depan pelupuk mataPenyebabnya, tentu saja bukan merupakan kutukanSalah satunya karena kerakusan berbagai bangsa mengkonsumsi minyak bumi yang tak tergantikan, dan karenanya makin sedikit sehingga harganya kian menaikEfeknya, otomatis mendongkrak naiknya biaya transportasi dan sarana produksi pertanian seperti pupuk dan pestisida.

Mau tak mau pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan India dengan jumlah penduduk terbesar telah meningkatkan permintaan yang dahsyat terhadap bahan panganSesuai hukum besi ekonomi permintaan menaik membuat harga juga menaik.

Populasi penduduk yang bak deret ukur, sementara pangan bagai deret hitung membuat order pangan berlipat-ganda, namun terobosan teknologi pertanian belum sepenuhnya  mampu melipatgandakan produktivitasJurang kian menganga lebar antara permintaan dan penawaranDefisit!

Perubahan iklim membuat musim tanam dan panen menjadi anomaliKadang kekeringan kadang kebanjiran, dengan risiko panen gagal pula.

Naga-naganya, pangan tak hanya memiliki nilai ekonomi yang tinggi, bahkan bisa juga punya nilai politis yang besarSudah sejak lama banyak Negara berpacu laju meningkatkan produksi pangan, termasuk Negara industryKira-kira, siapa yang menguasai pangan akan menguasai dunia.

Apa boleh buat, inilah problem dunia yang mengglobalWalau petani yang menanam padi, tetapi yang menentukan harga justru globalisasi hasil pertanian.

Tidak mencengangkan jika urusan pangan pun menarik perhatian badan perdagangan internasional, seperti WTOPadahal, seperti ramai diberitakan, WTO tak lebih dari “pabrik masalah” dan bukannya lembaga yang menawarkan jalan tengah yang adil.

***

Pangan yang sehari-hari kita kenali sebagai bahan pangan belaka, telah lama naik pangkat menjadi komoditas perekonomian yang mengejar rentePadahal, pangan yang membuat manusia hidup, dan bukan hidup untuk pangan, adalah hak dasar manusia yang universal.

Terbukti, jika ada sebuah negara ditimpa bencana alam yang dahsyat, maka berbagai Negara yang surplus pangan akan membantu Negara yang nahas tersebutTak ada kalkulasi bisnis

Dalam satu sesi seminar di Medan bersama Prof Dr Bustanul Arifin, saya terkesiap ketika diinformasikan bahwa pasar bebas telah menghegemoni pasar domestik di bawah kendali beberapa  perusahaan raksasa agrobisnis yang tidak peduli apakah petani di suatu Negara didera kemiskinan dan lapar atau tidak.

Tak pelak, WTO adalah biangnya.  Organisasi perdagangan dunia ingin agar pasar dalam negeri setiap Negara adalah pintu terkuak lebar yang tak boleh dibatasiInilah adat zaman global, yang rakus karena mengejar keuntungan belaka.

Saya ingat saudara Henry Saragih, Ketua Organisasi Petani se-dunia yang berasal dari Kisaran, Sumatera Utara itu, gemar meneriakkan kedaulatan pangan dan merupakan hak petani dan rakyat, yang dilindungi Negara melalui kebijakan dan strategiBaik atas sektor  produksi, distribusi, dan konsumsi pangan berkelanjutan, sehingga menjamin hak atas pangan bagi seluruh penduduk bumi.

Henry tidak bersimpati jika pemerintah RI yang hanya sekedar melakukan pendekatan “ketahanan pangan.” Yang terakhir ini, yang penting bahan pangan ada, meskipun diimpor dan hanya membuat importir tertawa tetapi membuat petani menangis.

Daya beli masyarakat, itulah soalnyaSepanjang masalah ini belum teratasi, maka busung lapar, kurang gizi, selalu terjadi, apalagi apabila pemerintah local cuek kepada kesejahteraan rakyatnya.

Tampaknya, pemerintah harus mengambil kebijakan yang adil bagi semua stakeholders  pangan, petani, pedagang dan konsumen yang selalu berseberangan kepentinganArtinya, diperlukan regulator yang adil, dan tak semata menyerahkannya kepada kemauan pasar.

Jika pun masih jauh di bawah kualitas “huru-hara Tunisia” namun untunglah pemerintah bertindak mengamankan stok pangan nasionalSalah satunya, ya, membebaskan bea masuk impor pangan, antara lain untuk beras, gandum dan pakan ternak kita“Semua demi stabilisasi pangan dan inflasi yang harus dijaga,’’ kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa di Jakarta, Senin (17/1).

Kementerian ekonomi juga akan merampungkan draft Instruksi Presiden (Inpres) mengenai antisipasi nasional terhadap iklim ekstremTermasuk rencana pembagian benih dan pupuk serta pengadaan subsidi benih kepada petani.

Hatta juga menilai penting bagaimana sikap pemerintah bila terjadi sesuatu pada sawah-sawah petani, kalau tiba-tiba terendam saat banjir, wabah hama atau apapun karena iklimPokoknya, harus melindungi petani

Konon, telah tersedia dana cadangan Rp3 triliunRp1 triliun untuk stabilisasi pangan dan Rp2 triliun untuk antisipasi iklim“Akhir Januari Inpres sudah selesai,’’ kata Hatta.

Pemerintah bahkan membebaskan 30 pos tarif terkait stabilisasi harga pangan yang dilukiskan oleh Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Kamis (19/1) kemarin usai rapat koordinasi pangan di Jakarta, menarik perhatian.

Bahkan, sudah diwanti-wanti pula jalur hijau untuk impor komoditi panganIni ”super bebas.” Misalnya memberi prioritas untuk sandar kapal akan mempermudah masuknya impor.

Nantinya, masuknya barang impor tanpa melalui pemeriksaan fisikHanya melalui proses penelitian dokumen setelah diterbitkannya Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).

Sudah segawat itukah? Atau hanya fenomena kepanikan yang bersifat ad hoc belaka bak pemadam kebakaran?

Harus dikatakan, kebijakan bebas impor pangan hanya dalam keadaan gawat daruratAgar harga pangan terjangkau rakyat, dan tak berang seperti di TunisiaNamun harus segera diikuti soal klasik: irigasi, distribusi benih dan pupuk serta infrastruktur pendukung.

Memang, jika harga pangan murah, karena pengaruh impor, rakyat tidak marahNamun sampai kapan mampu menanggung beban subsidi, ketika harga pangan secara global semakin menaik? Indonesia harus segera banting setir, sebelum “mimpi buruk” seperti di Tunisia itu juga mencekam negeri ini.

Indonesia harus bergegas dan konseptualTak bisa hanya berharap impor karena negara lain juga memikirkan dirinyaBebas impor harus segera diisi konsolidasi pertanian dalam negeriJangan sampai terputus, sehingga rakyat sempat lapar, dan kemudian marah! Impor beras yang tak konseptual tak mustahil beralih menjadi “impor revolusi” yang menakutkan itu.(***)


BACA ARTIKEL LAINNYA... Maaf, Ini Cinta Pelarian!


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler