Negara Tak Urus Cabai

Senin, 10 Januari 2011 – 01:17 WIB
PEMERINTAHAN kita makin gemar melakoni pepatah orang MinangkabauHabis cakak, takana silek

BACA JUGA: Surprise dari Banda Aceh

Usai berkelahi, teringat jurus silat
Apa gunanya lagi, jika dalam baku hantam itu, kita udah babak belur

BACA JUGA: Maaf, Ini Cinta Pelarian!

Paling menang ngomong - persis konferensi pers pejabat PSSI setelah kalah melawan Harimau Malaya dari Malaysia.

Ilustrasi ini muncul setelah mendengar ucapan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu di Kantor Menko Perekonomian, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, Kamis (6/1/2011)
Dia menganjurkan untuk sementara masyarakat menggunakan sambal botol atau cabai bubuk, selagi harga cabai mahal dan kini sudah mencapai Rp 100.000 (bahkan lebih) sehingga inflasi kita mencapai 7 persen - melenceng dari target.

Pemerintah juga menganjurkan ramai-ramai bertanam cabai di halaman rumah masing

BACA JUGA: Awas, Ancaman Victory Disease!

Menteri Marie sudah melakukannya di rumahnya di kompleks menteri di JakartaKonon, bagi warga yang mau, akan diberikan benih gratis.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga berharap hal serupa"Saya sudah lihat kreativitas rumah tangga yang dilakukan oleh masyarakatSeperti menanam tomat, cabai dan segala macam di pekarangan rumahItu luar biasa sekali," kata SBY dalam sidang kabinet paripurna di kantor Presiden, Jakarta, Kamis (6/1) laluArtinya, bisa membangun semacam ketahanan pangan warga.

Untuk sambal kemasan, sayang, kurang cocok di lidah orang kitaKurang pedasIni memang soal kulturOrang biasanya tak suka pula kepada cabai bubuk yang cocok untuk memasok industri makanan.

Adapun tentang bertanam cabai di halaman rumah masing, tak semua penduduk bisa melakukannyaApalagi di perkotaan, yang rata-rata berhalaman sempitKecuali rumah gedongan, lahannya tersediaTapi orang the have ini mana mau bertanam cabaiUntuk apa? Semahal-mahalnya cabai, mereka bisa beli.

Di tengah-tengah anjuran itu, jangan-jangan sebentar lagi harga cabai kembali normalPersislah, ujaran orang Minangkabau itu, habis cakak takana silek.

***
Anjuran-anjuran itu kelihatannya untuk menutupi "kegagalan" pemerintah menjaga stabilitas harga cabaiDalam  banyak kesempatan, kita ingat bahwa Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu tidak percaya bahwa lompatan harga cabai karena ulah spekulanNamun lebih disebabkan faktor musim penghujan yang membuat produksi cabai menjadi berkurangApalagi komoditas cabai tidak bisa ditimbun karena cepat busuk.

Memang musim lagi tak berketentuanPara pakar menyebutnya anomaliOkelahTetapi bukankah anomali musim belum beringsut pada 2011? Australia yang selama ini didominasi gurun, memasuki 2011 justru dilanda banjir besar yang berkepanjanganArtinya, masih terbuka kemungkinan di tahun ini.

Namun di balik logika lurus sang ibu menteri, mungkin beliau melupakan logika kaum spekulanBagi mereka, spekulasi bukan tindakan untung-untunganTetapi dengan perhitungan yang matangBahkan turunnya pasokan cabai di beberapa daerah merupakan peluang untung yang besar, karena ada alasan untuk mengatrol harga.

Hanya dengan bertelepon dengan mitra bisnisnya, yang sudah terjalin sejak lama, maka dalam hitungan jam berton-ton cabai akan mengalir dari daerah surplus ke daerah minusUntungnya besar, karena harga yang dibeli dari petani malah tidak ikut naik.

Bukan tak mungkin cabai dari Sulawesi "terbang" ke Jakarta atau ke pulau lainAgustus 2010 lalu, gejala ini sudah terjadi, sampai-sampai pemesan datang memborong langsung kepada petani.

Tidak mustahil pula fenomena itu terjadi lintas daerah di Sumatera dan Jawa, yang transaksi sangat gesit di era teknologi informasi iniPula, arus cabai antar daerah itu bukanlah perbuatan pidanaApalagi distribusi komoditas cabai sepenuhnya ditangani antarpedagang, minus intervensi negara, sehingga, ya, sangat neoliberal.

***
Hasil Forum Kajian Ekonomi Regional BI yang dipublikasi pada Selasa (4/1) di Jakarta, semakin meyakinkan saya bahwa bisnis cabai sangat neolibDisebutkan, para pedagang besar ternyata meraup untung 30 persen sebelum melemparnya ke pasarNah, pedagang eceran juga memetik rente 25-30 persen pulaTak heran jika harga cabai terus membubung, padahal para petani hanya menerima Rp 17.000 – Rp 20.000 per kg.

Mestinya, negara hadir dalam arus distribusi cabai iniKarena jika tidak, maka pedagang bebas berspekulasi, dan sesuai hukum ekonomi, mereka melempar cabai ke daerah yang langka cabai sehingga harga menaikLalu, lempar lagi ke daerah lain, jika daerah pertama sudah panen atau pasokannya memadai.

Sebetulnya, produk cabai nasional mencapai 1,19 juta tonKebutuhan domestik 1,22 juta tonDefisit hanya sedikit, yaitu 20.919 ribu tonTak terlalu gawatBahkan, data lain menyebutkan produksi nasional mencapai 1,3 juta ton pada 2010, dan akan di-drive menjadi 1,45 juta ton pada 2011.

Namun kesenjangan produksi oleh musim penghujan membuat peluang spekulasi menganga lebarPedagang selalu diatur oleh untung, dan sudah merupakan etos seluruh pebinis di kolong langit iniMereka tak perlu rapat, seperti sidang kabinet atau antarinstansi di propinsi yang terlalu birokratis.

Apalagi semua pulau di Indonesia terbuka dengan negara lain, sehingga tak mustahil produksi cabai dikirim ke Malaysia, atau menyeberang lintas perbatasan di Kalimantan Barat ketika harga lebih tinggi.

Saya membayangkan jika gejala kesenjangan produksi terjadi akibat musim penghujan, maka antar sesama Pemda di Indonesia segera bertindak bagai pedagangSegera beli cabai dari daerah surplus, dengan dana pemerintah, tapi harganya normal, dan lempar ke daerah minus dengan harga pantas.

Bila perlu, bentuklah sejenis Kelompok Petani Cabai (KPC) di daerah produksiPemda memberikan dana talangan kepada KPC untuk membeli panen cabai, dan ketika pasokan di pasar berkurang, KPC memasoknyaJangan biarkan spekulan tertawa lebar menikmati hasil permainannya, ketika negara absen.

Intinya, negara dan jajarannya di daerah jangan jadi penontonMobilisasilah petani melawan tengkulak, agar harga tak naik sehingga inflasi tak mencapai 8 persen.

Berpikir dan bertindaklah sebagai pebisnisJangan asyik dibelengu oleh etos birokrasi yang lambanJika tidak mau juga, tunggulah cengkeraman inflasi! (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Paradoks Sepakbola & Politik


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler