In Memoriam Ramdan "Putra" Aldil Saputra

Terbayang Anak Asuh, Mak Ti Shock hingga Masuk RS

Minggu, 30 Mei 2010 – 07:59 WIB
Makam Ramdan Aslil Saputra yang masih dipenuhi bunga. Foto : Choirurrozaq/Radar Tulungagung/JPNN

Menatap kembali foto-foto Putra alias Ramdan memang sama dengan menggali duka dan menguras air mataTatapan matanya begitu hidup dan penuh semangat

BACA JUGA: Bayi Ini Butuh Rp 1,2 Miliar untuk Transplantasi Hati

Sebesar apa sebenarnya semangat hidup mantan penderita atresia bilier asal Trenggalek itu?Inilah catatan wartawan Jawa Pos, NANY WIJAYA, yang mendampingi dia sejak menjelang operasi.
 

SUDAH seminggu Ramdan Aldil Saputra alias Slamet Hadi Syahputra pergi meninggalkan ayah ibunya, dua kakak perempuannya yang cantik-cantik, Mak Ti yang mengasuhnya sejak bayi, saya, serta para dokter dan perawat yang merawatnya selama sebulan di ICU Gedung Bedah Pusat Terpadu (GBPT) RSUD dr Soetomo, Surabaya
Pergi untuk tidak kembali

BACA JUGA: Inikah Sebab Operasi Cangkok Ginjal Mahal?


 
Ketika datang ke kuburnya Jumat lalu (28/5), ingin rasanya saya mengucapkan, "Selamat jalan, Ramdan sayang
Selamat jalan, Putra-ku." Tetapi, ternyata keinginan saya tak sebesar kekuatan saya

BACA JUGA: RI Harus Dorong Transplantasi Hati

Buktinya, tangis saya meledak ketika melihat namanya di batu nisan.
 
Dan, saya yakin, saya bukan satu-satunya orang di luar keluarga Putra yang tidak sanggup mengucapkan kalimat perpisahan ituPaling tidak, tim dokter dan para perawat yang pernah menangani selama dia dan ibunya menjalani perawatan di RSUD dr Soetomo, Surabaya.
 
Kalau kami yang hanya pernah bertemu secara intens dua?tiga bulan merasakan kehilangan yang luar biasa, bisa dibayangkan perasaan ayah ibu dan kakak-kakak RamdanWalau kemarin pun tangis itu tak terlalu terlihat di mata merekaNamun, bisa dipastikan hati mereka tak pernah berhenti menangisi kepergian si bungsu itu.
 
"Saya memang ingin hamil lagi setelah putri bungsu saya berumur 11 tahunSaya ingin punya anak laki-lakiSiapa tahu masih diberi Allah kesempatanKarena itu, saya berhenti suntik KBDan, dua tahun kemudian saya hamilSejak awal kehamilan ketiga itu saya rajin periksaDan, dokter selalu bilang, bayi saya sehat," kenang Ny Sulistyowati tentang awal kehadiran almarhum Ramdan di muka bumi ini.
 
Maka bisa dibayangkan kebahagiaan Sulistyowati, suami, dan kedua anak gadisnya ketika yang lahir memang bayi laki-lakiLebih bahagia lagi karena bayi itu lahir sebagai anak yang normal dan tampak sehat, meski warna kulitnya agak kekuningan.
 
"Ketika itu kami tidak khawatir dengan warna kuningnyaSebab, kata orang-orang dan juga dokter, itu bisa hilang dengan sering dijemur," tambah Bambang Sutondo Winarno, ayah almarhum Putra.
 
Sayangnya, perasaan itu tak bertahan lamaSebab, warna kuning tersebut ternyata tak kunjung hilang ketika si bungsu sudah berumur dua bulanPadahal, mereka sudah menjemur dia setiap hariDan, kebahagiaan mereka pun berubah menjadi keprihatinan panjang setelah dokter menyatakan bahwa warna kuning itu ada karena Ramdan tidak memiliki saluran empedu.
 
"Sejak itu saya tak pernah pergi ke tempat lain kecuali mengajarKebetulan, sekolah tempat saya mengajar berada di depan rumahKarena itu, saya masih sempat memandikannya sendiri setiap pagi dan bisa tetap mengawasinya selama mengajar," tambah Sulistyowati
 
"Selama hidupnya, Ramdan hanya pernah saya mandikan sekali sajaYaitu, menjelang operasi karena ibunya juga harus menyiapkan diri sendiri untuk operasiJuga baru sekali itu dia mau saya beri air putih dan saya tidurkanBiasanya dia rewel kalau tidak bersama dengan ibunyaMinum juga begituDia tidak pernah mau diberi air putihMaunya susu," tambah sang ayah.
 
Karena itu, bisa dibayangkan sedihnya hati Bambang ketika menyadari bahwa itulah kali pertama dan terakhir dia memandikan dan menidurkan bayi laki-lakinya dalam keadaan hidup
 
Tetapi, Bambang dan istrinya termasuk orang tua yang dikaruniai ketabahan luar biasaMeski sehancur apa pun hati mereka akibat kematian Ramdan, mereka masih bisa mengendalikan diri dan tangisnyaBerbeda dengan Suyati, yang akrab dengan panggilan Mak Ti
 
Wanita berumur 47 tahun itu benar-benar shock dengan kabar kematian RamdanBocah yang dirawat dan diasuhnya setiap hari, sejak lahir hingga saat berangkat ke Surabaya untuk persiapan transplantasi.
 
Saya tidak sempat bertanya berapa lama Mak Ti menangisi kematian Ramdan" Setiap hari atau hanya saat kabar kematian itu datangAyah Ramdan hanya menceritakan, "Sejak Ramdan meninggal, Mak Ti tidak pernah mau mendengar apa pun tentang RamdanKalau ada orang berbicara tentang Ramdan, dia selalu menghindar."
 
Dengan menghindar, barangkali Mak Ti berharap bisa melupakan bayang-bayang almarhum anak asuhnya ituPaling tidak, bisa mengurangi rasa dukanyaTernyata tidakSemakin menghindar, semakin berat beban batinnya.
 
Begitu beratnya sehingga tubuhnya tak sanggup lagi menahanDan, tiga hari lalu wanita itu harus masuk rumah sakitHingga berita ini saya turunkan, dia masih dirawat intensif di RSU Trenggalek"Saya sedang menjenguk bersama tetangga," kata Bambang tadi malam tentang Mak Ti
 
Melupakan Ramdan atau Putra memang bukan pekerjaan mudahSemakin kita berusaha melupakannya, semakin kuat kenangan yang muncul tentang dirinyaTetapi, memunculkan kembali ingatan tentang dirinya juga bukan hal yang bisa meredakan duka kitaMalah sebaliknya, semakin menguras air mata

Jangankan lagi saya, tim dokter dan para perawat yang hampir 24 jam setiap hari bersamanyaPara wartawan pun sampai sekarang masih berduka atas kematian RamdanPadahal, mereka hanya pernah bertemu sebelum operasi dan ketika Ramdan dibawa ke ruang CT ScanSelama Ramdan di ICU, mereka hanya melihat bocah itu lewat gambar.

"Saya trenyuh baca tulisan sampeyanJuga lihat foto-fotonya, mau nangisKarena saya ikuti dia dari awal sampai JumatSabtu saya liburMinggu pagi saya dapat kabar kematiannya," tutur Hartoko dari ANTV biro Surabaya, salah seorang wartawan yang setiap pagi setia datang ke lantai dua (ICU) Gedung Bedah Pusat Terpadu (GBPT) RSUD dr Soetomo Surabaya.

Ketika Ramdan kritis, kapan pun itu, wartawan selalu hadir dan menanti dengan cemas kabar tentang perkembangan kondisinyaBahkan, tengah malam pun, ketika Ramdan harus menjalani pembedahan otak pertama pada 28 April 2010.

"Jangan lagi wartawan dan tim dokterSaya yang hanya beberapa hari menggantikan Mbak Nany, dan hanya pernah sekali melihatnya membuka mata, yaitu ketika Sekjen Depkes datang berkunjung, selalu menangis kalau ingat Ramdan," tutur Siti Handayani, manajer Human Resource Development (HRD) Jawa Pos, yang mendampingi Ramdan selama 10 hari saya di Amerika Serikat

Sosok Ramdan memang luar biasaDalam waktu singkat, dia merebut hati banyak orangGayanya dan tatapan matanya seperti magnet yang memiliki daya magis yang mampu membuat semua orang jatuh cinta padanyaTak penting, berapa lama mereka saling mengenal.

Saya sendiri baru "berkenalan" dengan Ramdan pada menit-menit menjelang operasiItu pun setelah dia berada di ruang tunggu kamar operasi, di lantai enam GBPTSebelumnya, ketika saya berkunjung ke kamarnya di lantai enam Graha Amerta, bersama tim dokter dari Oriental Organ Transplant Center (OOTC) Tianjin yang menjadi konsultan Tim Liver Transplant RSUD dr Soetomo Surabaya, Ramdan sedang tidurKarena itu, jangan lagi bersentuhan, saling bertukar pandang pun tidakSeperti itu pula pertemuan terakhir saya dengannya di ICU.

Jumat (14/5) siang, saya masih mengunjunginya di ICUHari itu kondisinya sangat lemahBukan karena kritis, tetapi karena baru sehari dia lepas dari pengaruh sedasi (penenang)Seperti yang diberitakan harian ini, Rabu sore sebelumnya, Ramdan baru saja menjalani operasi pemasangan shunt, slang untuk membuang kelebihan cairan yang menekan otaknya dan menyebabkannya menderita hidrosefalus.

Pada hari terakhir itu, kami berdua benar-benar tidak saling berkomunikasiDia hanya sempat sekali melirik sayaSetelah itu, dia memilih tidur dan menutup rapat matanyaHari itu dia sama sekali tidak tertarik untuk melihat sayaDia juga tidak tertarik dengan kilatan blits saya.

Padahal, hari-hari sebelumnya, separah apa pun kondisinya, cahaya blits kamera saya selalu bisa menarik perhatiannyaMatanya selalu mengikuti ke mana saya bergerak karena dia tahu, saya suka sekali memotretnyaTampaknya, dia pun sangat suka dipotret.

Sebenarnya saya sudah berusaha pamit kepada Ramdan bahwa hari itu saya akan ke Amerika SerikatTetapi, saya hanya akan pergi 10 hariSaya katakan kepadanya siang itu, sambil mengelus-elus lengannya yang semakin kurus bahwa saya segera kembali padanya

"Sembuh, ya Nak! Jangan tinggalkan saya ya! Cepat sembuh ya, supaya kita bisa segera ke DisneylandAtau kau mau umrah" Boleh! Boleh juga ke Malaysia, ketemu Upin dan Ipin, kalau kau mauKalau kau sembuh, apa pun boleh kau mintaKetemu D?Massiv, kesukaanmu, juga boleh," kata saya Jumat siang itu.

Saya serius dengan ucapan saya ituSudah berkali-kali itu saya katakan kepadanyaSaya tahu, dia paham atau tidak dengan ucapan sayaTapi saya yakin, dia mengerti nazar saya itu.

Saya tawarkan itu kepadanya, karena saya tahu, dia sangat menyukai film Ipin Upin dan DoraDia juga sangat menyukai suara azan, bacaan ayat-ayat suci Alquran dan lagu-lagu D?Massiv yang berjudul Rindu Setengah Mati dan Jangan Menyerah

Ketika itu, saya sangat yakin akan melihatnya sembuh dan aktif kembali, sepulang dari ASSebab, seluruh problem kesehatannya ketika itu sudah berhasil diatasi tim dokter

Meski respons motoriknya pada hari itu belum pulih 100 persen, pupil kedua matanya sudah isokor (sama)Tekanan darah, denyut nadi dan jantungnya, juga temperatur tubuhnya sudah relatif stabilDiarenya juga sudah berampas dan semakin sedikit.

Karena itu, saya benar-benar tidak siap ketika kemarin harus menyadari kenyataan bahwa Ramdan sudah tiada dan tak bisa lagi saya elus, tak bisa lagi mendengar suara sayaKini dia sudah berada di peraduannya sendiri, di kuburan mungil yang kemarin kami selimuti dengan hamparan mawar bercampur irisan daun pandan yang harum(bersambung/c2/iro)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pasca Operasi Cangkok Hati, Kondisi Hafidz Sudah Membaik


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler