Seorang pria ditenangkan oleh saudaranya setelah ia melihat jenazah ayahnya yang meninggal akibat COVID-19 dan akan dimakamkan di New Delhi. (Reuters: Danish Siddiqui )
Tungku gas dan kayu bakar di layanan krematorium di negara bagian Gujarat tidak berhenti mengkremasi jenazah.
Di kota-kota besar lainnya di India, jumlah kremasi dan penguburan diperkirakan lebih besar dari data resmi kematian akibat COVID-19, seperti yang dilaporkan oleh media, pekerja layanan kremasi, dan data pemerintah.
BACA JUGA: Negara Bagian Victoria akan Bangun Pabrik Vaksin Berteknologi mRNA
Pejabat senior kesehatan mengatakan peningkatkan jumlah kremasi di Gujarat disebabkan penanganan jenazah melakukan protokol COVID-19, "meski hanya 0,1 persen kemungkinan orang tersebut positif".
Ibu kota India, New Delhi, telah memberlakukan lockdown selama enam hari setelah kasus COVID-19 harian di seluruh India mencapai rekor baru yang menyebabkan sistem kesehatan kewalahan.
BACA JUGA: Tak Mau Seperti India, Ini yang Dilakukan Pemerintah Indonesia untuk Cegah Penyebaran Covid-19
Menanggapi sejumlah kritikan di media sosial, Ketua Menteri Arvind Kejriwal mengatakan New Delhi dengan populasi lebih dari 20 juta jiwa, hanya memiliki kurang dari 100 tempat tidur untuk perawatan kritis.
"Sistem kesehatan Delhi tidak dapat lagi menerima lebih banyak pasien dalam jumlah besar," kata Menteri Arvind dalam jumpa pers virtual hari Senin.
BACA JUGA: Ini Alasan Warga Australia Sulit Mendapat Mobil Listrik
"Jika lockdown tidak diberlakukan sekarang, situasinya akan tak terkendali."
Sementara itu dalam pernyataannya di televisi, Perdana Menteri India Narenda Modi mendesak agar 'lockdown' hanya diberlakukan sebagai upaya terakhir.
Ia mengatakan jika warga berperilaku sesuai dengan kondisi COVID-19, seperti mentaati peraturan, maka tidak diperlukan pembatasan terlalu ketat.
"Kita harus menyelamatkan diri dari 'lockdown' dan melakukan yang terbaik untuk menghindarinya. Saya meminta negara-negara bagian untuk lebih memperhatikan pengelolaan zona mikro secara efektif," ujar PM Modi.
PM Modi juga mengatakan keputusan Pemerintah India untuk membuat vaksin lebih banyak tersedia berarti vaksin yang yang lebih terjangkau untuk semua orang dewasa. Dianggap mengabaikan peringatan
Di sejumlah media lokal dan internasional, para pakar kesehatan telah menuduh Pemerintah India mengabaikan peringatan soal akan adanya gelombang kedua.
Karena jumlah kasus penularan COVID-19 yang sempat menurun tajam dan dimulainya upaya vaksinasi, India sempat memulai tahun ini dengan kembali normal.
Tapi kondisinya memburuk setelah warga semakin sering ke luar rumah, jarang menggunakan masker dan berkumpul dengan banyak orang.
Mereka menilai Pemerintah India tidak membuat upaya untuk pencegahan dan malah terus membiarkan sejumlah kegiatan yang dihadiri ribuan warganya.
Diantaranya adalah pertandingan kriket yang tetap digelar dan ditonton warga tanpa menggunakan masker, pawai partai politik jelang pemilihan, hingga perayaan salah satu hari besar umat Hindu yang dihadiri jutaan orang di tepi sungai Gangga serta kegiataan keberagamaan lainnya.
Pemerintah India telah melonggarkan hampir seluruh aturan 'lockdown' pada awal tahun 2021 ini, meski sejumlah daerah seperti New Delhi dan Maharashtra memperkenalkan pembatasan lokal.
Namun baru setelah adanya gelombang kedua penularan Pemerintah India mulai mengambil upaya untuk mengatasinya, seperti melarang pawai kampanye pemilihan dalam jumlah besar, serta memperbolehkan vaksinasi warga di atas 18 tahun mulai 1 Mei.
Gelombang kedua di India sudah dimulai sejak Februari kemarin dengan sekitar 11.000 kasus kemudian dalam waktu 60 hari kemudian angkanya telah mencatat 89.800 penularan COVID-19.
Hari Senin kemarin angka kasus di India telah mencapai 273.810 dengan angka penularan harian tertinggi sejak pandemi COVID-19 dimulai. Merasa menang terlalu cepat
Awal Maret lalu dalam konferensi pers, Menteri Kesehatan India, Harsh Vardhan mengatakan kepada media jika India sudah berada di "end game" atau akhir dari pandemi COVID-19.
Ia menambahkan jika Pemerintah India dibawah pimpinan PM Modi telah menjadi sebuah contoh bagaimana kerjasama internasional dilakukan.
Saat itu India sudah mulai mengirimkan vaksin-vaksin yang dikembangkan negaranya ke negara lain.
Namun yang tidak terbayangkan oleh India saat itu adalah ancaman varian baru virus corona di saat warga semakin bebas beraktivitas seperti menghadiri pesta pernikahan atau kegiatan keagamaan.
"Ada perasaan sudah menang," ujar K Srinath Reddy, Presiden Public Health Foundation of India, seperti yang dikutip dari BBC.
"Beberapa orang merasa India sudah mencapai kekebalan kelompok. Semua orang ingin cepat-cepat kembali bekerja ... dan peringatan yang ada tidak diperhatikan," tambahnya.
Sejumlah epidemiolog di India telah mengatakan seharusnya India tidak terburu-buru mengumumkan "kemenangan" atas virus corona sebelum waktunya. India dianggap menyangkal data
Bhramar Mukherjee, seorang profesor biostatistik dan epidemiologi di University of Michigan, Amerika Serikat, memperingatkan India berada dalam "penyangkalan data".
"Semuanya tidak jelas" katanya.
"Rasanya tidak ada yang memahami situasi dengan sangat jelas, ini sangat menjengkelkan."
Di Lucknow, ibu kota Uttar Pradesh, negara bagian terpadat di India, data dari layanan krematorium khusus jenazah COVID menunjukkan adanya dua kali lipat jumlah mayat yang tiba pada enam hari di bulan April.
Data ini berbeda dengan data pemerintah tentang kematian COVID-19 di seluruh kota Lucknow.
Kepala Krematorium Azad mengatakan jumlah kremasi berdasarkan protokol COVID-19 telah meningkat lima kali lipat dalam beberapa pekan terakhir.
"Kami bekerja siang dan malam. Insinerator beroperasi terus menerus, tetapi masih banyak orang yang harus menunggu," katanya.
Juru bicara pemerintah Uttar Pradesh tidak menanggapi saat diminta komentar soal ini.
Kemarin, Pemerintah negara bagian Uttar Pradesh menolak untuk mematuhi perintah Pengadilan Tinggi yang menyerukan 'lockdown' di lima kota, termasuk Lucknow, hingga 26 April.
Sebaliknya, mereka lebih memilih untuk melakukan pendekatan yang tidak terlalu memberikan pembatasan terlalu ketat.
ABC/Reuters
Diproduksi oleh Hellena Souisa dan Erwin Renaldi
BACA ARTIKEL LAINNYA... Meski Andalkan Investor, Proyek Bukit Algoritma Tetap Berisiko Mengganggu APBN