Bangunan hotel tak terurus dan sepi pengunjung yang berada di lahan milik keluarga Handoko seluas 1.000 ha di Cikidang, Sukabumi yang disebut-sebut akan dibangung menjadi Kawasan Ekonomi Khusus 'Bukit Algoritma'. (Supplied: tirto.id/Adi Renaldi)

Meski gaungnya baru mulai terdengar dua pekan terakhir, jejak rencana pembangunan "Silicon Valley"-nya Indonesia dapat dilihat dari unggahan media sosial Budiman Sudjatmiko sejak awal Februari 2021.

Pada unggahan video di akun Twitter-nya pada tanggal 3 Februari, Budiman menjelaskan area seluas 888 hektare, yang belakangan dinamai "Bukit Algoritma", akan menjadi tempat "anak-anak muda Indonesia dan luar negeri bekerja sama membangun inovasi."

BACA JUGA: Hidup Mengesankan Stephen Stephen Stewart, Pria Aborigin Tertua di Australia

Budiman bercerita salah satu alasan ia mendirikan kawasan ini adalah untuk menjawab keresahan banyak ilmuwan, periset, dan inovator yang merasa kurang mendapat tempat di negara sendiri.

Bukit Algoritma akan berlokasi di wilayah Cikidang dan Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat dan rencananya akan dibangun oleh PT Amarta Karya (AMKA), sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang telah resmi ditunjuk menjadi mitra infrastruktur dalam penandatanganan kontrak 7 April lalu.

BACA JUGA: Dewan Gereja Minta PBB Campur Tangan Atas Krisis Kemanusiaan di Papua

Kepada sejumlah wartawan, Budiman mengklaim proyek yang diperkirakan bernilai sebesar Rp18 Triliun itu bukanlah "proyek negara".

"Ini bukan proyek negara, ini proyek swasta. Kita enggak pakai APBN, enggak pakai pajak warga."

BACA JUGA: Mesin Pemetik Mengubah Industri Perkebunan di Tasmania

"Kami mau bawa investasi, bukan minta uang dari APBN," katanya seperti yang ditulis Tirto. Tak bisa hanya sekedar pembangunan fisik

Meski Budiman optimistis, tak sedikit pihak yang kritis.

Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, misalnya, mewanti-wanti agar pembangunan Bukit Algoritma tidak hanya sekadar gimik. 

Menurutnya harus ada tiga komponen di dalam kawasan tersebut, yakni universitas sebagai lembaga riset, industri yang menggunakan hasil riset, dan investor. 

"Kalau tiga poin tadi tidak hadir dalam satu titik, yang namanya istilah Silicon Valley itu hanya gimmick branding saja," kata Ridwan.

Ridwan mengaku mendukung niat Budiman, namun meminta "hati-hati pada semua orang yang sedikit-sedikit bilang mau bikin Silicon Valley."

Syahrial Loetan, pengamat Perencanaan Pembangunan Nasional punya pendapat yang senada.

Menurutnya Silicon Valley di Amerika Serikat memiliki 'venture capital', serta dua universitas yang terkenal yakni Standford dan University of Califronia, Berkley.

"Tapi jangan lupa, kalau sudah keluar produknya, kemudian siapa yang beli? Pada waktu itu masuklah Departemen Pertahanan AS, yang membeli produk-produk itu untuk perang, alat-alat persenjataan.

"Itulah yang mengamankan siklus bisnis mereka."

Mantan Sekretaris Utama (Sestama) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) ini mengingatkan banyak negara, termasuk di dalam Amerika Serikat sendiri, yang sudah berusaha menjiplak kawasan silicon valley tersebut tetapi gagal.

"Pembangunan fisik itu soal mudah. Tapi jujur saja, untuk membangun ekosistem seperti yang kita kenal dengan silicon valley itu tidak mudah," tutur Syahrial.

"Dan yang pertama kali harus kita pertanyakan untuk membuat sillicon valley yang baru ini, apakah lahan seluas 800 hektare ini dari sisi peruntukan tata ruangnya sudah aman atau belum?"

Pertanyaan ini penting mengingat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jawa Barat, Ferry Sofwan Arif, mengaku pihaknya belum bertemu apalagi membicarakan dengan pihak manapun mengenai proyek tersebut.

"Untuk aktivitas seluas itu kan membutuhkan lahan, dan perusahaan harus melihat dulu lahannya seperti apa. Seharusnya datang ke Bappeda daerah dan provinsi untuk peruntukan lahan," ujarnya seperti yang dilansir CNN Indonesia. Kalau mandeg, siapa yang menanggung?

Pengamat ekonomi dari INDEF, Bhima Yudhistira mengingatkan kemungkinan mangkraknya proyek Bukit Algoritma ini, berdasarkan beberapa kritik soal ekosistem sains dan inovasi di Indonesia yang tidak memadai untuk menciptakan 'the next silicon valley'. 

Ia menambahkan, penyebab proyek-proyek sebelumnya, baik milik pemerintah atau swasta, yang mangkrak atau bermasalah terletak pada kesalahan perencanaan, khususnya pada uji kelayakan atau 'feasibility studies' yang tidak layak tapi dipaksakan.

Bhima mencontohkan, proyek Stadion Jakabaring dan proyek LRT di Palembang,  dan sebagian besar proyek yang dipersiapkan untuk Asian Games 2018.

"Akhirnya yang menanggung risikonya itu adalah sebagian besar Pemerintah Daerah atau BUMN lainnya. Stadion Jakabaring itu nunggak listrik sehingga listriknya kemudian diputus oleh PLN, dan proses dia nunggak itu berarti kan merugikan PLN." 

"Secara garis besarnya semuanya ini, termasuk proyek yang mangkrak atau bermasalah seperti Bandara Kertajati, ending ceritanya adalah negara harus meningkatkan suntikan modal kepada perusahaan-perusahaan yang belum menyelesaikan proyek tersebut."

Ia menyebut, inilah yang disebut dengan contigency risk, atau risiko kontigensi, sebuah risiko yang muncul secara tidak langsung, misalnya karena BUMN yang mengerjakan proyek yang mangkrak harus melakukan efisiensi karena cashflow yang bleeding.

"Kita sering mendengar: 'Ini membangun proyek ini pakai uang investor kok'. Masyarakat tahunya bahwa itu adalah penyertaan modal langsung investor." 

Namun pada prakteknya menurut Bhima, sebenarnya BUMN dengan jaminan dari pemerintah menerbitkan surat utang.

"Nah, surat utang dengan government guarantee itu yang dibeli oleh para investor. Jadi sebenarnya kalaupun nanti proyeknya mangkrak, investor itu akan mendapat proteksi dari pemerintah melalui jaminan di APBN," ujar Bhima.

Syahrial Loetan juga mencatat potensi kerugian yang lain dari proyek besar yang mandeg, yakni menganggu pertumbuhan ekonomi.

"Tadinya mungkin bisa tumbuh enam persen setahun, tapi karena ada proyek yang mandeg, [pertumbuhannya] mungkin akan berkurang 0,1 persen atau 0,2 persen. Ya [negara] rugi," ucapnya. Proyek yang memungkinkan terjadinya akumulasi harga tanah

Di sisi yang lain, Elisa Sutanudjaja, Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies melihat Bukit Algoritma ini "tak lebih dari rencana pengembangan kota baru ala-ala developer dengan mengambil tema tertentu, dan kebetulan saja tema yang dipilih adalah Silicon Valley." 

Namun, Ia menilai rencana ini sejatinya bertujuan untuk melakukan ekstraksi dari akumulasi nilai tanah setelah tanah tersebut ditempelkan pada kegunaan baru.

Lebih lanjut, Elisa menganalisis adanya satu pola dalam beberapa program strategis nasional (PSN), termasuk Bukit Algoritma, yang memiliki tujuan akhir memfinansialisasi spekulasi, dan mendapatkan akumulasi harga tanah.

"Dan rata-rata, [program] itu adalah mega proyek, misalnya Kereta Cepat Jakarta-Bandung, National Capital Integrated Coastal Development (NCICD), Proyek Tanggul Tol Laut Semarang Demak, berbagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) baru untuk pariwisata di Labuan Bajo, Ibukota baru, LRT Jabodetabek, dan sekarang Bukit Algoritma," kata Elisa.

Ia menambahkan, biasanya proyek ini menunggangi masalah yang dihadapi suatu daerah dan sebetulnya "dijadikan kuda troya untuk pengambilan lahan dari rakyat dan akhirnya mendapatkan keuntungan berlebih dari akumulasi lahan tersebut."

Padahal, proyek-proyek tersebut belum tentu memecahkan masalah sesungguhnya yang ada.

Elisa mencontohkan proyek NCICD dan Tol Tanggul Laut Semarang Demak.

"Masalah utamanya adalah penurunan muka tanah, tapi solusinya reklamasi dan bikin tanggul tol dan jalan tol. Sementara dalam penjelasan proyeknya sama sekali tidak ada solusi untuk penurunan muka tanahnya," tuturnya. Lebih baik bukan 'proyek bombastis'

Meski mengaku tidak menentang mega proyek, Syahrial Loetan menilai Indonesia harus sangat selektif dalam menentukan proyek-proyek berskala besar tersebut.

Pertimbangannya bisa dilihat dari sisi kebutuhan, kertertarikan, dan kapasitas.

Syahrial paham pembangunan mungkin tidak bisa berjalan dengan kecepatan yang selalu linear dan sesekali harus ada lonjakan-lonjakan.

"Tetapi mega proyek bukan jawaban satu-satunya."

"Mengapa kita enggak ciptakan tiga, empat, lima, atau enam proyek yang barangkali medium scale, yang more related to [lebih berhubungan dengan] ... bahan makanan, barangkali?" kata Syahrial, sambil menyebut masalah ketahanan pangan dunia yang krusial akibat jumlah penduduk dunia yang hampir 8 miliar.

"Jadi something [sesuatu[ yang enggak terlalu bombastis, tapi dengan uang yang sama bisa memberikan dampak yang luas pada masyarakat setempat," pungkasnya.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pria Aborigin Tertua di Australia Stephen Steward, Telah Menjalani Hidup yang

Berita Terkait