Jumlah kasus COVID-19 baru dan kematian di India menurun drastis sejak gelombang kedua penularan mencapai puncaknya bulan Mei lalu.
Pertama varian Alpha, lalu varian Delta, yang pertama kali ditemukan di India dan kemudian menyebar ke seluruh dunia dan menyebabkan pertambahan kasus besar-besaran.
BACA JUGA: PPKM Lanjut 7-13 September, Luhut Binsar Membeber Fakta Pahit
Namun rata-rata kasus per tujuh hari dalam sepekan terakhir hanya sekitar 10 persen dari total 400 ribu kasus yang tercatat di masa puncaknya.
Laporan angka kematian juga menurun, dengan rata-rata 500 orang meninggal per hari, dari yang sebelumnya 4 ribu.
BACA JUGA: 12 Warga Banda Aceh Positif Covid-19 Varian Delta
Menurut angka resmi dari Departemen Kesehatan India, lebih dari 439 ribu warga sudah meninggal karena virus corona.
Stabilitas angka kasus dan kematian sepanjang bulan Agustus membuat ilmuwan kepala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa India sekarang sudah memasuki status "endemi" berkenaan dengan COVID-19.
BACA JUGA: Kang Teten Dorong UMKM Jadi Vendor bagi Pemerintah & Masuk Rantai Pasok BUMN
Artinya adalah bahwa virus tersebut sudah berada di tempat tertentu untuk selamanya.
Jadi bagaimana India bisa mencapai hal tersebut dan apakah masa pandemi terburuk sudah dilewati India? Bagaimana keadaan di India sekarang?
Walau pernyataan bahwa kasus sebenarnya masih jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan, keadaan di seluruh India memang relatif membaik.
Di bulan Mei, sistem layanan kesehatan di ibukota Deli kewalahan, dengan pasok tabung oksigen langka, dan juga munculnya krematorium darurat di mana-mana untuk membakar jenazah.
Pekan ini hanya dua persen dari tempat tidur khusus untuk pasien COVID-19 terisi.
Perekonomian mulai bergerak lagi dan sekolah sudah dibuka lagi di beberapa negara bagian.
Soumyadeep Bhaumik dari George Institute India di New Delhi mengatakan bahwa sistem kesehatan sekarang "sudah berfungsi normal" dan fokus telah diarahkan ke arah vaksinasi.
Namun dia mengatakan kehidupan belum berjalan kembali normal seperti sebelum COVID-19.
Kasus di sebagian besar wilayah India saat ini juga rendah, namun dalam beberapa hari terakhir terjadi peningkatan kasus di negara bagian Kerala.
"Tidak ada lockdown namun pembatasan pergerakan sedang diberlakukan di beberapa negara bagian di India," katanya kepada ABC.
"Kerala memberlakukan pembatasan lebih ketat karena kasus meningkat, namun negara bagian dengan kasus lebih sedikit juga pembatasan lebih sedikit." Bagaimana India bisa keluar dari gelombang Delta?
Walau pemerintah federal India tidak menerapkan 'lockdown' nasional selama gelombang kedua, di pertengahan Mei, hampir di seluruh 36 negara bagian di sana menerapkan 'lockdown' penuh atau sebagian.
Negara lain seperti Inggris, Belanda dan Israel mengalami penurunan kasus karena tingginya angka vaksinasi dan terus bertambahnya angka kasus baru.
Di India, hanya sekitar 10 persen dari jumlah penduduk keseluruhan sudah divaksinasi dua dosis, dan sekitar 36 persen warga mendapat paling tidak satu dosis.
Namun sebuah survei yang dilakukan bulan Juni dan Juli mengindikasikan bahwa dua dari tiga warga India memiliki antibodi COVID-19.
"Tingginya penularan COVID-19 di masa gelombang kedua beberapa bulan lalu membuat banyak orang terkena walau ada yang bergejala dan ada yang tidak," kata Dr Bhaumik.
"Ini juga meningkatkan kesadaran perlunya mengenakan masker, untuk menghindari kerumunan dan yang lainnya."
Peneliti University of Cambridge di Inggris Ankur Mutreja mengatakan kepada ABC bahwa kombinasi antara 'lockdown' negara bagian dan peningkatan kekebalan secara alamiah turut menyebabkan penurunan kasus.
"Lockdown memukul rata kurva, namun penularan kasus secara alamiah karena kebocoran lockdown di sana-sini juga membantu," kata Dr Mutreja.
Dia mengatakan tingginya antibodi karena sudah terpapar virus membantu situasi untuk saat ini.
"Tingkat vaksinasi sudah meningkat luar biasa di India sejak gelombang kedua, dengan 10 juta dosis diberikan setiap hari dalam beberapa hari terakhir," katanya. Konspirasi seputar ivermektin dan hidroksiklorokuin
Teori konspirasi yang sedang beredar di India saat ini adalah bahwa negara tersebut sedang menangani pasien dalam jumlah besar-besaran menggunakan obat hidroksiklorokuiin atau ivermektin dan bagaimana penggunaan obat tersebut menurunkan jumlah kasus dan kematian.
Kantor berita Australia AAP sudah melakukan pengecekan dan menemukan hal tersebut tidak benar.
"Tidak ada bukti bahwa petunjuk baru penggunaan ivermektin dan hidroksiklorokuin menurunkan jumlah kasus COVID-19 di India," kata AAP.
"Bahkan penggunaan hidroksiklorokuin sudah sering sebelum adanya gelombang kedua penularan."
Para pakar, termasuk perusahaan pembuat ivermektin sudah berulang kali mengatakan tidak ada bukti bahwa obat tersebut efektif untuk menangani COVID-19. 'Mungkin sudah memasuki masa endemi'
Ilmuwan kepala WHO Soumya Swaminathan mengatakan bulan lalu bahwa India mungkin sudah mengalami gelombang ketiga namun tingkat penularan dan kematian besar kemungkinan tidak seburuk seperti gelombang kedua.
"Kita mungkin sudah memasuki masa endemi di mana terjadi penularan dalam tingkat rendah atau tingkat menengah, bukan peningkatan besar-besaran seperti yang terjadi beberapa bulan lalu," kata Dr Swaminathan.
India akan terus mengalami keadaan "naik turun di berbagai bagian negeri itu" di daerah yang tidak parah ketika terjadi gelombang pertama dan kedua, dan atau di daerah yang tingkat vaksinasinya rendah, katanya.
Itulah menurutnya mengapa Kerala yang tidak begitu parah di gelombang kedua, sekarang mengalami kenaikan kasus.
David Anderson dari Burnet Institute di Melbourne mengatakan "endemi" biasanya mengacu pada keadaan di mana sebuah penyakit akan berada di suatu tempat selamanya.
"Ini berarti bahwa akan ada populasi yang rentan, mereka yang belum divaksinasi atau belum terkena sebelumnya, sekarang virus itu akan mencari mereka," katanya.
Apakah virus endemi ini bisa ditangani sehingga tidak memakan korban dalam jumlah besar adalah masalah yang lain lagi menurutnya.
Dia mengatakan tidak percaya dengan adanya dua pertiga jumlah orang yang sudah divaksinasi dan mereka yang sudah memiliki antibodi akan bisa mencegah adanya penambahan kasus besar-besaran.
Katanya, yang mungkin terjadi adalah lebih banyak orang sebenarnya positif dari yang sudah dilaporkan, atau dampak virus sekarang tidak dilaporkan lagi, atau kombinasi keduanya.
"Menurut saya kemungkinan adalah sudah ada tingkat penularan tinggi namun warga tidak lagi mencari pertolongan seperti sebelumnya," katanya. Bagaimana ke depannya?
Sejak bulan Mei, pemerintah federal dan negara bagian sudah mengerahkan sumber daya lebih banyak guna mendidik warga mengenai pengambilan jarak, memperketat perbatasan, mempekerjakan lebih banyak tenaga kesehatan, membangun pabrik pemasok oksigen, memperbanyak persediaan obat-obatan untuk mencegah infeksi seperti mukormikosis, dan terus memperbaiki sistem pelacakan kasus.
Para pakar yang dihubungi ABC sepakat bahwa menurunnya kasus sekarang ini kemungkinan hanya akan berlangsung sementara, dan gelombang ketiga mungkin akan terjadi.
Namun yang belum pasti adalah kapan dan seberapa buruk keadaan nantinya.
Dr Mutreja mengatakan tingkat vaksinasi sudah mengalami peningkatan "luar biasa" sejak gelombang kedua penularan, dengan lebih dari 10 juta dosis diberikan setiap hari dalam beberapa hari terakhir, namun gelombang penularan berikutnya "mungkin segera akan terjadi".
Dia mengatakan seberapa besar gelombang berikutnya akan tergantung seberapa cepat varian Delta berubah "menjadi varian yang lebih ganas", kecepatan vaksinasi India, dan seberapa efektif vaksin terhadap varian berikutnya.
Dr Bhaumik mengatakan saat ini yang bisa dilakukan memperkecil peningkatan kasus setiap kali ada gelombang sehingga kasus lebih kecil dan korbannya lebih sedikit dari sebelumnya dan memperbesar jarak antar gelombang semaksimal mungkin.
Dia mengatakan semakin banyak bukti bahwa COVID-19 tidak akan hilang dari muka bumi ini dalam waktu dekat.
"Strategi berkenan dengan vaksinasi yang bisa menghilangkan lockdown tidak akan banyak membantu karena varian akan terus bermunculan dan akhirnya menyebar ke seluruh dunia," katanya.
"Tidak ada satu negara pun bisa menutup diri selamanya dari perjalanan internasional selama bertahun-tahun.
"Tindakan kesehatan yang berbeda-beda adalah cara kita untuk bersikap pragmatis bagi kita untuk belajar hidup dengan COVID-19."
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
BACA ARTIKEL LAINNYA... PDIP dan Kedubes India Gelar Pertemuan, Bahas Masalah Covid-19 hingga Taliban